Dua Petak Sawah Dari Jalan

in #fiction6 years ago

Radio usang tadi siang masih terdengar dalam ingatan-ku, tidak sedikit pun aku lupa dari lirik lagu kesetiaan cinta yang di nyanyikan oleh orang yang telah banyak mempermainkan cinta. Ya, aku tau itu dari cerita sang angkasawati yang suaranya mengalahkan suara burung hitam berparuh panjang yang sering bertenger di pundak kiri-ku sambil memainkan beberapa jerami dari topi yang mulai kehilangan warnanya sebagai penutup kepala-ku. Emm,.. aku tidak pernah berpindah, walau telah begitu banyak mereka yang aku kenal telah menjumpai aku, ada yang gila karena keadaan ekonomi yang menghambat logika rasionalnya untuk menjadi waras, ada pula yang hanya singgah sebentar untuk menceritakan tempatnya yang menjadi panas di dua musim dan menjadi dingin di satu musim. Mereka terus datang dan pergi seperti waktu. Aku lupa dengan wajah-wajah mereka, bukan karena aku tidak mampu mengingat, ini karena terlalu banyak aku menyimpan wajah mereka dalam memori-ku, mereka terlalu berharga untuk aku hapus dari ingatanku. Aku terus berdiri, tidak berbaring, tidak tertidur, tidak pula berjalan, aku hanya berdiri, kawan.

Pengikat-ku telah pergi, karena melihat awan redup di barat dan anging yang cukup kuat untuk menggerakan rambutnya yang selalu wangi dan lebat hitam. Dia pergi begitu saja setelah banyak bercerita, cerita yang berulang-ulang di katakannya yang terkadang aku hendak mengatakan *"kamu sudah berulang kali mengatakannya,!!".*

Aku mengurungkan niat-ku karena aku takut dia tersingung. Kini angin-angin itu mulai nakal dan merasa kuat untuk mengoyang aku, angin yang membawa awan gelap yang penuh berisi kristal-kristal air. Aku berdiri, tidak berlari tidak pula berteduh. Angin-angin mulai mempermainkan rumput- rumput sesuka hatinnya, menggerakannya ke kanan, ke kiri, dan sesuka hatinya. Dia mulai mencoba mempermainkan aku, aku bertahan tidak berlari tidak juga bergeser, aku berdiri. Awan legam itu sudah sangat dekat, bahkan aku merasakan dinginnya hawa yang di bawa bersamanya. Aku merasakannya, kedinginan yang begitu ditakutkan oleh orang-orang. Kedinginan yang begitu nyaman, entah kenapa aku tiba-tiba mengingat teori yang di katakan kambing yang setengah gila. Walau aku bukanlah orang-orang yang biasa, namun, aku juga ingin memiliki rasa takut yang sama dengan orang-orang.

Angin-angin ini telah menang, dia menggerakan-ku kebelakang, aku terdorong mundur. agaimana bisa aku terdorong,? aku tidak berjalan, tidak juga bergerak, aku berdiri.

Awan kelam itu telah datang membawa begitu banyak ingatan-ingatan yang teringat, satu persatu ingatan itu berjatuhan satu persatu ingatan itu berkejar-kejaran. Terlalu banyak yang jatuh hingga mengaburkan pandanganku. Dingin menusuk tulang pangkal, aku orang-orang yang tidak memiliki sendi. Awan gelap itu mengaum sekuat-kuatnya, mulutnya terbuka lebar mengeluarkan semua ingatan-ingatan yang disemburkan menjadi ingatan cair. Angin pun meringkik keras seperti para korban genoside. Semua bergerak. Burung mengengam kuat bertengger di ranting yang tepat. Padi-padi yang telah rebah. Aku tidak berlari, aku hanya diam. Tubuhku telah mendekati tanah. Angin telah menang. Tangisan itu terus terdengar kuat dan melengking. Mungkin karena keriuhan ini, dia tidak menyukai hujan.

Tersendiri dalam keadaan ini,seperti telah menikmatinya dan takut untuk keadaan ini pergi walau memang sungguh telah menanti-nanti untuk keadaan ini pergi. Awan ini telah membuat malam menjadi malam yang sesunguhnya malam, membuat kekasih ‘O’ tertidur lelap dalam buaian mimpi yang menyatukan segala impian mereka. Aku mampu bertahan seberapapun anging yang menerjang dan awan yang bergelombang menghempaskan air-airnya, aku mampu bertahan. Namun aku tidak mau bertahan karena orang-orang biasa tidak mampu bertahan. Aku ingin seperti orang-orang biasa. Malam menjadi kehilangan maknanya.

Sayup-sayup suara burung terdengar, apakah burung ini gila,? Bermain-main dimalam hujan lebat ini.

*“oe, orang-orangan sawah.. bangun!!!, ini sudah pagi. Kau akan melewatkan moment pagi yang cerah ini”* Suara kecil yang sedikit keras terdengar. Aku terjaga tanpa membuka apapun. Aku terjaga. Kilauan cahaya membuat mata-ku terasa pedih, karena orang-orang biasa seperti itu. Keindahan yang menyilaukan. Kesempurnaan yang menaikan hati dan membuatnya menjadi ada.

“selamat pagi, pagi,..!”

Malam yang gulita memberikan aku pagi yang indah, embun yang menyejukan, hawa yang segar, aura yang hangat, bagaimana aku bisa mendeskripsikan moment ini,?. Diantara kesejukan, kehangatan, dan keindahan menyatu menjadi satu . *“Oh, aku mencintai pagi-ku”.* Aku adalah orang-orangan sawah yang tak lagi tegap karena angin semalam mencintai pagi.

“Cinta seperti apa itu,?” Tanya butir padi yang mengguning. Butir padi yang menunduk bersama, tumbuh bersama, terhempas badai semalam, dan di ganggu oleh sang. Kebersamaan mereka membuat mereka menetapkan itu adalah cinta. Cinta yang mereka percaya secara sadar.

“inilah cinta-ku, perasaan akan cahaya, kesejukan yang meresapi hingga ke selah-selah jeramiku. Aku benda, dia waktu. Perasaan adalah perasaan tidak ada yang mampu membatasinya, tidak juga kamu padi kecil yang telang menguning. Tetaplah kamu dengan perasaan dirimu dan aku dengan perasaan diriku” jawab-ku

Mentari yang menghangatkan mulai menanjak, embun kembali mulai menguap, selimut hawa terbawa angin,

“jangan, jangan, jangan biarkan pagi hilang” teriakku.

Bagaimana aku bisa berteriak,? Aku hanya orang-orangan sawah. Mentari segera bergerak karena bumi yang bergerak mengitarinya, pagi akan segera menjadi siang yang panas dan menjadikan panas menjadi merah di atas lautan dan kembali memberikan dinginnya malam. Dan setelah mimpi-mimpi ini terlewati, aku kembali menjumpai pagi, waktu adalah penantian untuk aku merasakan betapa aku menginginkan dan menyatu dalam waktunya. aku menunggu itu dan aku mencintai pagi-ku itu.


**FROM ACEH with LOVE** salam manis cucoe raja

img 2

img 1

img 3

img 4

Coin Marketplace

STEEM 0.31
TRX 0.11
JST 0.034
BTC 66772.03
ETH 3237.54
USDT 1.00
SBD 4.25