The Word Weapon for Conflict Transformation | Senjata Kata untuk Transformasi Konflik |

in #article5 years ago



Oleh Ayi Jufridar

Jika Anda tidak perrnah bertikai dengan orang lain, maka Anda tidak mengenal satu sama lain (pepatah Cina)

KONFLIK selalu dimulai dengan perbedaan kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ideologi. Perbedaan menjadi sesuatu keniscayaan di bumi ini, termasuk di Aceh sebagai sebuah noktah kecil di jagat raya. Sejarah Aceh juga tidak bisa dipisahkan berbagai konflik, baik konflik konstruktif maupun yang sarat dengan kekerasan.

Dalam berbagai tingkatan, konflik selalu memberikan dampak positif dan negatif, meski pada kenyataannya, kerusakan yang ditimbulkan lebih besar dari dampak positif yang bisa dicapai. Karena itulah semua orang mengharapkan konflik apapun segera berakhir. Kenyataan ini dapat dinilai dalam konflik politik kontemporer di Aceh di mana orang mengharapkan konflik politik segera berakhir. Padahal, kalau ditilik lebih dalam yang terjadi hanyalah konflik kepentingan kekuasaan para pihak.

Masyarakat Aceh hidup dalam latar belakang konflik yang kuat sehingga terpola dalam pemikiran dan tercermin dalam perilaku sehari-hari sehingga kemudian menjadi karakter. Dalam kondisi ini, seluruh pemikiran, sikap, orientasi, pandangan, tidak bisa dipisahkan dari konflik. Akhirnya, yang muncul adalah sikap:

  1. Antipati terhadap perbedaan. Cenderung melihat perbedaan sebagai masalah dan memosisikan pihak yang berbeda sebagai musuh.
  2. Menolak pluralisme. Sulit menerima keberagaman, cenderung berpikir sektarian dan memandang kelompok sendiri yang benar.
  3. Intoleransi. Toleransi terhadap perbedaan menjadi lemah bahkan tidak ada sama sekali.
  4. Gampang curiga. Menaruh kecurigaan berlebihan terhadap sesuatu yang baru, asing, dan berbeda dengan keyakinannya. Bahkan pada tingkat yang lebih parah, bisa menjadi paranoid.
  5. Hilangnya kepekaan. Tidak memiliki rasa simpati dan empati terhadap kondisi manusia yang berbeda kepentingan. Ikatan keagamaan terkadang tetap tidak mampu menumbuhkan empati karena hati yang sudah tertutup.
  6. Anti perubahan. Memandang setiap perubahan sebagai ancaman bagi eksistensi dan kenyaman yang sedang berlangsung.



Dalam kondisi masyarakat demikian, di manakah posisi sastra dalam mengubah sebuah kebudayaan masyarakat konflik menjadi kontruktif?

Sastra bukanlah sebuah kekuatan fisik yang mampu memaksa sebuah perubahan dalam masyarakat. Sastra adalah senjata kata yang mendorong perubahan tanpa kekerasan, tanpa darah, tetapi ketika kata mengalami pembiasan makna, maka kata dalam sastra juga bisa berimbas pada tumpahnya darah, intimidasi, dan pengekangan terhadap daya kreativitas manusia.

Sejarah sudah membuktikan bagaimana sastra menjadi bagian penting dalam perjalanan sebuah bangsa, termasuk Indonesia. Dalam sejarah periode 1960-an, sastra digunakan sebagai salah satu kendaraan politik, di mana para sastrawan didikte untuk melahirkan karya yang secara langsung atau tidak langsung, mendukung penguasa atau partai politik tertentu, seperti yang dilakukan Lekra. Pemaksaan ini bukan hanya penodaan terhadap netralitas karya sastra terhadap kepentingan politis, lebih parah lagi adalah memerkosa kebebasan berpikir dan berkarya. Hidup tanpa kemerdekaan fisik, pikiran, jiwa, adalah sebuah hidup yang tak layak dijalani.

Praktek menjadikan seni dan sastra sebagai kendaraan penguasa bukan hanya terjadi dalam sejarah Indonesia dan pada masa modern. Dalam buku My Name is Red karya peraih Nobel Sastra Orhan Pamuk, juga digambarkan bagaimana seniman yang bersedia menjilati pantat penguasa mendapatkan kemewahan dalam istana bersama sultan. Pada akhirnya, kebebasan berekspreasi tidak bisa dikendalikan, ia menjadi lebih mahal dibandingkan dengan segantang emas. Sejumlah seniman kaligrafi rela membutakan matanya sendiri dengan jarum daripada harus berkarya untuk memuji penguasa zalim.

Dalam konflik keacehan, sastra memang tidak dijadiakan sebagai kendaraan politik. Para pegiat yang terlibat di dalamnya, meski ada yang mengekori penguasa dalam organisasi tertentu, tetapi tidak sampai memaksa kreativitas untuk melahirkan karya yang membuat penguasa tertawa.

Bahkan beberapa sastrawan bisa mengambil jarak dengan penguasa dan konflik. Mereka bisa memanfaatkan keadaan yang tidak beruntung, mengambil realitas di sekitar untuk diangkat sebagai karya yang bisa dinikmati, dipetik pelajaran, dan dijadikan panutan terhadap keberadaan beberapa tokohnya. Dalam konteks inilah novel Lampuki-nya Arafat Nur harus ditempatkan.

