Simalakama Dualisme Parpol | The Dualism Dilemma of Political Parties |

in #election5 years ago



RIDWAN HADI

TAHAPAN pemilihan umum kepala daerah serentak untuk gelombang pertama diwarnai dualisme kepengurusan partai politik. Konflik yang terjadi sesama pengurus parpol mau tak mau ikut menyeret Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara, terutama ketika tahapan pencalonan mulai berlangsung.

Konflik dualisme parpol menjadi ujian terhadap netralitas dan independensi KPU di Pusat dan daerah. Misalnya saja, saat ini KPUD menerima surat dari dua versi kepengurusan parpol yang mengklaim diri mereka sah dan berhak mengikuti pilkada. Kedua versi kepengurusan saling klaim dengan menyertakan argumen dan dasar hukum masing-masing.

Menanggapi dualisme parpol, KPU akan merujuk kepada putusan Kemenkumham RI. Namun, bila putusan Kemenkumham masih dalam proses gugatan di pengadilan, maka KPU akan menunggu sampai ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Bila putusan itu pun belum ada, KPU akan meminta dua versi keperngurusan untuk islah agar tahapan pilkada tidak terganggu. Menarik ditunggu apakah pilihan ini cukup aman untuk menghindari semburan sengketa parpol terhadap jadwal pilkada.

Melaksanakan pilkada secara lancar dan aman memang bukan tanggung jawab KPU semata. Dibutuhkan keterlibatan semua pemangku kepentingan seperti disampaikan Wakil Ketua DPR, Taufik Kurniawan, sehingga pihaknya merasa perlu melaksanakan rapat konsultasi dengan Presiden (Kompas, 9/5).

Putusan Serta Merta

Sejauh ini, KPU masih menunggu putusan pengadilan terhadap dualisme yang terjadi di Partai Golkar. Dan bila putusan tersebut belum lahir menjelang proses pendaftaran pasangan calon, KPU akan meminta kedua versi kepengurusan untuk islah agar tahapan yang sudah ditetapkan tidak terganggu.
Solusi yang ditempuh KPU tersebut merupakan upaya untuk menghindari tersendatnya tahapan pilkada tatkala memasuki tahapan pencalonan. Namun, meminta parpol yang bersengketa, bisa menjebak KPU untuk masuk ke dalam wilayah dapur parpol, dan itu berpotensi melanggar netralitas penyelenggara sesuai amanat Undang-Undang Nomor 15/2011 Tentang Penyelenngara Pemilu.

Dari tiga solusi ditawarkan KPU, semuanya berpotensi mengganggu pendaftaran pasangan calon kepala daerah yang mulai 26 – 28 Juli 2015 sesuai Peraturan KPU Nomor 2/2015 Tentang Tahapan dan Jadwal Pilkada. Apa pun putusan PTUN nanti, tetap berpotensi mengganggu tahapan sebab masih menunggu inkrah.

Untuk menangkal terganggunya tahapan pilkada akibat dualisme parpol, KPU juga bisa mengupayakan lahirnya putusan serta merta yang bisa langsung dijalankan (uitvoerbarr bij voorraad). Solusi ini hampir sama dengan usulan Komisi I yang kemudian ditolak KPU, yakni menjalankan putusan paling akhir. Bedanya, putusan paling akhir belum tentu berkekuatan hukum tetap sebab masih ada peluang pengajuan banding oleh pihak yang terkalahkan. Dengan putusan serta merta, KPU akan lebih percaya diri menjalankan tahapan dan program sesuai jadwal, apa pun perubahan putusan pengadilan nanti.

Upaya KPU untuk masuk menjadi para pihak memang sudah terlambat. Namun, KPU masih bisa masuk melalui Kemenkumham sebagai salah satu pihak yang produk hukumnya menjadi objek perkara di PTUN. Langkah ini tidak melanggar hukum dan tidak melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu.

Justru lebih berisiko ketika KPU berhadapan dengan keputusan PTUN yang tidak dapat dihindari, sekaligus tak dapat dijalankan. Akhirnya, KPU akan terpaksa mengorbankan diri sendiri terlebih dulu dengan merisi peraturan menyangkut tahapan dan jadwal seperti yang terjadi berkali-kali dalam pemilu legislatif 2014 lalu.

Mengabaikan putusan PTUN juga tak bisa dilakukan KPU karena memiliki risiko politik, termasuk risiko dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Pengalaman sebelumnya, KPU cenderung mengikuti putusan PTUN kendati belum ada kekuatan untuk dieksekusi. Dalam pemilu legislatif lalu, KPU rela merevisi peraturannya sendiri setelah ada putusan PTUN mengenai parpol peserta pemilu.

Sengketa parpol membuat KPU seperti tersandera kepentingan politik. Asas netralitas menjadi sulit diterapkan ketika KPU memiliki pilihan terbatas dan haru berkejaran dengan waktu. Namun, inilah ujian bagi penyelenggara pemilu dalam menjaga keseimbangan politik dan tetap berada dalam koridor hukum.[]

RIDWAN HADI
Pengacara dan Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Aceh periode 2013 - 2018.

Artikel di atas sudah pernah dimuat di Serambi pada Rabu 13 Mei 2015.






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Follo me ok..

Tulisan jameun lagoe brader @ayijufridar tapi tetap menarik untuk dibaca, apa lagi yang tulis Pak Ketua.

Sengaja posting di sini biar tidak hilang.

Coin Marketplace

STEEM 0.26
TRX 0.11
JST 0.033
BTC 63966.64
ETH 3055.32
USDT 1.00
SBD 3.87