Sekali Berarti, Berarti Selamanya - Sebuah Arsip Lama

in #aceh6 years ago (edited)

Kita sudah menorehkan tinta sejarah yang sangat mengagumkan saat 2 juta masyarakat Aceh menuntut dan siap memperjuangkan referendum hingga darah penghabisan dalam sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) Aceh, 8 November 1999 silam.

Dunia terkejut karena aksi kolosal tersebut. Aksi itu sebagai perlawanan masyarakat sipil (civil society) terbesar dalam sejarah perlawanan manusia (kalimat ini pasti terdengar bombastis). Aksi tersebut sekaligus menandai era baru kebangkitan nasionalisme Aceh yang sempat timbul-tenggelam itu. Kalian tahu, orang Aceh mampu melakukannya, dan sejak itu seluruh mata warga dunia tertuju ke Aceh.

56521.jpg
Image source

Nasionalisme yang menemukan momentumnya seiring terbukanya kran demokrasi Indonesia, dengan sangat cepat menjalari sanubari rakyat Aceh. Ia mampu membangkitkan energi perlawanan yang demikian kuat: kesediaan berkorban untuk cita-cita ini.

Melalui protes sipil itu, orang Aceh mengirimkan satu pesan khusus kepada pemerintah Indonesia: orang Aceh sudah muak dengan menjadi bagian bangsa yang tidak jelas ini! Melalui referendum, orang Aceh berharap ada penyelesaian akhir yang mengagumkan dari karut-marut dan konflik yang tak berkesudahan. Harapan itu sangat realistis dan rasional.

Kala itu, mayoritas rakyat Aceh meng-amin-kan referendum sebagai solusi final penyelesaian Aceh. Spanduk referendum dipasang di semua tempat di Aceh, di rumah-rumah, di pertokoan, mesjid, perkantoran dan di simpang jalan yang saban hari dilewati truk reo. Badan jalan di Aceh telah disulap menjadi grafiti referendum. Ada anggapan, tulisan referendum di Aceh menjadi tulisan terpanjang di dunia. Mengagumkan!

Dalam setiap pembicaraan di Aceh, kata-kata referendum diselipkan untuk memperteguh dan mengentalkan nasionalisme Aceh yang mulai tumbuh subur itu. Kata ini pula yang membuat ikatan persaudaraan Aceh menjadi semakin kuat. Baik itu bagi mereka yang berdomisili di Aceh maupun bagi mereka yang berada di luar Aceh, yang hanya menyimak pemberitaan tentang Aceh dari media massa. Terbentuk sebuah imagined community- dari teori Andersonan - di antara sesama orang Aceh dalam melihat Aceh sebagai sebuah bangsa.

1412234(1).jpg
Image source

Bangsa Aceh yang berada di luar memiliki bayangan yang sama tentang masa depan Aceh, atau tentang referendum yang diperjuangkannya itu. Sebuah jalinan komunikasi terbangun dengan sendirinya untuk memperjuangkan referendum secara bersama-sama dengan mereka yang berada di Aceh. Apa yang sedang berlangsung di Aceh dikampanyekan ke seluruh dunia, sehingga gerakan itu menembus batas-batas teritorial Negara.

Gerakan referendum di Aceh kemudian menjadi pembicaraan hangat di kalangan politisi Indonesia. Kita masih sama-sama ingat ketika Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia menyampaikan sebuah pernyataan penting dalam lawatan luar negerinya, ke Phnon Penh, Kamboja. “Jika di Timor Timur boleh ada referendum, kenapa di Aceh tidak boleh.” Tak pelak pernyataan itu semakin memperkuat betapa referendum harus dilihat sebagai sesuatu yang sangat penting. Pernyataan Gus Dur ini boleh jadi sebagai penekanan atas pernyataan sebelumnya sehari setelah digelar Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum. Saa itu Gus Dur menyampaikan isyarat bahwa Referendum akan digelar 7 (tujuh) bulan ke depan.

