Kisah Pilu, Beban Si Penderita Kanker [Part 1]

in #fiction6 years ago

pinterest.com

Ratna, lahir 46 tahun yang lalu, merupakan anak ketujuh dari delapan orang bersaudara. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan sampingan, yaitu berjualan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Partisipan bersuku Jawa, sedangkan suaminya memang berasal dari Medan. Ia sekarang telah memiliki dua orang anak. Anaknya yang pertama, seorang anak perempuan, yang masih menduduki bangku kelas 8 di salah satu sekolah menengah pertama di kota Medan. Sedangkan, anaknya yang bungsu masih menduduki bangku kelas 4 di salah satu sekolah dasar di kota Medan. Suaminya, baru saja bekerja kembali sebagai seorang sales di salah satu perusahaan yang menjual minuman di kota Medan setelah sempat mengundurkan diri selama sekitar dua tahun untuk membantu istrinya berjualan.

Ratna adalah seorang penderita kanker payudara. Ia telah didiagnosa menderita kanker payudara sekitar delapan tahun yang lalu. Pada saat itu, dia merasakan ada benjolan kecil di payudara sebelah kirinya, tetapi ia tidak merasakan sakit ataupun berdenyut. Kemudian, ia berkonsultasi mengenai hal tersebut dengan ibunya (sekarang sudah meninggal), dan ia disarankan untuk meminum jahe merah karena diduga benjolan tersebut hanya masuk angin saja. Setelah meminum jahe merah, ia pun merasa menjadi lebih baik.

Selang beberapa bulan, ia mulai merasa ada benjolan kembali, sedikit lebih besar dan berdenyut. Tidak berapa lama, kakaknya (sekarang sudah meninggal), merasakan hal yang sama di payudara sebelah kanannya dan mengajaknya untuk berobat ke dokter. Setelah berkonsultasi ke dokter, didapati bahwa, ia dan kakaknya menderita kanker payudara yang harus segera dioperasi untuk pengangkatan. Mendengar kata operasi, karena ketidaksiapan diri dan tidak adanya biaya, ibu Ratna pun memutuskan untuk menunda melakukan operasi. Sedangkan kakaknya langsung melanjutkan operasi dengan menggunakan jaminan kesehatan suaminya yang ditanggung oleh perusahaan tempat suaminya bekerja. Kakaknya pun menjalani operasi pengangkatan benjolan. Setelah itu, kakaknya memeriksakan diri ke laboratorium untuk mendapati bahwa benjolan tersebut ganas dan dokter menyarankan untuk segera dilakukan kemoterapi. Ketika dokter menjelaskan kemungkinan dampak-dampak yang akan dialami selama menjalani kemoterapi, kakaknya mundur dan tidak melanjutkan pengobatan lagi.

Kaget, tidak menyangka bisa terkena penyakit kanker, merupakan reaksi pertama yang didapatkan Ratna dari suami dan keluarganya ketika ia mendapatkan diagnosanya. Walaupun begitu, ia ikhlas dengan penyakit yang ia derita, menganggap hal ini merupakan cobaan dan memiliki keinginan untuk menjalani serangkaian pengobatan agar penyakit tersebut segera hilang dari tubuhnya.

“Nggak, cuman gini aja.. kok bisa kenak yaa.. gitu lah... tapi yang namanya apa gitu ibu ambil kesimpulan.. oh ini cobaan, coba ibu jalanin lah.. ibu.. cemana bilangnya yaa.. ya istilahnya kan, bakal kesana semuanya yaa... gitu”
“Dia? Yah terkejut juga lah dia.. Kok bisa kenak gini ya dek.. katanya.. gak tau awak, saya bilang gitu lah.. tapi adek nyusuin nya.. iya nyusuin, tapi kan bersihkannya itu nggak bersih, hanya sekedar, ini diisap sedangkan yang sebelahnya hanya ngalir gitu ajah, nggak diperas-peras kali.. oh iya iya.. tapi cobalah kita berobat juga, dia bilang gitu.. udah itu lah terus, ke alternatif aja ibu ya kan..”

