Dosa Yang Sulit Termaafkan : Bagian 2

in #fiction6 years ago


sumber

Aku diam, pikiran kacau tak karuan, jiwa goyah. Aku berlari menuju kamar, termenung setengah putus asa. Sekeras apapun aku berdiri pada prinsipku, ujungnya aku harus menyerah pada perintah Ayah, lelaki yang telah mendidikku selama dua puluh lima tahun, begitu juga Ibu yang telah bersusah payah membesarkanku.

Keputusan telah dibuat. Dua minggu lagi pernikahan akan dilaksanakan. Berita pernikahanku sudah tersiar ke seantero kampung lalu terbang bebas singgah di telinga Minarti, Saheed bin Muis Abdillah akan menikah dengan Adawiyah binti Ruslan. Aku nyakin dia sedang segugukan, hatinya tercabik-cabik menggiris jiwanya, merapuhkan tubuhnya yang elok itu.

“Beribu maaf, ini keputusan orang tuaku, Sayang.” Aku mengirim sepotong pesan.

Tak ada balasan.

Aku melewati hari-hariku dalam degup tak tenang. Semua benda yang kusentuh menjadi basi, air bersih keruh, kasur penuh dengan serangga menjijikkan. Aku menghabiskan waktu melamun di depan cermin, mengusap-ngusap jambang. Murung!

Hari Jumat sesuai dengan kesepakatan pun tiba. Sepotong baju putih dan celana hitam terletak rapi di atas tempat tidur. Ibu berdehem, melirik ke arahku penuh semangat.

Aku sudah habis akal, ingin kubakar pakaian itu, Ibu mengawasi, Ayah pasti akan kalap. Dengan berat aku kenakan, selanjutnya Ibu menyuruhku memakai kupiah hitam yang sengaja Ibu beli buat pernikahanku.

Di luar, sebuah mobil hitam Avanza sedang menunggu. Aku berjalan berat dan memilih duduk di belakang, menghindari tatapan Ayah.
Ketika mobil masuk ke pekarangan Mesjid Al Muttaqin, aku gugup, semangatku untuk hidup seakan tinggal sejengkal lagi. Ayah melihatku, aku membuang muka, Ibu tersenyum pahit kala melihat bentuk wajahku yang kusam nyaris tak teruurus itu. Mataku keruh, tulang pipi menonjol jelas terlihat kesengsaraan sedang mengerubungiku. Penyebanya masih Ayah!

Ayah tersenyum, aku menunjukkan wajah hambar, zero expression. Ibu dengan pakaian bagusnya nampak begitu bangga duduk di belakangku.

“Ini Ibu hanya pakai untuk hari ini saja,” bisiknya

Pandanganku masih kosong, pakaian yang penuh manik-manik itu tak lebih sepotong sebatan yang baru saja melembamkan hatiku.
Seluruh handai taulan sudah mengambil tempat di dalam mesjid untuk menyaksikan acara sacral ini. Aku dihadapkan dengan wali nikah. Sebelum detik-detik ijab kabul, samar-samar aku mendengar orang-orang berbisik seakan mengatai sesuatu yang buruk kepadaku, tanganku mulai gemetar, punggungku berkeringat, kipas angin yang berputar-putar di hadapanku seketika menjadi hangat. Di sampingku, seorang sosok perempuan duduk takzim, tangannya dipenuhi inai bermotif, dari atas sampai bawah baju tirus putih, di bawah lehernya tergantung aksesori memantulkan cahaya, nampak begitu pas membungkus tubuhnya yang indah itu. Inilah Adawiyah, perempuan orang tuaku! Dia tersenyum, aku bergeming. Aku membuang muka, menurutku dia sedang menikmati penderitaanku. Di hadapan majelis prosesi ijab kabul dilaksanakan, para saksi duduk bersebelahan dengan Ayah Adawiyah. Di saat aku menjawabnya, Nama Minarti keluar mulus dari mulutku. Hadirin terpengarah, saling pandang memandang beberapa jenak yang pada akhirnya para saksi yang budiman itu menyuruhku untuk mengulangi ijab kabul.

Aku berpaling ke arah Ibu, Ibu tersenyum puas. Mataku beralih ke Ayah, dia tersenyum, aku buru-buru membuang muka. Senyumnya itu telah membuat hidupku bermuram durja.

Pernikahan usai, Ayahku melunak.

“Semoga kamu bahagia, Ananda!”

Aku menjauh, menghisap rokok, mengamati asapnya yang terbang gemulai melintasi wajahku centang perenang membentuk bayang Minarti.

“Ayo kita pulang, Nak.” Ajak Ibu

Setelah dipaksa Ibu, aku pulang ke rumah Adawiyah yang terletak di kampung Peudeung, orang mapan, Ayahnya pegawai bank, Ibunya guru pengajian.

Pintu terbuka, Adawiyah menyambutku penuh senyum. Aku menunjukkan wajah datar, dipersilakannya aku ke kamarnya. Berukuran luas, ranjang masih baru, dinding penuh dengan walpaper bermotif india, lemari jati, mengeluarkan semerbak aroma menentramkan sekaligus menyiksa.

Tak lama kemudian, Adawiyah masuk dan membuka bajuku. Dia keluar lagi mengambil segelas air limau dingin. Aku hanya mengangguk, kecantikannya tidak menggodaku. Betapapun aku menyukai wanita cantik, aku tetap tidak bisa berpaling dari kecantikan Minarti. Tak tertandingi!