Bukan hanya sampai di situ, dalam suatu pembicaraan dengan Radio Netherland, Gus Dur secara lebih diplomatis menyampaikan tentang fenomena referendum di Aceh. “Sebagai seorang nasionalis, saya sangat berharap mereka menjadi bagian dari NKRI. Namun sebagai seorang demokrat, saya tidak mungkin menghalangi keinginan mereka untuk menentukan nasib mereka sendiri.” Berbagai pernyataan Gus Dur membuat politik Indonesia semakin panas dengan isu soal Aceh. Sayangnya, Alwi Shihab, menteri luar negeri dalam kabinetnya membantah persetujuan Gus Dur itu. “Gus Dur tidak mengatakan menyetujui, tetapi dalam wacana demokrasi referendum dimungkinkan untuk dilaksanakan.”

Isu referendum mendominasi pemberitaan nasional. Setiap hari pernyataan tentang referendum Aceh dikutip media. Kita mungkin bertanya, mengapa referendum Aceh begitu penting? Jawabannya, karena Indonesia takut kehilangan Aceh. Berita referendum dimuat besar-besar di media agar semua politisi Indonesia memandang serius persoalan ini. Kita di Aceh tak perlu repot-repot mengirim siaran pers atau pers release karena pihak media sendiri yang mewawancarai para pejuang referendum. Saat itu kita tidak memerlukan adanya media sendiri untuk mengkampanyekan referendum. Namun, sejarah telah mencatat, bahwa kita telah menerbitkan sebuah media yang bernama “SUWA”, sebuah media yang akhirnya pingsan karena tak tahan kuatnya persaingan.

referendum.jpg
Image source

Kita semakin menyadari betapa penting referendum bagi kita. Menyimak berbagai pemberitaan ketika DOM baru dicabut di Aceh, banyak rakyat kita yang dibunuh secara kejam oleh tentara Indonesia, ribuan lainnya mengalami penyiksaan yang berat. Ribuan perempuan diperkosa, dan praktek-praktek penyiksaan yang sebelumnya tidak diketahui tetapi sudah dipraktekkan oleh tentara Indonesia di Aceh. Referendum tidak lain adalah sebagai obat mujarab untuk mewujudkan kerinduan mereka akan hadirnya kehidupan yang bermartabat dan merdeka.

Melalui referendum, kita bukan sedang menghidupkan kembali arwah orang yang mati dibunuh oleh tentara Indonesia! Kita ingin agar mereka-mereka yang sudah tenang di alam kubur itu tahu bahwa kita sedang berjuang, sekeras-kerasnya dengan keteguhan sikap seperti yang pernah mereka tunjukkan. Minimal, kita bisa memenuhi harapan mereka hidup dalam suasana damai dan mereka, sesuatu yang tak bisa mereka nikmati selama hidupnya. Dengan demikian, arwah mereka akan tenang di alam sana.

Setelah lama ditunggu, harapan itu tak kunjung datang juga, sekali pun kita pernah merasakan arti kemerdekaan itu. Namun, janji-janji yang terlanjur diucapkan oleh presiden Gus Dur sampai dilengserkan oleh MPR tahun 2001 belum dipenuhinya. Sementara harga untuk mewujudkan referendum semakin mahal. Dan perjuangan yang kita lalui semakin sulit. Banyak sudah korban jatuh di pihak kita. Terakhir yang cukup parah adalah ketika kita menyelenggarakan Sirarakan (Sidang Raya Rakyat Aceh untuk Kedamaian), setahun setelah SU MPR. Banyak rakyat yang ingin menghadiri acara itu dicegat di jalan-jalan di Aceh: mobil mereka ditembaki, perlengkapan mereka dimusnahkan, spanduk-spanduk dan bendera yang mereka bawa disita. Bukan hanya itu, ratusan orang juga menjadi korban. Itu adalah saat-saat paling pahit yang kita alami.

hqdefault.jpg
Image source

Tetapi itu sekaligus memperlihatkan betapa kesadaran rakyat kita tak pernah goyah. Budaya resistensi dan perlawanan yang diperlihatkan oleh nenek moyang dulu seakan menemukan bentuknya kembali. Kesadaran ini tak bisa dipatahkan oleh timah panah penguasa. Syair-syair kepahlawanan bergelora dan menyemangati mereka di tengah gencarnya tembakan dari tentara Indonesia. Seakan ada sesuatu yang ingin dipersembahkan untuk negeri Aceh tercinta: terbebasnya Aceh dari kungkungan penjajahan! Nyawa sekali pun siap digadaikan demi visi besar itu. Semangat begitu hanya mungkin hadir dalam diri seorang pejuang.