pinterest.com

Keinginan tersebut tidak berjalan dengan lancar. Rasa takut menghalangi Ratna untuk segera menjalani operasi, kemudian ia mencari pengobatan alternatif yang disarankan oleh ibunya dengan harapan bahwa benjolan tersebut akan segera hilang. Ibu beliau merasa bahwa Ratna tidak berusaha keras untuk menyembuhkan penyakitnya. Bahkan, ia baru memeriksakan benjolan yang sudah lama ia rasakan setelah kakaknya mengajaknya untuk berobat. Tetapi, pengobatan alternatif tersebut tidak menghasilkan hal yang diharapkan. Malah membuat benjolan yang dulunya masih kecil menjadi semakin besar yang memaksanya untuk melakukan operasi. Ibu beliau juga lah yang pertama kali menyarankan agar Ratna segera menjalani operasi pengangkatan dan berkonsultasi dengan suaminya mengenai hal tersebut.

Keinginan untuk mendampingi anak-anak yang masih kecil dan bisa melihat mereka hingga tumbuh besar menjadi kekuatannya untuk melawan rasa takut menghadapi pengobatan kanker tersebut. Dukungan dari suami yang ia dapat, bahwa suaminya tidak melarangnya untuk melakukan operasi mastektomi, semakin meyakinkan dirinya untuk melakukan operasi pengangkatan tersebut. Ketika Ratna berada di rumah sakit, menunggu pengobatan hingga ia selesai menjalani pengobatan, anak-anaknya, terutama anak sulungnya, setia terus mendampingi Ratna bahkan jika hal itu mengharuskan anak sulung Ratna untuk izin dari sekolah, tak jarang hingga seminggu lamanya.

“Pertama kan kena sebelah kiri.. itu lah kan karena itu juga.. pas itu juga sempat masuk ke lab.. waktu itu kan masih kecil.. disuru buang.. jadi karena takut dengan operasi itu, berusaha ke alternatif, ternyata makin lama makin lama makin besar dia, terakhir dibuang lah dia... pas jalanin kemo kedua, banyak lah terjadi masalah-masalah jadi tidak diteruskan... memang waktu yang sebelah kiri ada, yang sebelah sini juga ada kecil (menunjukkan payudara sebelah kanan) itu, trus tanya sama dokter katanya nggak apaapa, nanti kan kena kemo mati tu akarnya, ternyata ni kena lagi yang sebelah kanan..”
“Gak ada, cuman habis nyusuin itu, loh kok ada apa ini, seperti kacang tanah gitu kecil, terus tanya sama mendiang mama ibu katanya angin itu, makan jahe merah.. ilang.. ilang, ntah berapa bulan kemudian, balek lagi, itulah dibawa ke rumah sakit mana itu.. kakak yang bawa.. oh, ke Rumah Sakit Erna.. haa.. disitulah terus bawa ke lab, kemudian foto di Materna, haa disitulah foto, memang harus dibuang, tetapi karena kita mendengarkan operasi itu belum siap, gak berani, terus dampaknya jadi begini lah...”
“Orang itu khawatir kali, itu lah, karena ibu kurang ada apanya, kata mereka usaha lah, Ri, usaha, itu lah, kemana kata orang ibu pigi... wah, pokoknya sudahlah, semua sudah ibu coba... tapi kan dia lama-lama membesar, trus kata mendiang ibu kayak gini, eh.. uda lah Ri, gak usah lagi ke alternatif, ee kasian anak-anakmu, anak-anakmu masih kecil, itulah kalau mau dibuang-dibuang aja lah, tanya sama lakikmu setuju nggak, itu lah ibu tanya sama ayah orang ini kan (menunjuk anaknya yang paling besar yang sedang menemaninya), ya udah lah kalo kata mamak dibuang, dibuang lah, adek gak apa-apa?.. nggak lah, nggak apa-apa, awak siap.. ya udah lah, ayah pun setuju katanya, daripada awak nengok adek kayak gitu.. memang dia gak denyut, cuman dia benjol-benjol kayak kotoran kambing gitu.. keluar gitu dia apanya...”
“oh, ibu duluan.. udah setau ibu kena gitu kan, dia pun mandi.. katanya pas mandi itu dia angkat dia raba-raba... katanya, Ri, aku kok ada juga ya Ri.. dia sebelah kanan, ah masa mbak.. iya Ri.. katanya.. orang itu kan ada apanya, orang suaminya kan kerja di hotel Tiara, ada Askesnya, nah pakek itu lah orang itu berobat.. itulah ibu dibawanya sekalian berobat itu kan... yok, kita berobat yok.. biar sama aku piginya.. ntah dibawak ke dokter mana tu.. itu lah ibu dibawanya, cuman ibu karena tadi katanya harus dibuang, ibu stop disitu lah... aku nggak ada apa lah... kalau dibuang, aku nantiknantik aja lah.. Kau enak lah, kalian kan dari kantor, kalau awak dari manalah, ayahnya aja kerjanya kayak gitu, itulah dia terus masuk ke Rumah Sakit Erna, tapi mungkin itu lah salahnya, nggak ke lab dulu.. suaminya langsung cari dokter bedah, tanpa bawa hasil lab.. setelah diambil benjolan terus bawa ke lab, katanya itu ganas, seminggu kemudian, diangkatlah punya kakak ini kan, diangkat semua, habis, itupun hasilnya, gak disitu diapakan, dioper ke Bandung katanya, dioper ke Bandung, di sana pun gak kebaca apanya, itu.. itu mau di kemo apa... itulah.. gak tau apanya, itu lah makanya, si kakak ini pun gak berani dia.. kata dr. Bernard, ibu harus dikemo, dampak dikemo itu begini-begini... mundur dia..”

