Kecerdasan dan Pendidikan Berbasis Kebudayaan

in #education6 years ago (edited)

Filosofi mendidik bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Dalam teori kecerdasan majemuk, anak cerdas tak harus juara dalam semua hal.

image
Ilustrasi: Pixabay

OLEH: MUSTAFA ISMAIL

Saya ingin memulai tulisan ini dengan kisah pakar marketing Rhenald Kasali. Suatu kali, belasan tahun lalu, ia protes pada guru sekolah tempat anaknya belajar di Amerika Serikat. Soalnya, karangan anaknya yang jelek diberi nilai bagus. Rupanya sang guru punya jawaban yang mengejutkan: "Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!"

Sang guru lalu melanjutkan: "Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat." Dari situ, Rhenald Kasali berkesimpulan: kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. "Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai," ujar sang guru itu lagi. Lengkapnya bisa membaca artikel Encouragement.

Kultur Indonesia dengan Amerika memang jauh berbeda. Bahkan, kultur antara satu daerah dengan daerah lain juga sangat berbeda. Kultur di sini tentu tidak hanya diterjemahkan sebagai kebudayaan semata. Kultur dalam konteks ini adalah keseluruhan sistem dalam sebuah masyarakat, mulai dari kesenian, bahasa, kebiasaan, adat-istiadat, latar sosial, ekonomi, hingga politik.

Filosof Mudji Sutrisno merumuskan bahwa kebudayaan tidak hanya mencakup hasil-hasil material seperti karya seni, ilmu pengetahuan, alat-alat, pakaian, melainkan juga termasuk cara menghayati kematian, cara melaksanakan perkawinan, dan lain-lain. Kebudayaan adalah gejala manusiawi dari kegiatan berpikir (mitos, ideologi, ilmu), komunikasi (sistem masyarakat), kerja (ilmu-ilmu alam dan teknologi), dan kegiatan-kegiatan lainnya.

Semua akan memberi pengaruh penting bagi seorang anak atau peserta didik. Sistem pendidikan yang baik tentu saja yang berpijak pada kultur setempat. Sebab, tujuan pendidikan bukan saja untuk membuat seseorang menjadi pandai, juga mampu menyelesaikan persoalan aktual di sekelilingnya. Pendidikan haruslah mampu memecahkan persoalan-persoalan hari ini. Maka itu, kadang suka bertanya: mengapa kita harus belajar berpuluh mata pelajaran di sekolah jika itu kemudian pejaran itu menguap begitu saja alias tidak membekas.

Sistem belajar-mengajar adalah persoalan lain lagi yang membuat seseorang peserta didik selepas dari bangku pendidikan tidak bisa beradaptasi dengan persoalan aktual. Kelas-kelas di banyak sekolah di Indonesia lebih banyak satu arah, dari guru ke murid. Murid berada dalam posisi diajarkan, dijejal dengan beragam materi yang harus mereka hafal, bukan sesuatu yang mampu membekas di kepala mereka.

Sebenarnya ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Dulu, di Amerika Serikat juga begitu. Pada 1979, John Goodlad, melakukan sebuah penelitian di lebih 1.000 ruang kelas di Amerika. Mereka menemukan kenyataan: mayoritas kelas-kelas itu didominasi oleh guru, baik untuk pengelolaan tempat duduk, pengelompokan, isi pelajaran, bahan-bahan yang digunakan, penggunaan ruang dan waktu, sampai aktivitas belajarnya.Guru berbicara lebih banyak daripada siswa.

Akibatnya yang terjadi adalah model pembelajaran hafalan, yang mengandalkan ingatan, bukan pembelajaran yang membuat seseorang memahami dan mengerti. Materi pelajaran bukan meresap ke dalam pikiran dan hati peserta didik, tapi hanya tersimpan dalam memori. Ini berbeda dengan pendidikan progresif yang dirumuskan oleh Alfie Kohn. Dalam pendidikan progresif, menurut Kohn, anak-anak harus dianggap penting. Belajar dianggap sebagai proses aktif, pelajar diberi peran aktif.

Saya sendiri lebih senang menyebut pendidikan partisipatif. Ini adalah sebuah model pendidikan yang mempertemukan dua subjek untuk sama-sama mengkaji dan memahami sesuatu secara bersama-sama. Kedua pihak ini menjalin komunikasi yang harmonis, sejajar, dan tidak formal. Hal terakhir, yakni formalisme, perlu diberi tekanan. Sebab, model belajar formalistik kerap mengasingkan peserta didik dalam kekakuan, tidak bisa dan tidak berani berpikir bebas.

Pendidikan partisipatif menawarkan siswa sesuatu yang diamuinya, bukan mendikte mereka dengan materi-materi yang dimaui oleh pendidik. Kurikulum bukanlah faktor penekan, tapi sebagai petunjuk arah saja. Ia hanya menjelaskan garis besar dari sebuah proses pendidikan, bukan penentu yang detil dan rigit, apalagi faktor penekan. Karena itulah, menjadi tidak relevan, sistem kurikulum yang bertolak dari pusat. Apa yang dipikirkan para pembuat kurikulum di pusat, belum tentu sesuai dengan kenyataan di lapangan, di tempat kurikulum itu dipraktekkan.

image
Ilustrasi: Pixabay

Kurikulum haruslah mengakar dari kebutuhan-kebutuhan ril di lapangan, di tempat kurikulum itu dipraktekkan. Materi pendidikan tidak boleh berada di menara gading, mempelajari sesuatu yang tidak dibutuhkan dalam kehidupan nyata. Memang ada pretensi agar otak dan logika terasah, pikiran tertajamkan, tapi bukan berarti peserta didik lebih banyak dijejali dengan materi-materi yang tidak dia butuhkan.