Tajah Prang Musoh beuruntoh dum sitree Nabi
Njang Meu-ungki keu Rabbi keu Po njang esa
Musoe hantem prang syit malang ceulaka teuboh rugoe roh
Syuruga tanroh rugoe roh balah neuraka

Musoe njang temprang syit meunang meutuwah tuboh
Syuruga that roh njang leusoh geubri keu gata
Lindong gata sigala njang mujahidin mursalin
Jeut-jeut mikim ie kulim Aceh sumatera…..

Syair-syair itu terus menggema di tengah semakin banyaknya korban yang berjatuhan. Syair ini pula yang semakin merekatkan hati mereka untuk satu tujuan: referendum. Tak hanya sampai di situ, banyak rakyat yang tidak bisa hadir ke Banda Aceh nekat menempuh jalur laut…..sungguh pengorbanan yang tidak bisa diukur dengan sesuatu apapun. Rakyat kita sudah sangat ikhlas untuk mempersembahkan yang terbaik bagi negerinya.

Mereka yakin, pembantaian Simpang KKA, tragedi Alue Ie Nireh, pembantaian Bantaqiyah, Arakundo, Rumoh Gudong dan pengorbanan mahasiswa di Pante Pirak, dan lain-lain tidak mampu digantikan cukup dengan otonomi. Tidak cukup kawan! Otonomi bukanlah tujuan yang rasional di tengah banyaknya korban yang jatuh di pihak kita, dan lebih tidak rasional lagi untuk mereka yang menjadi korban selama berlangsung Daerah Operasi Militer (DOM 1989-1998). Ketika ada elite politik yang meminta otonomi ke pemerintah pusat, itu adalah tindakan irrasional! Orang kurang waras sekali pun akan menganggap itu tidak rasional, apalagi kita yang masih waras.

IMGP8382.JPG
[Koleksi pribadi]

Di tengah gempuran yang hebat itu, kita masih mampu menyukseskan acara Sirarakan walau peserta tidak lebih besar dari acara setahun sebelumnya, SU MPR Aceh. Namun, melalui Sirarakan, kita telah mengirim pesan khusus kedua bahwa 93 persen rakyat Aceh mendukung referendum opsi merdeka. Kita ingin bangsa beradab tahu, bahwa rakyat Aceh ingin merdeka!

Waktu terus berlalu, perjuangan kita belum juga membuahkan hasil. Sementara korban terus berjatuhan. Satu persatu tokoh, kawan, atau rakyat kita yang ikhlas itu dijemput oleh Allah lewat senjata serdadu. Kita kehingan Safwan Idris (Rektor IAIN Ar Raniry), Dayan Dawood (Rektor Unsyiah), Jakfar Siddig (Ketua IFA), Nashiruddin Daud, dan banyak lagi. Perjuangan kian terasa berat, dan harapan merdeka kian sulit diraih: jalan kebebasan masih panjang dan berliku.

Banyak kawan-kawan kita yang tidak sabar berbalik haluan. Satu persatu meninggalkan perjuangan. Bahkan yang paling menyakitkan kita adalah mereka ‘melacurkan diri’ kepada militer. Padahal masih lekang dari telinga kita betapa bersemangatnya dia berbicara kepada seluruh dunia bahwa militer adalah musuh kita. Militer telah membunuh ribuan rakyat kita. Tetapi kini mereka menyembah militer!

