Melati

in #fiction6 years ago (edited)

Lelaki itu kemudian menikah dengan perempuan lain yang dicintainya. Perempuan itu pun menikah dengan lelaki lain yang dicintainya. Tetapi itu tidak membuat cinta mereka berdua berkurang.

image

Cerpen Mustafa Ismail

LELAKI itu bertanya kepada istrinya, "Bila suatu saat aku mencintai perempuan lain, apa yang akan kau lakukan? Apakah kau akan membenciku?" Ia bertanya dengan nada ringan, suara datar, seperti air yang mengalir lepas ke pantai.

Perempuan itu, Mawar, yang belum genap setahun dinikahinya, sedikit pun tidak menunjukkan rasa terkejut atas pertanyaan itu. Sejenak, ia tampak berpikir. Matanya menatap lekat-lekat pada suaminya.

"Sebelum kujawab," kata Mawar kemudian, "Aku juga ingin bertanya padamu. Apa yang akan kau lakukan seandainya nanti aku jatuh cinta pada lelaki lain? Apakah kau akan membenciku?"

Lelaki itu tercenung sejenak. Ia tidak habis mengerti mengapa istrinya mempunyai pertanyaan yang sama dengannya. Ia pandangi istrinya lekat-lekat dan mendapatkan cinta sangat dalam bersinar dari sorot mata perempuan yang dicintainya itu.

Cinta itu masih sama, mungkin lebih, seperti ditemuinya beberapa tahun lalu sejak mereka mendeklarasikan sebuah kesekapatan: cinta sampai mati, cinta tak akan berbagi. Ah, mengapa mereka memunyai pertanyaan yang sama kini?

Lelaki dan perempuan itu saling memandang. Mereka seperti terpana. Mereka seperti menyesali pertanyaan masing-masing yang telanjur diucapkan. Pertanyaan terkutukkah itu? Mengapa harus ada pertanyaan semacam itu?
Tidak ada suara. Sunyi merayap. Lalu, perempuan itu tersenyum. Lelaki itu membalas senyumnya. Tangan perempuan itu kemudian bergerak, menarik tubuh lelaki itu sampai rebah. Keduanya rebah. Mata mereka masih saling pandang.

Kesunyian terus merayap. Di luar, bulan menyorot acuh tak acuh. Malam merayap sangat pelan. Gerimis baru saja usai.


Lelaki itu bertanya kepada seorang perempuan yang pernah--dan sampai kini masih--dicintainya. "Apakah kau membenciku setelah aku menikah? Lelaki macam apakah aku dalam bayanganmu?" Suaranya lepas, tanpa beban, seperti jarum arloji di tangannya yang begitu lancar mengiringi matahari yang bergerak pulang. Hari makin sore.

Perempuan itu, Melati, tak menunjukkan sedikit pun rasa terkejut atas pertanyaan itu. Ia tetap tenang, sambil memandang lepas, menembus kaca jendela kafe di sebuah lantai cukup tinggi gedung jangkung itu. Justru yang bikin ia terkejut adalah pemandangan di depan matanya: Tiba-tiba langit penuh kilatan cahaya, seperti pedang maha panjang membelah-belah angkasa.

Langit menjadi gelap. Hujan tiba-tiba mengguyur, padahal sebentar lagi Melati harus bertemu seseorang yang sangat dicintainya, ayah dari anak yang kini dikandungnya. Kalau hujan turun, sudah pasti kota itu akan macet. Bisa dipastikan, ia akan sulit menjangkau rumah untuk makan malam bersama.

Makan malam bersama, sebuah komitmen untuk dilakukan sebisa mungkin sepanjang masa.

Jawaban apakah yang harus dikatakan kalau suaminya nanti bertanya? Macet? Duh, betapa itu sebuah alasan sangat membosankan dan tidak masuk akal. Lelaki itu pasti tahu, ia tidak langsung pulang. Kalau ia langsung pulang, pasti tidak akan terkena macet. Kantornya berada di ujung jalan, yang menjadi pintu keluar segala kemacetan.

Melati tercenung sejenak. Lalu, ia pun bertanya pula kepada lelaki di depannya itu. "Aku juga ingin bertanya padamu. Apa yang akan kau lakukan bila orang yang kau cintai bercinta pula dengan orang lain yang dicintainya? Apakah kau akan membencinya?"

Mendengar pertanyaan itu, ia berusaha tidak ingat apa-apa. Lelaki itu berusaha melupakan bayangan perempuan yang dicintainya yang mungkin mencintai orang lain yang dicintainya. Ia memandang pula ke luar, mengikuti arah pandangan perempuan itu, yang seperti menembus hujan lebat, menembus kilatan pedang-pedang cahaya yang berkilatan.