pinterest.com

Biaya juga menjadi salah satu kendala terbesar bagi Ratna. Biaya pengobatan kanker yang tidak sedikit tidak dapat ditutupi oleh Ratna dan suami yang hanya berjualan makanan sebagai sumber utama mata pencaharian mereka. Ratna, yang pada saat itu belum memiliki Jamkesmas, tidak hanya berdiam diri. Ia meminjam Jamkesmas tetangganya yang memiliki usia sama dengan beliau dan memanfaatkan Jamkesmas tersebut agar ia dapat melanjutkan pengobatannya. Tetapi, hal ini tidak berlangsung lama. Ratna memutuskan untuk tidak melanjutkan pengobatan lagi setelah menjalani kemoterapi kedua setelah mendapatkan omongan negatif dari tetangga yang Jamkesmasnya ia pinjam. Hal tersebut menyebabkan ia segan untuk berlama-lama meminjam Jamkesmas tersebut. Ratna segera mengembalikan Jamkesmas tetangganya yang disertai dengan ucapan terima kasih semampunya dan ia memutuskan untuk sama sekali tidak melanjutkan pengobatan medis lagi karena biaya pengobatan yang terlalu mahal.

“Nggak.. itu lah terus, ibu karena sibuk kesana-kesini, kesana-kesini kan, ini terus membesar kan, itu lah kata mendiang ibu, udah buang ajah, yah namanya ibu nggak apa kan, ada lah yang ngasi pinjam Jamkesmas, nah itu lah ibu pinjam Jamkesmas, semua kan harus disamakan, kita harus ngapal yang punya itu lah, cari umur aja lah yang sama, ini ibu bukak lah ya, tapi kan nanti diapa ya..”
“Jadi, ibu pakek lah.. ibu pakek operasi, ibu pakek untuk kemo dua kali, tapi karena itu tadi, karena kita pinjam ya kan, ngerti.. tapi maksud ibu itu nantik, setelah siap semuanya, ibu balaslah budi orang ni tadi.. karena orang ini lah ibu bisa begini-begini... tapi, karena masih di tengah jalan itu mendengar yang gak enak omongan, ibu terus.. apa ya.. baru apa, kok begini.. terus ibu jadi nggak enak, trus ibu bilang lah sama suami, cemana kalau kita pulangkan aja ini, Jamkesmasnya sama KK nya yang asli, karena alasan orang itu udah nggak enak lah... kita pulangkan, pinjamlah dulu dana, yah nggak usah banyak-banyaklah, pinjam ajah dulu 500ribu, kita pulangkan, trus masak lah kita sikit, ucapan terima kasih, ibu bawaklah rantang, ibu antarkan kesana, itu lah tadi terus orang itu bilang, nanti kalau apa, Ri, pakek lah lagi.. iya, InsyaAllah kak, kalau aku pakek, aku pinjam lagi, disitulah ibu putuskan, ibu nggak jalanin kemo..”