Yang istiqamah pada perjuangan satu persatu pergi (meninggal), dan sebagiannya lagi harus keluar masuk penjara. Sisanya lagi meneruskan perjuangan di luar negeri. Artinya mereka masih tetap istiqamah pada pendirian mereka. Seperti halnya mereka beristiqamah dalam keimanannya. Mereka ingat akan sabda Nabi: “katakanlah Engkau beriman kepada Allah, kemudian beristiqamah.” Demikian halnya dengan mereka. Referendum telah diputuskan, dan selamanya kita harus beristiqamah apapun yang terjadi. Kita telah menghembuskan nafas referendum dalam setiap ruh, darah, dalam hati mereka dan dalam tubuh rakyat kita. Kini referendum telah menyatu dengan mereka. Tetapi ternyata penguasa tidak menyenanginya. Pemerintah hendak memadamkan api referendum yang kian membara, tetapi kita terus membakarnya.

Apapun yang terjadi, itulah risiko atas keyakinan kita. Bahkan untuk mempertahankan keyakinan kita harus mengorbankan diri demi keyakinan itu. Dan insya Allah yang teguh pada keyakinannya dialah sebenarnya makhluk yang sejati.

IMGP8393.JPG
[Koleksi pribadi]

Musliadi, Teuku Junaidi, dan banyak lagi telah mengajarkan kepada kita arti sebuah perjuangan dan keyakinan. Musliadi, demi mempertahankan keyakinannya, mayatnya dibuang di jembatan Seunapet. Pada penghujung ramadhan, tentara Indonesia menculiknya dan kemudian membunuhnya. Sementara Teuku Junaidi, sampai sekarang tidak diketahui bagaimana nasibnya.

Sementara Muhammad Nazar, harus beberapa kali mendekam dalam penjara colonial. Begitu juga dengan M Rizal Falevi, Muhammad MTA, dan Cut Nur Asikin menggadaikan kebebasan dirinya untuk menggapai kebebasan sejati. Tgk Sofyan Ibrahim Tiba, Tgk Amni, Tgk Nashiruddin bin Ahmed, Irwandi Yusuf dan ribuan tahanan Aceh lainnya rela mendekam di dalam pengapnya penjara demi Aceh merdeka. Mereka adalah orang-orang yang teguh dan istiqamah pada perjuangannya. Mereka telah mengorbankan diri untuk mewujudkan cita-cita rakyatnya yang meninggal karena berjuang demi referendum dan merdeka: membebaskan Aceh dari genggaman kolonial.

Semua itu tidak menghentikan perjuangan rakyat kita. Satu tahun lebih kita berada dalam hegemoni dan dominasi militer tetapi kita masih mampu survive bahwa kita tak gampang ditundukkan. Hal itu semakin memperkuat keyakinan kita bahwa perjuangan kita akan mencetak hasil gemilang.

Semangat perjuangan sama sekali belum sirna dari jiwa rakyat kita. Dengarkanlah “pancaran” semangat yang membara dari rekan-rekan kita yang ada di medan perang:

“Keububöng langét, keubintèh rimba, keu tika tanôh keu rumöh donja.
Tubôh ujuën rah mata uroe tèt angen peubapot kamoe lam rimba.
Adak pih sakèt han meutém surot han mepeulikôt buet bela bangsa.
Ie kruëng dile lam naggroë keu ie grah kamoë wate uroe kha
Gunông njang manjang njangna lam nanggroë keu seueh prang kamoë
Bak tjök merdehka!”

Kalimat yang sarat makna perjuangan seperti ini tidak akan keluar dari mulut pecundang, tidak hadir dalam jiwa pengecut dan juga absen dari hati pengkhianat. Ungkapan demikian muncul dari hati yang tulus dan pemberani. Spirit itu membuncah dari dari hati orang-orang yang istiqamah pada perjuangan. Percayalah, medan perjuangan yang berat niscaya melahirkan budaya resistensi yang kuat pula, seperti ditunjukkan oleh nenek moyang kita tempo dulu.