Buku ini adalah sebuah karya fiksi, tetapi realitas di dalamnya diangkat dari pengalaman keseharian penulis sehingga terasa sangat dekat dan nyata. Kisah ini merupakan kombinasi yang tepat antara realitas lingkungan dengan imajinasi. Dalam teori mengenai konflik, persoalan ekonomi menjadi salah satu penyebab utama munculnya konflik. Hal ini juga tergambar dalam Lampuki yang disampaikan dengan kalimat menarik sejak halaman 54 – 59.

Meski tidak mengaitkan secara eksplisit kehadiran orang asing dengan eksplorasi gas alam, tetapi pembaca dapat memahami ada kekayaan alam yang dikeruk dan keuntungan yang melimpah diserahkan ke pemerintah pusat. Penduduk asli hanya menjadi penonton dan kemudian terasing di negerinya sendiri. Mereka bukan hanya dieksploitasi secara ekonomi, tetapi kehormatan sebagai “pemilik tanah” juga diinjak-injak. Sebagai implikasi keliru dalam kemajuan, pelacuran dan kehidupan gemerlap pun tumbuh menyerang penduduk lokal secara keyakinan dan budaya. Dalam kondisi karakter masyarakat yang menganggap diri mereka bukan bangsa lamit dan kehormatan yang berlebihan, kondisi ini kemudian mengundang perang.

Dalam keadaan demikian muncullah Ahmadi, lelaki yang mampu mengintimidasi masyarakat hanya dengan kekuatan kumisnya yang tebal. Ahmadi memprovokasi masyarakat agar memberontak, dan menyampaikan bualan mengapa harus memberontak. Keputusan yang membuat Ahmadi selalu dicari tentara tetapi ia dapat menghindar. Bahkan, tentara yang digambarkan sering bertindak bodoh dan gila, malah menangkap atau menembak lelaki lain yang juga berkumis tebal yang mereka sangka Ahmadi (hal.294). Para lelaki menjadi takut dan kemudian mencukur kumisnya. Mereka tidak ingin menjadi korban kebodohan tentara yang mengira semua lelaki berkumis adalah Ahmadi. Ini bukan hanya persoalan kumis, tetapi menyangkut nyawa dan kehormatan, sebuah penggambaran yang satir sekaligus mengandung kekuatan humor yang cerdas.

Tokoh seperti Ahmadi banyak di sekitar kita, dengan predikat berbagai beda bagi banyak orang. Bagi pengikutnya atau orang-orang yang bersimpati, Ahmadi dianggap sebagai pahlawan. Namun bagi pemerintah dan orang-orang yang dirugikan dirugikan kiprah lelaki bermisai tebal itu, ia adalah pemberontak dan sumber masalah. Dalam kehidupan nyata, antara pahlawan dan pecundang terkadang memang sangat absurd, tergantung masa dan siapa yang menilai.




Pendekatan sastra untuk penguatan perdamaian

Lampuki lahir dari situasi konflik yang dialami, disaksikan, dan didengar penulisnya. Karya ini mendapatkan banyak apresiasi bukan hanya karena kisahnya yang menarik, satir, penuh humor, tetapi juga cara penyampaiannya dengan bahasa yang indah. Karya sastra yang bisa menjadi senjata bukan hanya apa yang disampaikan, tetapi juga cara menyampaikannya sehingga ia bisa dinikmati sekaligus inspiratif. Karya seperti ini, meski kadang tidak ramah pasar, tetapi akan tetap dikenang melampaui zamannya. Dapat dijadikan referensi dalam konflik meski ia sebuah karya fiksi.

Dengan karakteristik konflik yang masih mengakar seperti digambarkan di atas, karya sastra bisa dijadikan sebagai salah satu aspek penting dalam penguatan perdamaian. Pendekatan budaya dan sastra sudah dijadikan metode penguatan perdamaian di beberapa negara seperti Liberia, Somalia, dan Guatemala. Bahkan di Broklyn, AS, seorang guru berhasil menangani anak-anak negro yang nakal dengan mewajibkan mereka menulis puisi dan membacanya di depan kelas. Senjata kata – baik melalui lisan maupun tulisan – bisa menyulut amarah, tetapi bisa ditulis dengan komposisi yang benar, juga dapat mengasah kepekaan.

Beberapa langkah penguatan perdamaian yang disarankan para pakar adalah berpikir sebelum bertindak serta mendengarkan kata hati sendiri dan kata hati orang lain. Intinya, pikiran dan kepekaan hati memegang peranan penting dalam perdamaian.[]

Disampaikan dalam Seminar Konflik dan Damai Aceh Dalam Perspektif Kebudayaan yang diselenggarakan Development for Research Empowermentt (DeRE) Indonesia di Lido Graha Hotel, Sabtu 18 Februari 2012.






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq

Bereh makalahnya, mari terus hidupkan kata, karena kata dengan kerapuhannya, biarkan ia hidup dan menjadi kuat dalam kalimat.

Artikel jameun, wate bedah novel Lampuki karya @arafatnur.

Mantap !
Saya tambahkan lagi poin nomor 7 :

"Kita ini juga cenderung bodoh, selama puasa listrik sering padam, padahal kemarin Aceh punya mesin ganset sendiri, tapi malah di kirim keluar. Jinoe meu ta sangak-sangak teuk bak awak Sumatera, meugade beu jipudep lampu" hehee

Coin Marketplace

STEEM 0.26
TRX 0.11
JST 0.033
BTC 64507.66
ETH 3080.07
USDT 1.00
SBD 3.85