Malam itu kulewati begitu saja, aku tidak menyentuhnya, tidak sedikitpun aku menaruh cinta padanya. Aku yakin, Adawiyah yang kini berada beberapa sentimeter dariku sedang menangis, menerka-nerka kenapa aku bersikap sedemikian rupa. Bila melihatnya berbalik ke posisi kanan menghadapku, aku berbalik ke posisi kiri, membelakanginya mungkin cara terbaik untuk membuatnya menyesal menikah denganku.

Berbilang minggu, aku bersikap dingin terhadapnya. Aku tak lebih hanya pengisi daftar tangisnya. Ratusan pertanyaan tak pernah kujawab. Kulitnya yang lembut luput dari perhatianku. Kubiarkan begitu saja tergeletak di hadapanku. Itu semua kesalahannya karena telah merampasku dari Minarti. Sementara pikiran dan hatiku teguh seteguh hati Majnun kepada Laila, ia tidak serta merta tergantikan oleh perempuan ini. Perempuan yang tak tahu diri ini.

Adawiyah tabah menghadapi sikapku yang kian menjadi-jadi, sengaja aku membuatnya jera, bagiku kawin paksa memang tidak baik, petaka, ini hidupku bukan hidup orang tuaku. Dengan enteng aku berpikir, inilah resiko kawin paksa. Namun, Adawiyah tidak menyerah begitu saja untuk membuatku jatuh cinta padanya. Dia melakoni hidupnya semata untuk melayaniku, mulai dari membuka sepatu, merapikan pakaian hingga kesehatanku..

“Kanda sakit?” tanyanya.

Aku hanya mengangguk, hambar. Kemudian, yang masih enggan kusebut istri itu, membuat secangkir jahe dan obat urut buat dioleskan ke seluruh badanku. Aku menolak, tapi dia bersikeras dengan alasan aku jangan sampai sakit. Aku masih dingin.

“Kenapa Kanda tidak menganggapku layaknya seorang istri?” tanyanya diiringi isak tangis.

Aku menarik nafas panjang dan berkata “Apa tidak ada pertanyaan lain?” aku balik bertanya. Lantas dia terdiam dan menangis sejadi-jadinya. Suara tangis itu redam di saat ujung jelbabnya disumpal ke dalam mulutnya agar tangis kekanak-kanakannya itu tidak didengar oleh kedua orang tuanya yang sedang takzim menikmati acara dakwah di tipi di ruang tamu.

“Jadi selama ini tubuh Kanda ada di dekatku sementara pikiran Kanda begitu jauh. Kenapa ini bisa terjadi Kanda?” dia seperti mendesakku untuk jujur.

“Ini adalah keputusan orang tuaku,” jawabku singkat.

Adawiyah berlari keluar buat mengambil wuduk, aku terduduk bengong di atas ranjang bermerek Spring Bed.
Tiba-tiba saja, kesadaranku terjaga mengajakku berpikir apa yang telah kulakukan. Menyakiti perasaan perempuan, apalagi seorang istri adalah perbuatan biadab. Sikapku selama ini telah mengiris hati dan batinnya. Aku keluar, tersenyum kepada mertuaku, dan duduk di atas kursi malas di serambi rumah. Menghisap dalam-dalam asap rokok, mengisap seluruh kenangan bersama Minarti, membakar namanya dengan bara rokok yang menyala-nyala, hingga seluruh bentuk tubuhnya dan kata-kata indahnya hangus tak bersisa.

Satu jam aku memaksa diri melumatkan rupa-rupa Minarti. Di kala malam menarik jubahnya, dengan penuh cinta aku menyentuhnya, mencoba memberi rasa sayang layaknya seorang suami. Mengusap rambut lembutnya, turun hingga ke wajah mulusnya, lalu ke tubuhnya.
Alangkah terkejutnya aku menyentuh tubuhnya yang sintal itu, menyawakan suhu panas tubuhnya ke jari-jariku, aku bergegas bangun, menghidupkan lampu, terlihatlah olehku sepotong wajah pucat pasi, bibirnya kering, pecah-pecah. Aku nyaris lumpuh, tersentak bukan main jangan-jangan ia terserang penyakit aneh. Tubuhnya yang dulu sintal kini terlihat begitu kurus. Tanpa buang tempo, aku berkata “Apa yang terjadi Wiyah?”

“Tidak a..pa-a..pa.” jawabnya terputus-putus.
“Ayo kita ke rumah sakit. Kau harus sembuh Wiyah!” Aku memaksa, kini rasa sayangku kepadanya memuncak....bersambung

Jika anda ingin membaca bagian 1, klik link di bawah ini:

Bagian 1

Sort:  

Pernikahan dengan keterpaksaan.. Saya masih belum cukup umur untuk berkomentar lebih jauh. Tetapi lebih dari itu, cerita Bang @abduhawab selalu menarik. Ada emosi dan "degap-degap" di dalamnya. Sungguh!

haha...terima kasih atas apresiasinya samy...

Nyan payah neu cerita langsung sira ta jep kupi pancong. sang leubeh menarik bak via ta jep kupi

siap gure... kamo nyoe tengoh bak warung kupi. neulangkah keuno, mangat tabanteng cerita,hehe.

Hahaha ka jula, idheut le aneuk miet singoh jak u kulam sabab. lol

Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq

Hek that bak lon pike cerita nyoe, han abeh-abeh, icas kukeudeh...

maken lanjut makin bersambung, nyan leh kiban ka nasib Dara Baroe yang tak tersentuh :'(

Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by abduhawab (koffieme) from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.

If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.

Coin Marketplace

STEEM 0.31
TRX 0.11
JST 0.035
BTC 66739.07
ETH 3228.97
USDT 1.00
SBD 4.23