IMGP8441.JPG
[Koleksi pribadi]

Kita mungkin bertanya, mengapa mereka begitu tegar dan yakin? Tidak lain karena ada harapan yang ingin dicapai. Dan jawaban ini kita temukan dalam bait-bait syair perjuangan yang bergema di Aceh ketika proses damai CoHA berlangsung. Bait-bait lagu ini saya kutip bagian akhirnya saja, yang menggambarkan keseluruhan cita-cita.

Nanggroë Aceh njoe cahya peungëuh
That seumeulhôh ban sigôm donja
Bintang buluën jinoe ka djièk

Adak pih sakét muwoë bahgia

Keyakinan dan pancaran spirit seperti itu, dalam sejarah mana pun, selalu meminta pengorbanan. Pengorbanan selalu dianggap sebagai jembatan menggapai cita-cita. Tak pernah ada kesuksesan yang tidak diawali dengan pengorbanan. Jika kita mengimpikan masa depan yang lebih baik, kita harus berkorban.

Kita akui, pengorbanan rakyat Aceh sudah banyak sekali, dari dulu sampai sekarang. Namun, karena kita memiliki gambaran akan masa depan yang lebih baik, maka kita percaya bahwa itulah harga yang mesti kita bayar. Kita yakin roda sejarah selalu menawarkan perubahan-perubahan. Badai penindasan pasti berlalu!

Sebanyak 160 lembaga yang mendeklarasikan referendum awal 1999 silam bukan sedang bermimpi. Keputusan mereka tidaklah salah. Keputusan mereka begitu suci. Satu kata yang mereka hasilkan telah menggemparkan dunia yang sebelumnya tidak pernah tahu kalau kita masih ada. Walau cuma sekali “mengaum” tapi kita telah menorehkan tinta sejarah, kita telah menorehkan tinta sejarah kawan-kawan! Dengan sebuah “pemberontakan” kita telah menunjukkan eksistensi kita sebuah bangsa.

Pentingnya media

Saat kawan-kawan ingin menerbitkan kembali media untuk mengkampanyekan referendum, itu adalah sebuah langkah yang sangat tepat. Setelah euphoria referendum 1999, banyak media di Jakarta seperti menjauh dari kita. Tak satu pun media yang mau mengutip pernyataan kita. Jika pun ada pemberitaan tentang kita, itu pun berita tentang keburukan kita. Sementara kita tak punya kesempatan membela diri. Aceh terus saja diinjak-injak martabatnya di media!

Kita berharap SIRANEWS mampu berperan sebagai media counter opini sekaligus menjadi media kampanye bagi kita. Tak menjadi soal jika nantinya SIRANEWS hanya terbit sekali.

IMGP8451.JPG

Saya ingat, Perry Anderson, editor The New Left seperti dikutip Daniel Dhakidae dalam pengantar bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003), menunjukkan bahwa lamanya hidup sebuah media atau jurnal sama sekali tidak menjamin pencapaiannya.

Anderson menulis, Athaeneum yang hanya terbit 3 tahun tetapi mampu membangkitkan romantisme Jerman, meski setelah itu mati. Revue Blanche berusia tak sampai satu dasawarsa, namun kehadirannya seperti bercak-bercak sinar dari letusan petasan raksasa yang menerangi kota Paris. Majalah Left sempat terbit sebanyak tujuh kali, tetapi bikin seisi kota Moskow gempar.

Kita berharap nasib yang sama juga terjadi pada SIRANEWS. Walau nanti hanya terbit sekali semoga saja mampu mengobarkan perlawanan melawan kedhaliman negara di Aceh. Kita juga berhajat SIRANES mampu menggetarkan kembali dunia seperti ketika 2 juta massa memadati Mesjid Raya Baiturrahman untuk menyatakan komitmennya memperjuangkan referendum sampai darah penghabisan.

Sekali pun usia SIRANEWS nanti tidak lebih lama dari masa panen padi, semoga saja kehadirannya sungguh berarti bagi perjuangan referendum. Kita mungkin akan mengamini nasib SIRANEWS seperti kata-kata dalam puisi Chairil Anwar, sekali berarti, sesudah itu mati! Namun, kita ingin sekali berarti, berarti selamanya!