Tidak ada suara. Sunyi merayap. Hanya lagu-lagu nostalgik meluncur sangat pelan di sekeliling mereka, yang diputar operator musik kafe itu. Lagu-lagu itu seperti mengantarkan sebuah masa silam setahun lalu: makan siang yang meriah, jus tomat, dan rencana-rencana masa depan yang menggetarkan.

Segera terdengar kembali suara Melati pada suatu siang, di sebuah pojok yang menghadap alam bebas dari sebuah lantai cukup tinggi gedung jangkung itu--ya, di sini ini--perempuan itu bertanya dengan kata-kata yang agak pelan, "Seandainya kita jadi menikah nantinya, apakah kau akan terus merawat aku dalam hatimu?"

Lelaki itu ingat betul jawabannya ketika itu--yang justru sebuah pertanyaan juga, "Seandainya kita jadi menikah nanti, apakah kau hanya akan makan siang bersamaku? Apakah kau hanya menyimpan cinta untukku?"

Baru saja pertanyaan itu diselesaikan, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan amat memekakkan, gedung itu seperti sempoyongan, lagu-lagu nostalgia yang diputar tenggelam oleh jerit minta tolong orang-orang. Lelaki dan perempuan itu seketika sudah saling bersidekap, yang perempuan seperti berlindung, yang lelaki menjadi pelindung.

Ia merangkul Melati rapat-rapat, sambil matanya mencari-cari arah suara ledakan itu, yang ia dengar tidak jauh dari sana. Tetapi di kafe itu tidak ada kaca yang pecah atau gelas yang jatuh, hanya kepanikan. Tetapi tak lama, suara sirine berbunyi.

Dari speaker yang biasanya meluncur lagu-lagu nostalgia, kali ini terdengar sebuah suara lelaki yang tegas dan penuh kewaspadaan: "Saudara-saudara, dimohon tidak panik. Kami sudah mengendalikan situasi." Tetapi orang-orang tetap menunduk, ada yang tengkurap, ada yang jongkok sambil kedua tangannya menutup rapat-rapat kedua telinganya. Wajah-wajah mereka menyimpan rasa takut teramat dalam.

Beberapa petugas security kemudian datang, memandu orang-orang untuk pelan-pelan meninggalkan kafe, turun menggunakan tangga darurat, dari lantai cukup tinggi gedung jangkung itu. Mereka terengah-rengah, dengan mata waswas, dibayangi rasa takut teramat dalam.

Lelaki itu, perempuan itu--mungkin juga orang-orang lain--terus bertanya, orang biadab mana lagi meledakkan kemanusiaannya di sini?

Sampai di tanah, mereka menyaksikan suasana panik sungguh menggila: darah mengalir, bagian gedung porak-poranda, mobil terbakar, dan sekian orang terkapar meregang nyawa. Sirine terus berbunyi, orang-orang histeris. Orang-orang terus berusaha menyelamatkan diri, dengan mata penuh rasa takut, seperi halnya perempuan yang berlindung dalam rangkulannya.

Ia dan Melati tak lagi bisa berkata-kata. Kata-kata terlalu sedikit untuk menggambarkan kebiadaban yang dipertontonkan. Kata-kata tak sanggup melukiskan amarahnya menyaksikan peristiwa semacam itu. Mereka terus diam, sampai menemui sebuah taksi yang melintas, masuk dan menangis bersama di dalamnya.

Peristiwa itu menjadi bayangan buruk. Lelaki dan perempuan itu membatalkan rencana pernikahan mereka. Mereka membaca peristiwa itu sebagai isyarat tak baik buat kehidupan mereka kelak. Tragedi buruk itu terjadi saat mereka membicarakaan tentang pernikahan.

Tidak rasional memang, mereka sangat sadar itu. Tetapi mereka percaya, sering hal-hal tak rasional justru membentuk kenyataan di sekitar mereka.
Lelaki itu kemudian menikah dengan perempuan lain yang dicintainya. Melati pun menikah dengan lelaki lain yang dicintainya. Keduanya memang, diam-diam, masing-masing menyimpan cinta di tempat lain. Tetapi itu tidak membuat cinta mereka berdua berkurang. Justru, mereka merasakan cinta mereka masing-masing menjadi lebih.


image

Hari makin sore. Hujan pelan-pelan reda. Tiba-tiba mereka seperti terjaga dari sebuah bayangan buruk. Lelaki itu memandang Melati yang duduk di depannya. Perempuan itu balas memandang pula. Mereka saling berpandangan.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku," kata lelaki itu.

