The Shadow of Tingwe: A Prologue of General Sudirman | Bilingual |

in #fiction6 years ago


Source

The smoke of the smoke that danced in the air was like a white cloud that formed itself like a horse's head, sheep's fur, genderuwo's (ghost) face, or more often a meaningless scratch. Everything shapes out of my will. So no matter how strongly I imagine that white smoke resembles a map of Indonesia, for a dozen years I have failed to make smoke behave in my orders. Once upon a time, forgot what year, white smoke was almost like a map of Java Island. But I myself am not sure it's a map of Java or just my beliefs alone when tracking every difficult niche in guerrilla warfare.

Often I think, if it can form a cloud of smoke in some islands and able to maintain its shape from the brunt of the wind, then it becomes a sign of a group of islands named Indonesia that will never be deterred by the Dutch or other occupiers, in any form.

I never said that ridiculous thought to anyone, including Alfiah who remained faithful and supportive of whatever I said, no matter how impossible my mind might be. I thought it was just a form of escape from exhaustion for eight months of guerrilla warfare. I do not have to feel sin with that thought, or against my failure to form a cloud of smoke resembling a group of the Indonesian archipelago. I feel more guilty about the act itself, and not the smoke. Through tingwe I find heaven and hell all at once. He caused my lungs to disappear one, but he also burned the waves of guerrilla warfare, even now when my mind is burdened with various national problems. This is the condition that made me unable to really leave it as advised doctor Asikin Wiajayakusuma.

Last night, I missed so much that I almost repeated the mischief to ignore the doctor's orders. But I remembered Alfiah and the children. Rather than disappointing those who love, or abandoning tingwe whom I also love, I finally take the middle ground. I called Alfiah and I asked her to blow the fragrant smoke on my face. I know Alfiah is not happy to do it, but because of her love, she also dare not refuse my request. It is like the trap of pleasure in a sin.

I saw Alfiah sucking tingwe, collecting smoke inside her plump cheeks, then exhaling it slowly into my face. In an instant the delectable special aroma stormed my face, entering through the nose, perhaps some of the fragrance left there before it clung to the brain. White smoke splashing from Alfiah's mouth mixed with his breath, I think it's more delicious than the smoke I breathe from my own mouth.

"Thank you, Dear. You did it right. "

There's no reply from Alfiah except for the thin smile I cannot quite translate. I feel a romantic atmosphere in my fragility. Remembered with the story of Kanjeng Prophet who drank the water in a glass former Siti Aisyah. The position of Kanjeng Prophet's lips in the mouth of the glass is exactly the same as Siti Aisyah's former lips. Very romantic. I even wanted to suck smoke straight from Alfiah's lips, but he certainly would not allow it because it was not good for my health. If possible, how romantic feel the mix between the softness of Alfiah's lips with the smell of smoke tingwe.

The white smoke that poked my face, still dancing in the air. Circling around in the room looking for a gap to wipe away from view as directed by the wind. However, in this small room, the wind is like a lazy blowing and white smoke is trapped in a room with a face that is hard to do the meaning.


Note:

  1. Tingwe stands for ngeliting dewe (Java) or rolling own
  2. The above prologue snippet is published in the 693 KM Jejak Gerilya Sudirman. Published by Noura Books, 2010.


Source



Source


Bayangan Dari Tingwe: Sebuah Prolog Jenderal Sudirman

KEPULAN asap tingwe yang menari-nari di udara seperti lukisan awan putih yang membentuk diri serupa kepala kuda, bulu-bulu domba, wajah genderuwo, atau lebih sering sebuah goresan tak bermakna. Semuanya bentuk di luar kehendakku. Makanya seberapa pun kuatnya aku membayangkan asap putih itu menyerupai peta Indonesia, selama belasan tahun aku gagal membuat asap tingwe patuh pada perintahku. Pernah suatu ketika, lupa tahun berapa, asap putih itu nyaris menyerupai peta Pulau Jawa. Tapi aku sendiri tak yakin itu bentuk peta Jawa atau hanya keyakinanku saja saat menjejaki setiap ceruk sulit dalam perang gerilya.

Sering aku berpikir, kalau bisa membentuk kepulan asap itu dalam beberapa gugusan pulau dan mampu mempertahankan bentuknya dari terjangan angin, maka itu menjadi pertanda gugusan pulau bernama Indonesia itu tidak akan pernah tergoyahkan oleh Belanda atau penjajah lain, dalam bentuk apa pun.

Aku tak pernah mengatakan pikiran konyol itu kepada siapa pun, termasuk Alfiah yang tetap percaya serta mendukung apa pun yang kukatakan, seberapapun mustahilnya pikiranku. Kupikir itu hanya sebagai bentuk pelarian dari keletihan selama delapan bulan bergerilya. Aku tak harus merasa berdosa dengan pikiran itu, atau terhadap kegagalanku membentuk kepulan asap menyerupai gugusan kepulauan Indonesia. Aku lebih merasa bersalah pada tingwe itu sendiri, dan bukan asapnya. Melalui tingwe aku menemukan surga dan neraka sekaligus. Dia yang menyebabkan paru-paruku hilang satu, tetapi ia juga yang membakar gelora perang gerilya, bahkan sampai sekarang tatkala pikiranku dibebani berbagai persoalan bangsa. Keadaan inilah yang membuatku tidak bisa benar-benar mampu meninggalkannya seperti disarankan dokter Asikin Wiajayakusuma.