Percayalah, tidak ada harapan kosong. Perjuangan orang Aceh bukan omong kosong. Mereka berjuang karena yakin pada janji Allah. “Hai Orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya.”

IMGP8398.JPG
[Koleksi pribadi]

Renungkanlah ungkapan filosofis Albert Camus: Aku memberontak, karena itu aku ada. Memberontak menunjukkan eksistensi kita sebagai manusia. Bukankah dulu Adam dan Hawa telah memberontak terhadap kemapanan bahkan Tuhan demi menuju insan!

Sekarang dengan semangat yang sama, mari kita berseru: Aku berpikir, karena itu aku memberontak. Aku memberontak karena itu aku ada! Tak boleh ada keraguan sedikit pun. Selamat Berjuang!

Note: Tulisan ini ditulis pada 18 Agustus 2004 dan 'bersua' kembali dengan penulisnya sewaktu membuka-buka email lama. Awalnya tulisan ini sebagai pengantar redaksi Buletin SIRANEWS, yang ternyata tidak pernah terbit.

Sort:  

Catatan yg sangat penting untuk menjaga agar kita tetap waras.

jangan sampai menjadi gila, ya begitu bung muhajir

Benar, ini harus kita dokumentasikan, agar kita tetap waras alias tidak putus kawat (publishing)

good to read your post and observe them are of good quality I hope you follow me I will follow you too, I hope to have your support for my blog

Momentum yang tak terlupakan. Memori ingatanmu masih sangat tajam.

Tulisan ini dituleh ketika memori belum penuh, dan itu terjadi pada 2004

Sabe kupeugah kuyue tuleh buku. dan kali nyoe kuulang lom, tuleh buku beh brader @acehpungo beleubeh pungo dari buku Aceh Pungo.

Insya Allah akan tatuleh mandum hai Nyak Kaoy...pokok jih droe siap2 mantong...

Pembukaan lipatan sejarah hanya bisa dilakukan oleh pelaku sejarah, beruntunglah sdr @acehpungo yang sempat mengambil peran di masa itu dan bertahan hidup sampai masa kini untuk menceritakan sekelumit kisah yang pernah membahana di aceh raya. Tetapi hari ini mungkin hal yg terbaik adalah bersama Indonesia dengan mencoba membangun bersama dan dibutuhkan org2 yg ikhlas dan cerds didalamnya. Sehingga meskipun kita tidak merdeka, tapi rasa kemerdekaan akan ada walau sedikit.

Tulisan ini bukan untuk membuka luka lama, hanya sebagai catatan pengingat saja. Saya sepakat biarlah orang Aceh merdeka dalam NKRI

Rhui bulee teuh bak ta baca. Meunyoe jadeh tubit nyoe awai, sang beureutoh...

Mantong na bulee? Ka juet cuko laju bah gleh ta sambot ramadhan Ha-ha-ha

Na long keubah meu lhee oen teuk keu peu yakin aneuk agam bahwa, long jai bulee awai 😂😂😂😂😂

Janggut kajuet cuko, man bahaya munyoe lewat kanto pulisi

Tingat teuh keu Tgk Saleh asai takalon baliho mesjid raya

Ya, nyan piasan Tgk saleh mandum haha

Lon preh cerita2 jameun sabe ino. Peu lom nye na koran jameun neu foto, pasti ku zoom kubaca koran lom :D

Ha-ha-ha...nyan untuk jaga akun bah na posting sabe. Kliping le that mantong...ta peuteubit bacut2

Kiban ka kurcaci jinoe ? Kurcaci yang plueng² masa karu.. ?? Yang peugah droe pejuang ?

Pejuang Pap's

Lagee lempap komentar haha

Coin Marketplace

STEEM 0.33
TRX 0.11
JST 0.034
BTC 66753.89
ETH 3256.47
USDT 1.00
SBD 4.34