"Kamu juga belum menjawab pertanyaanku," perempuan itu berkata pula.

"Apakah perlu dijawab?" Lelaki itu bertanya.

Perempuan itu menyela. "Ya, apakah perlu kujawab?"

"Aku tetap mencintaimu," kata lelaki itu.

"Cintaku padamu tidak pernah berkurang," balas perempuan itu.
Mereka sempat terdiam sejenak, seperti kehilangan kata. Langit makin sore. Hujan kemudian benar-benar reda. Lelaki itu menepuk jidatnya.

"Aduh, aku lupa ternyata aku ada janji mengantar istriku mau belanja," katanya. Lalu, ia buru-buru mengeluarkan telepon genggam dari sakunya, dan menelepon.

"Ma, rapatnya belum selesai. Lagian, sedang macet banget nih. Maklum, habis hujan. Mendingan mama naik taksi saja ke supermarket," katanya. Telepon kemudian ditutup. Sekilas, lelaki itu tersenyum. Perempuan di depannya tidak menanggapi. Ia duduk tenang memandang tingkah lelaki itu.

Sebentar kemudian, telepon genggam Melati juga berbunyi. "Halo Pa, aku masih ada rapat dengan klien. Mungkin satu-dua jam lagi selesai. Oh ya Pa, kalau lapar makan aja duluan. Aku nanti nyusul. Soalnya, jalanan juga macet sekali, takutnya kalau nunggu aku, papa keburu lapar banget."

Lalu telepon ditutup. Lelaki dan perempuan itu saling memandang.
"Masih adakah yang masih harus dijawab?" Perempuan itu bertanya kemudian.
Lelaki itu tidak menjawab pertanyaan perempuan di depannya. Tidak ada yang berkata-kata. Sunyi merayap. Lagu-lagu nostalgia kembali mengungkit-ungkit kenangan demi kenangan yang mereka punya. Di luar, langit menjadi gelap.


Mawar bertanya kepada suaminya, "Bila ternyata aku juga mencintai lelaki lain, apa yang akan kau lakukan? Apakah kau akan membenciku?" Ia bertanya dengan nada ringan, suara datar, seperti air yang mengalir lepas ke pantai.

Lelaki yang sangat dicintainya itu sedikit pun tidak menunjukkan rasa terkejut atas pertanyaan itu. Sejenak, ia tampak berpikir. Matanya menatap lekat-lekat pada isterinya.

"Sebelum kujawab," katanya kemudian, "Aku juga ingin bertanya padamu. Apa yang akan kau lakukan seandainya aku juga jatuh cinta pada perempuan lain? Apakah kau akan membenciku?"

Perempuan itu tak menjawab. Ia hanya memandang lelaki yang rebah di sampingnya. Dada perempuan itu bergemuruh. Mengapa suaminya punya pertanyaan yang sama dengannya? Apakah lelaki itu juga menyimpan cinta di tempat lain?

Tiba-tiba Mawar menjadi menyesali pertanyaannya. Seharusnya, tidak semua hal harus diungkapkan. Tidak semua hal harus ditanyakan. Terkadang pertanyaan justru membongkar sesuatu yang tenang menjadi rasa takut.
Ah, mengapa setiap orang harus menebar cinta di tempat lain.

image

Mawar menggigit bibir, memandang langit-langit dan membayangkan seorang lelaki yang dicintainya sedang bercinta pula dengan seorang perempuan yang dicintainya.

Sebuah tangan tiba-tiba menyentuh wajahnya. Lelaki itu masih menatap perempuan di sampingnya. Perempuan itu lalu membalas dengan segaris senyum tipis menyembul di bibirnya. Mereka saling berpandangan. Tidak ada suara. Sunyi merayap.

Di luar, gerimis baru saja usai. Malam bergerak pelan, menebar hawa dingin yang menusuk.

Pamulang, 16 Desember 2003
CERPEN Ini pernah dimuat di Harian Lampung Post, Minggu, 28 Maret 2004 dengan judul "Gerimis Baru Saja Usai". Di sini judul saya ubah agar ada terasa lebih segar.

Ilustrasi: pixabay.com

Sort:  

sukaaaaaaaaaaaaaaa banget sama cerpen ini....

Loading...

Coin Marketplace

STEEM 0.26
TRX 0.11
JST 0.033
BTC 64999.89
ETH 3101.81
USDT 1.00
SBD 3.87