Setelah memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan pengobatan, Ratna pun beralih ke pengobatan alternatif lain yang menawarkan kemudahan dalam pelunasan biaya pengobatan. Setelah beberapa bulan menjalani pengobatan alternatif tersebut, ia pun menghentikannya karena sudah tidak memiliki biaya lagi dan ia merasa bahwa kondisi tubuhnya sudah stabil.

“itu lah, trus tanya ke K-Link, cemana kalau kita putus ditengah jalan kemo, ee solusinya macemana, oh bisa bu, tapi ibu harus pakek produk ini lah.. banyak lah macamnya di kasi orang itu.. yah kalau segitu banyaknya, aku nggak sanggup lah biayanya.. nggak apa-apa bu, dicicil ajah, ibu ambil barangnya, biayanya dicicil, yah kalau bisa kayak gitu... itu lah ibu cicil, selama berapa bulan gitu lah ya.. enak lah memang, Alhamdulillah, istilahnya ini tadi nggak mengulah, pakek ibu pakek, karena ibu pikir udah enak, ya udah lah stop sampe disitu, karena kan biayanya besar kali gitu.. ...”

Beberapa tahun setelah pengobatan terakhir yang ia jalani, Ratna merasakan adanya benjolan kembali pada payudara yang tinggal satu-satunya ia miliki. Ratna segera menjalani pengobatan alternatif lagi. Selama satu setengah tahun ia menjalani pengobatan alternatif tersebut, ia tidak merasakan perubahan apapun pada kondisi tubuhnya. Kemudian, ia beralih ke pengobatan alternatif lain. Ratna disarankan untuk meletakkan campuran sirih merah di benjolan tersebut yang malah hanya semakin memperburuk kondisinya. Benjolan tersebut melepuh, meninggalkan bekas luka hitam besar yang tidak enak dipandang dan terus menerus berdenyut. Rasa takut jika benjolan tersebut pecah dan semakin memperburuk keadaan, membuat Ratna menghentikan pengobatan alternatif tersebut dan segera beralih ke pengobatan medis kembali.

“... Habis itu, jalan tiga tahun ya kan, jalan tiga tahun, ini pun nggak ada apa-apa, balek kemari (menunjuk payudara sebelah kanan), rasanya gini, mendenyut juga, kok besar ya besar, tapi laen, ini kok hanya bulat besar gitu ajah, itu pun ibu bawa ke alternatif, selama setaun setengah nggak ada baiknya, ibu bawa ke titi kuning, pas puasa itu lah, emang enak yang di titi kuning kan, tapi kemaren itu Bapak tu pergi ke pesantrennya di Madura, berhenti ibu berobat, nggak berobat lagi.. ini pun terus mendenyutmnedenyut, katanya, nantik kalau mendenyut terus ditempeli sirih merah.. ibu tempeli sirih merah, melepuh dia.. melepuh.. macam cemana ya..”
 “Panas.. panas kali, sirih itu digiling sama daun cabe sama kapur ditumbuk, yah panas, melepuh, melepuh, terus luka, kok bisa luka gini ya pak, iyaa, gak papa itu, nanti dia kering di dalam, katanya... tapi karena, itu lah tadi, bapak itu nggak disini lagi ya kan, nggak ibu buat lagi, karena dia melepuh itu lah, ibu takut dia pecah, jadi ibu biarkan, itu lah denyut terus, denyut terus, luka nya pun gini ajah nya (menunjukkan lukanya), tapi ini dulu besar ni.. agak melebar gitu, karena kemo kedua ini lah terus dia agak mengecil.. Alhamdulillah nggak denyut lagi lah dia, ...”

Bersambung...

Wondering How Steemit Works, Read Steemit FAQ?

Coin Marketplace

STEEM 0.25
TRX 0.11
JST 0.032
BTC 63134.74
ETH 3052.94
USDT 1.00
SBD 3.81