HAM Di Indonesia

in #chunstarter6 years ago (edited)

Pasca reformasi menunjukkan pesatnya pelanggaran-pelanggaran HAM secara kasat mata. Berbagai kerusakan terjadi di mana-mana seperti di Aceh, Maluku, Irian yang sebagian menuntut memisahkan diri dengan Republik Indonesia.

Di Timtim, kerusuhan-kerusuhan, perusakan-perusakan, dan pembakaran gedung pemerintah & lain-lain menjadi agenda kemarahan pasca jajak pendapat. Peristiwa Timtim pasca penentuan pendapat ini menjadi sorotan dunia internasional, karena Timtim telah menjadi negara asing bagi bangsa Indonesia & terpenting karena sejak semula Timtim selalu muncul dalam agenda perdebatan di PBB. Munculnya intervensi internasional dalam kebijakan Pemerintah RI bahkan lebih dari itu ancaman dunia internasional terhadap pemerintah Indonesia akan menyeret pelanggaran HAM yang berat ke Tribunal Internasional.

Ancaman inilah yang membuat pemerintah Indonesia bersama-sama Komnas HAM untuk memperjuangkan di PBB agar penyelesaiannya dapat dilakukan oleh Pengadilan Nasional yang kredibel (Ny. Lies Sugondo, 2000:3)
Namun perjuangan tersebut tidak semudah sebagaimana kita harapkan, walaupun pengadilan nasional dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut, & memperoleh kekuatan hukum yang pasti yang dapat menutup perkara tersebut melalui asas ne bis in idem. Namun asas universal ini dapat disingkirkan manakala masyarakat internasional melalui PBB menilai pengadilan nasional telah memihak atau merupakan pengadilan rekayasa dengan tujuan untuk melindungi kelompok-kelompok tertentu atau dengan kata lain pengadilan tidak dapat dipercaya.

Jika kita lihat di Timtim timbulnya pembakaran-pembakaran gedung pemerintah yang dilakukan oleh para eks pejuang Timtim akibat lepasnya Timtim dari RI, maka pembakaran-pembakaran yang terjadi di Aceh ada pula yang dilakukan oleh oknum aparat/OTK yang marah karena terbunuhnya teman-teman mereka saat melaksanakan tugas.
Di Irian sendiri juga terjadi pembunuhan yang sangat tragis dengan kematian tokoh pimpinan Papua Merdeka yaitu Tyeis. Sejalan dengan pengungkapan-pengungkapan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh aktifis HAM maupun media massa, berbagai pelatihan & seminar juga digelarkan. Pencarian fakta pelanggaran HAM, seminar HAM atau pelatihan HAM telah menjadi bagian kesibukan di negeri ini di samping kesibukan penataan kembali perekonomian yang telah terpuruk.

Ironisnya justru di sini, jika menilik tema dari berbagai pelatihan, seminar atau pencarian fakta yang dilakukan oleh LSM, komisi independen, pemerintah, seakan HAM hanya sebatas prilaku aparatur negara. Demikian juga jika kita simak berbagai statement yang dikeluarkan oleh para penguasa. Mereka sangat getol membantah pelanggaran hak sipil politik yang telah terjadi, tetapi tidak menyinggung-nyinggung hak-hak ekonomi rakyat yang nyata-nyata adalah juga hak fundamental manusia yang hidup dimuka bumi ini & sangat disayangkan lagi inti sari HAM tidak diperdulikan lagi yaitu:

  1.   Hak untuk hidup.
    
  2.   Hak tidak mendapat penyiksaan
    
  3.   Hak untuk tidak diperbudak dan;
    
  4.   Hak untuk mendapatkan peradilan yang adil. 
    

Demikian pula dengan apa yang terjadi di Aceh. Berbicara tentang pelanggaran HAM yang terjadi di sini seakan kita tersesat dalam pusaran kasus kekerasan aparatur negara/OTK terhadap rakyat yang hampir-hampir tidak menyentuh jenis pelanggaran yang lain, pada hal di Aceh pelanggaran HAM yang terjadi sangat komplek. Kompleksitas pelanggaran HAM di Aceh terangkum ke dalam tiga fase. Pertama fase DOM (Daerah Operasi Militer) antara tahun 1988 s/d 1989. Dalam fase ini telah banyak diungkapkan oleh berbagai kalangan yang peduli akan hak asasi manusia. Fase kedua adalah rentang waktu sejak pencabutan DOM yang ditandai oleh sejumlah kekerasan terhadap rakyat langsung (violence by action) seperti penembakan di Simpang KKA, Idi Cut atau Beutong Ateuh. Sedangkan fase ketiga adalah masa kevakuman yang terjadi belakangan ini. Dalam masa ini kekerasan aparatur negara terhadap rakyat secara langsung memang jarang terdengar atau setidaknya sulit dibuktikan. Namun pembiaran terjadinya kekerasan, setidak-tidaknya keadaan bebas dari rasa takut tidak ada lagi adalah bentuk pelanggaran HAM yang lain (violence by omission) yang tidak boleh diabaikan begitu saja.