Semalam, aku begitu merindukan tingwe sehingga nyaris mengulang kenakalan untuk mengabaikan perintah dokter. Tapi aku teringat dengan Alfiah dan anak-anak. Daripada mengecewakan orang-orang yang mencintai, atau meninggalkan tingwe yang juga kucintai, akhirnya aku mengambil jalan tengah. Kupanggil Alfiah dan kuminta ia mengembuskan asap tingwe yang harum ke wajahku. Aku tahu Alfiah tidak senang melakukannya, tetapi karena rasa cintanya ia juga tidak berani menolak permintaanku. Ini seperti jebakan kenikmatan dalam sebuah dosa.

Aku melihat Alfiah menyedot tingwe, mengumpulkan asap di dalam pipinya yang montok, kemudian mengembuskannya ke wajahku secara perlahan. Dalam sekejap aroma khas penuh nikmat menyerbu wajahku, masuk melalui hidung, mungkin sebagian aroma tersisa di sana sebelum melekat kuat di dalam otak. Asap putih yang menyebur dari mulut Alfiah yang sudah bercampur dengan harum napasnya, kurasa lebih nikmat dibandingkan dengan asap yang kuhirup dari mulutku sendiri.

“Terima kasih, Sayang. Kamu melakukannya dengan benar.”

Tak ada sahutan dari Alfiah kecuali senyum tipisnya yang sulit kuterjemahkan. Aku merasakan suasana romantis dalam kerapuhanku. Teringat dengan kisah Kanjeng Nabi yang meminum air di gelas bekas Siti Aisyah. Kedudukan bibir Kanjeng Nabi di mulut gelas sama persis dengan bekas bibir Siti Aisyah. Romantis sekali. Aku bahkan ingin menyedot asap langsung dari bibir Alfiah, tetapi dia tentu tak mengizinkannya karena tak baik bagi kesehatanku. Seandainya bisa, betapa romantisnya merasakan campuran antara kelembutan bibir Alfiah dengan keharuman asap tingwe.

Asap putih yang menerba wajahku, masih menari-nari di udara. Berputar-putar dalam ruangan mencari celah untuk melenyapkan diri dari pandangan sesuai perintah arah angin. Namun, dalam ruangan kecil ini, angin seperti malas berembus dan asap putih itu terjebak dalam ruangan dengan rupa yang sulit kumaknai.


Kaver Judul Sudirman.jpg


Catatan:

  1. Tingwe singkatan dari ngeliting dewe atau melinting sendiri.
  2. Nukilan prolog di atas dimuat dalam novel 693 KM Jejak Gerilya Sudirman. Diterbitkan Noura Books, 2010.

Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

diksi yang menghanyutkan pembaca pada kisah romantis. Sebuah prolog yang pasti membius pembaca karena diajak untuk lebur dalam sisi kemanusiaan seorang jendral yang tak kenal kompromi, karean kita sudah diajarkan kepemimpinan Jendral Sudirman sebagai panglima yang menggerakkan pasukan infantri dari Banyumas hingga Ambarawa untuk mengusir sekotu dan menjadi medan pertempuran yang dikemnal dengan palagan Ambarawa.
Dengan berbekal satu paru-paru sehingga sangat sulit dalam peergerakan dari satu tempat ke tempat lain hingga akhirnya harus ditandu, Jendral Sudirman sosok yang militan, pantang berunding, karena berunding hanya akan menghasilkan kekalahan. Dengan didikan Jepang lewat PETA yang ddia dapatkan, semua prajurit punya semangat bushido.
nah, dengan membaca prolog yang Bang @ayijufridar sampaikan maka kita diajak untuk menyelami bahwa seorang jendralpun punya sisi manusia.
Salam kami dari Klaten, Jawa Tengah

Klaten termasuk wilayah napak tilas gerilya Jenderal Sudirman, kan? Dulu saya malah ingin menjelajahi jalur gerilya Pak Dirman agar lebih menghayati perjuangan tersebut sebelum menulis novelnya @rokhani. Namun, harus menunggu terlalu lama, padahal novel ini termasuk jenis kejar tayang.

Terima kasih atas komentarnya @rokhani. Saleum buat Steemians Klaten.

ya, klaten termasuk rute long march oanglima jendral Sudirman. Inspirasi perjalanan ini menjadi salah sato faktor dulu saya pernah melakukan perjalanan, jalan kaki dari semaranhg sampai banjarnegara, tempat kelahiran saya. Saya melakukannya yang berhasil dua kali. yang pertama sehabis latihan alam teater SS IKIP Semarang sekitar tahu 1994 perjalanan saya lakukan dalam lima hari dari semarang samapi Desa kemranggon Kecamatan susukan banjar negara. yang kedua dibulan ramadan saya alkuakan lebih cepat yaitu empat hari. yang ketiga sudah sampai di kertek wonosobo yangmungkin kira-kira tinggal 100 km saya psuing akhirnya saya putuskan sambung pakai bis. banyak pengalaman dalam perjalanan itu bang baik yang fisik maupun yang metafisik.
makanya saya membaca prolog novel iytu jadi teringat kembali kenangan di masa silam.
bahkan saya belum baca novelnya, maaf ya bang...

Pakiban ka sagoe nyan?

Hana can sagai Pak @dsatria.

Saya membaca tulisan abang dan saya menemukan abang punya selera sastra dalam menyampaikan pandangan dan itu saya pikir bagus

Terima kasih @penasantri. Saleum literasi.

Coin Marketplace

STEEM 0.33
TRX 0.11
JST 0.034
BTC 66598.01
ETH 3236.65
USDT 1.00
SBD 4.66