Apalagi, materi itu dipelajari berulang-ulang, di tingkat pendidikan berbeda. Misalnya materi tertentu di SMP, lalu ketika seseorang peserta didik berada di bangku SMA, ia kembali mendapatkan materi itu. Di negara-negara lain, jumlah mata pelajaran lebih sedikit dibandingkan di Indonesia. Di Australia, misalnya, hanya ada delapan bidang pelajaran utama, yakni bahasa Inggris, matematika, pendidikan sosial dan lingkungan, sains, seni, bahasa (selain bahasa Inggris), teknologi, serta pengembangan kepribadian, pendidikan kesehatan dan fisik.

Di Amerika juga sangat sedikit mata pelajarannya. Seorang ibu yang anaknya bersekolah menengah (kelas 1 SMP) di Amerika bercerita: Untuk mata pelajaran sosial yang mencakup ekonomi, geografi, dan sejarah, guru hanya menganjurkan si anak menonton televisi untuk merangkum berita tentang ekonomi dari CNN atau CNBC. Untuk pelajaran geografi hanya mengunggulkan peta Amerika dan hanya sedikit mengulas peta dan nama benua di negara lain. Untuk mata pelajaran science, dia hanya diharuskan membuat eksperiment mengenai pertumbuhan bawang. Dalam satu semester, setiap ada kelas science, mereka hanya disuruh mendiskusikan proyek-proyeke eksperimen masing-masing murid.

Terkadang ini memang menimbulkan penafsiran yang berbeda. Ada yang menganggap, makin banyak pelajaran, makin bagus. Sebab, dengan begitu, peserta didik akan makin banyak tahu. Maka itu, ada yang menganggap sistem pendidikan di Indonesia lebih bagus karena anak lebih banyak tahu. Pertanyaannya, pertama: seberapa penting materi-materi yang begitu banyak itu buat si anak. Kedua, seberapa paham dia tentang materi-materi itu, selain mengingat dan menghafal. Ketiga, apakah materi-materi itu mampu menjawab persoalan aktual yang dihadapi si anak.

Pendidikan, harusnya, didesain sesuai latar belakang dan karakter masing-masing anak. Karena setiap anak itu berbeda. Anak yang hanya pintar bahasa Inggris, hanya pintar matematika, menggambar, dan lain-lain. Cara melihat kecerdasan telah bergeser, bukan pada keseluruhan mata pelajaran di sekolah, tapi terbagi dalam sektor-sektor tertentu sesuai latar belakang, minat, bakat, dan kemampuan anak. Seorang anak tidak bisa dipaksa mesti mendapat nilai bagus untuk semua pelajaran. Maka itu, sistem ranking menjadi tidak relevan lagi diterapkan.

Seorang psikolog dari Harvard University, Howard Gardner, menyebutnya sebagai kecerdasan majemuk atau multiple intelligence. Ia membagi delapan bidang kecerdasan: kecerdasan linguistik, kecerdasan spasial (picture smart), kecerdasan matematis (logic smart), kecerdasan kinestetis (body smart), kecerdasan musik (music smart), kecerdasan interpersonal (people smart), kecerdasan Intrapersonal (self smart) dan kecerdasan naturalis (nature smart).

Karena itu, materi-materi pelajaran yang diberikan di sekolah juga harus mempertimbangkan faktor-faktor kecerdasan ini. Setiap anak membutuhkan perhatian khusus. Maka itu, model sekolah-sekolah negeri, dengan jumlah murid perkelas kadang melebihi 40, menjadi tidak maksimal bagi guru untuk memberi perhatian kepada siswa-siswanya. Harusnya, jumlah murid dalam satu kelas tidaklah lebih dari 20 orang.

Bahkan, dalam sebuah sekolah alam di Jakarta yang pernah penulis kunjungi, seorang guru hanya menangani beberapa siswa. Mereka duduk di pinggir sebuah saung sambil belajar bahasa Inggris. Maka itu, menjadi penting dipikirkan model penjurusan bagi siswa sejak di bangku sekolah menengah. Misalnya, pelajaran dipilah dalam beberapa kategori. Ada pelajaran wajib dan ada pelajaran pilihan. Siswa pun bisa memilih mata pelajaran pilihan sesuai minat dan bakatnya.

Model belajar-mengajar seperti ini juga sekaligus merangsang kreativitas siswa. Ketika diberi pilihan sesuai dan bakatnya, ia akan merasa tertantang untuk mengikuti pelajaran itu dengan penuh ketekunan dan keasyikan. Jika ada siswa yang mengambil mata pelajaran pilihan sastra, kemungkinan besar ia akan menjadi seorang sastrawan penting kelak. Anak yang mengambil mata pelajaran pilihan musik, tentu ia akan mengekspresikan dirinya habis-habisan dengan pilihannya itu. Begitu untuk hal-hal lainnya.

image
Foto: Iradiofm.com

Nah, jika itu semua telah terpenuhi, maka akan terciptalah manusia-manusia berkarakter, yang mampu menghadapi tantangan jaman. Jadi, pendidikan berkarakter bukan hanya pendidikan yang melulu disuguhi ajaran moral, juga pendidikan yang mampu menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didiknya, sehingga mereka menjadi pribadi-pribadi yang kuat, yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri.

Jakarta, 2 Juni 2011

DAFTAR BACAAN:

CATATAN:
Tulisan ini adalah makalah yang saya sampaikan dalam sebuah seminar pendidikan di sebuah kampus di Sumatera Barat pada 2011.

Sort:  

mantap postingannya bang, baca juga postingan saya ,tidak kalah menarik

Mantap @musismail. Artikel yang serius dan padat. Keep going on bro!

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.11
JST 0.033
BTC 64320.07
ETH 3154.23
USDT 1.00
SBD 4.34