Proses penyelesaian kasus Aceh hingga kini belum ditangani secara serius. Supremasi hukum masih sulit untuk ditegakkan. Berbagai kekerasan & pelanggaran HAM terus berlanjut. Dengan tingkat intensitas yang semakin meningkat, apakah itu kulitas maupun kuantitas & kekerasan ini merupakan fenomena rutin dengan konsekuensi bahwa rasa aman adalah sesuatu yang langka. Lalu apakah kita akan membiarkan situasi ini, & menutup mata terhadap kerasan yang dialami masyarakat? agaknya, tak sulit mencari jawabannya. Yang pasti, tak ada satu elemen masyarakat sipil pun yang menghendaki masyarkat sipil menjadi obyek korban kekerasan. Tampaknya, penyelesaian kasus Aceh memerlukan & amat membutuhkan pikiran yang luar biasa. Kebijakan yang mengedepankan supremasi politik harus diakhiri. Tentunya pengakhiran supremasi politik jangan diinterpretasikan sebagai upaya untuk menafikan proses dialog menuju rekonsiliasi Aceh. Tapi justru untuk menegakkan supremasi hukum, yang selama ini terkesan sub-ordinat di bawah supremasi politik & kepentingan para elit.

Dalam konteks ini, penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Aceh adalah kewajiban negara. Negara harus konsisten untuk menggunakan instrumen hukum yang legal dalam penegakan hukum. Misalnya dalam kasus Bantaqih. Dalam upaya penegakan supremasi hukum, proses pengadilannya harus dilakukan oleh Pengadilan HAM. Bukan Pengadilan Koneksitas. Instrumen peradilan koneksitas secara legal bukan institusi yang layak bagi peradilan pelaku pelanggaran HAM, & lazimnya, peradilan koneksitas hanya dapat mengadili pelaku tindak pidana biasa yang melibatkan personil militer & warga sipil. Disinilah tampaknya terdapat inkonsistensi negara & pemerintah dalam menegakkan Undang-undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 104 ayat (1) disebutkan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di lingkungan Pengadilan Umum.

Apa yang dimaksud dengan HAM yang berat? Rumusan mengenai pelanggaran HAM yang berat dalam perangkat peraturan internasional tidak didefinisikan secara tegas. Namun pada penjelasannya Pasal 104 UU NO. 39/1999 itu disebutkan, "yang dimaksud dengan pelanggaran HAM yang berat adalah pembunuhan masal, kedua pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis. Rumusan mengenai pelanggaran HAM yang berat dalam penjelasan UU No.39/1999 tersebut saat ini telah diadopsi dalam Pasal 1 ayat (2) UU Pengadilan HAM. Selanjutnya dalam Pasal 7 UU tersebut telah diuraikan hal-hal yang termasuk dalam pelanggaran HAM yang berat tersebut yaitu kejahatan genocide & kejahatan terhadap kemanusiaan.

Rumusan mengenai HAM yang berat, secara sederhana namun jelas telah tersedia, meskipun dengan istilah yang berbeda yaitu "kejahatan yang sangat serius". Rumusan itu tertuang dalam Statuta Roma 1998 tentang pembentukan International Criminal Court (ICC). Dalam statuta yang terbilang baru tersebut dijelaskan, ICC mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan yurisdiksi atas seseorang yang melakukan kejahatan-kejahatan yang sangat serius, yang keprihatinan seluruh masyarakat internasional. Kejahatan yang dianggap sangat serius itu adalah kejahatan genocide (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) & kejahatan agresi (the crime of aggresion). Kemudian jika mengacu pada statuta pembentukan Mahkamah Internasional Tribunal untuk Yugoslavia & Rwanda, dijelaskan pula kejahatan-kejahatan apa saja yang termasuk dalam masing-masing dari kelompok kejahatan serius di atas.

Genocide didefinisikan sebagai perbuatan mana pun berikut ini dengan maksud untuk menhancurkan seluruhnya atau sebagai suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau kelompok agama seperti:

a. membunuh para anggota suatu kelompok,
b. mengakibatkan cidera tubuh atau jiwa yang serius terhadap[ para anggota suatu kelompok,
c. dengan sengaja mengakibatkan atas suatu kelompok suatu kondisi kehidupan yang telah dihitung akan membawa kehancuran fisik secara keseluruhan atay sebagian,
d. mengenakan tindakan yang bermaksud untuk mencegah kelahiran dalam suatu kelompok,
e. secara paksa memindahkan anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lainnya.

Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan dirumuskan sebagai pembunuhan, pembasmian, perbudakan, deportasi, pemenjaraan, penyiksaan, perkosaan, penuntutan terhadap kelompok atas dasar politik ras & agama lain-lain perbuatan yang tidak berprikemanusiaan yang dilakukan secara meluas atau serangan sistematis, terhadap pendudukan sipil karena alasan-alasan nasional, politik, etnis atau kelompok agama. Sekarang tinggal mencocokkan saja, mana dari pelanggaran-pelanggaran HAM pada masa lalu memenuhi kriteria pelanggaran serius tersebut. Dalam artian bahwa tidak semua kasus yang terjadi memenuhi syarat untuk di bawa ke pengadilan HAM.

Pada prinsipnya pemerintah telah bertekad untuk menunjukkan ke dunia internasional bahwa Indonesia akan mampu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat melalui pengadilan nasional. Hal ini dapat dilihat dengan telah adanya instrumen-instrumen hukum yang telah diatur untuk dapat mengadili pelanggar HAM. Hanya saja apakah pemerintah akan konsekuen menyelesaikan kasus-kasus tersebut dengan instrumen yang telah dibuatnya sendiri maupun hasil adopsi konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi atau yang paling tepat apakah mungkin melalui pengadilan ad hoc atau Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi ini digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di seluruh negeri ini.

Coin Marketplace

STEEM 0.31
TRX 0.11
JST 0.034
BTC 64852.72
ETH 3178.07
USDT 1.00
SBD 4.20