Simpai Rasa untuk Rofa

in #fiksi6 years ago (edited)

JEDUG!! Tubrukan itu tak terlalu keras, tapi cukup mengagetkan Rofa dan Dika. Buku-buku yang dipeluk Rofa berserakan.

“Ah, maaf!” teriak spontan keduanya bersamaan. Saat itu pula kedua manik mata itu beradu.

“Dika!”

“Rofa!”

Lagi-lagi seperti dikomando, keduanya berteriak surprise. Sungguh pertemuan di luar dugaan, namun seperti memang sudah diatur sedemikian rupa. Ya, tentu saja, Dia yang Maha Pengaturlah yang menentukan hari ini, sepasang teman lama bertemu kembali. Setelah lebih sembilan tahun tak pernah saling sapa dan berkirim kabar.
***

“Hm, kamu masih kelihatan cantik seperti biasanya... ” Dika memulai percakapan setelah memesan dua gelas milkshake.

“Ya ampun, Dika! Kamu juga nggak pernah berubah ya? Masih aja suka firlting. Dasar playboy cap ayam kampung. Hahaha...” balas Rofa diikuti ledak tawa mereka berdua.

Rofa mengedarkan pandangannya ke penjuru resto fast food tempat mereka rehat saat itu. Tak banyak yang berubah. Batinnya. Tempat itu dulu menjadi favorit Rofa, Dika, dan geng-nya menghabiskan waktu senggang. Bedanya, kini ada tambahan satu pintu Ruko lagi yang gigunakan sebagai lobi. Rupanya di lantai dua sekarang sudah ada hotelnya. Ada tambahan ruang meeting dan play ground di belakang resto tersebut.

“Ke mana aja selama ini? Udah merid, belum?” tanya Dika memulai percakapan.

“Udah cerai malah. Hihihi....” jawab Rofa cekikikan.

“Gila, kamu. Baru juga ketemuan lagi, becandanya udah mulai nyeleneh, nih! Perkataan itu doa, tahu!”

“Hedeeeeh, kamu aja, tuh, yang serius amat. Amat aja nggak serius begitu. Wee...” ledek Rofa sambil menjulurkan ujung lidahnya. Dika membuang muka ke samping sambil tertawa cukup keras. Ingin sekali ia mengacak-acak rambut Rofa yang saat ini sudah dibalut dengan jilbab turkey berwarna biru muda.

Ya, Rofa kelihatan lebih anggun dan semakin cantik dengan busana yang dikenakannya sekarang. Rofa yang childish dan sedikit tomboy kini sudah berjilbab.

“Hush, ketawanya kayak gledek. Ntar disangka gila, lagi!” tegur Rofa sambil mengibaskan tangannya. Tapi iba-tiba ia sendiri merasa salah tingkah. Yup, dia memang becanda kelewatan. Entah kenapa, bertemu kembali dengan Dika membuatnya girang bukan kepalang. Seolah ia tak mampu mengendalikan diri. Euforia tepatnya. “Astaghfirullah” batin Rofa lirih berucap.

Dua gelas milk shake sudah terhidang di hadapan mereka berdua. Keduanya seperti merasakan waktu berputar kembali ke masa silam. Saat Dika, Rofa dan teman-teman satu geng mereka sering menghabiskan waktu bersama. Berwisata kuliner, berpindah-pindah cafe dan resto, tetapi Rofa selalu saja memesan minuman yang sama; milk shake vanila.

Mereka teman sejak SMP. Bahkan saat ujian masuk PT memilih jurusan yang sama di teknik arsitek Unsyiah, Aceh. Tapi waktu itu sebuah musibah yang tak diinginkan terjadi. Kebakaran rumah Rofa yang menewaskan Ayah dan adiknya. Ibunya trauma dan sempat menurun drastis kondisi kesehatannya, begitu juga Rofa. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Malang, tempat Nenek dan Kakek Rofa. Saat itu Rofa masih semester empat dan terpaksa kuliahnya juga pindah.

Kesibukan mereka berdua membuat reunian dadakan itu tak boleh berlangsung lama. Sebelum berpisah, mereka saling tukar nomor kontak dan e-mail.

valentine-1953964__340.jpg
image credit


“Sekarang katakan! Perempuan mana lagi yang Papa simpan di dalam hati Papa. Siapa dia yang bisa-bisanya merebut hatimu dan meminggirkan Mama?” Tiba-tiba saja Yurin sudah berdiri di hadapan Dika yang baru saja berbenah. Seperti biasa, pukul tujuh pagi Dika sudah mandi dan mulai berpakaian.

Drama apalagi kali ini, batin Dika jengah.

“Lho, ada apa, sih, masih pagi ngelindur nggak keruan gitu?”
“Jangan pura-pura. Jangan kira Mama nggak merasakan perubahan sikap Papa belakangan ini. Jangan Papa sangka Mama ini perempuan bodoh yang bisa Papa permainkan.”

“Jiah! Permainkan bagaimana? Sudah menikah, punya dua anak, hidup sama-sama seperti ini, masih dibilang main-main. Mama ini ada-ada saja.” Jawab Dika berusaha tak terpancing emosi.

“Iya, yang Mama tanyakan saat ini. sekarang, tuh, Papa udah mulai berubah. Makin nggak perhatian. Terus tiba-tiba aja sikapnya berubah-ubah nggak menentu. Seperti sedang memikirkan orang lain.”

“Wah, lantas hanya karena seperti itu Mama nuduh Papa yang nggak-nggak. Yang bener aja?”

“Papa juga sepertinya akrab dengan seorang perempuan yang katanya temen lama itu...” sungut Yurin.

“Hehe..., Mama cemburu, ya? Katanya nggak bakalan cemburu sama perempuan yang nggak lebih dari Mama,” ledek Dika mengalihkan suasana agar mencair.

“Apa salah Mama bertanya seperti ini? Kita sekarang, kan, suami istri. Apa Mama pantas diam saja kalau melihat Papa menyimpan pesona lain?”

“Ah, nggak bener itu, Sayang. Jangan berpikir yang tidak-tidak...”

“Cukup! Jangan pura-pura manis di depan Mama. Semua udah Mama tebak. Papa akan coba berdalih. Hari ini Mama ingin kejelasan. Apa benar Papa punya affair dengan perempuan yang selalu Ayah komentari status-status fesbuk-nya itu?”

“Ya, Allah, Ma... begitu aja kok cemburuan. Bukannya kita udah sering membahas masalah seperti ini. Bercerita tentang orang-orang yang konyol. Perempuan-perempuan yang cemburu buta hanya gara-gara fesbuk!”

“Ya! Dan Papa benar-benar menyakiti Mama dengan membuat hal ini juga terjadi pada kita!” Yurin semakin mengeras seperti bisanya. Matanya berapi dan bersiap ingin membakar apa saja yang ditatapnya. Dika bisa membaca gelagat uncontrolled dari tatapan mata Yurin.

“Mama punya bukti berkata begitu?” Dika menghentikan aktivitas berbenahnya dan menghunjamkan bola matanya tepat ke arah Yurin.

“Ng, kenapa bertanya tentang bukti? Bukannya semua sudah jelas?” jawab Yurin sedikit ragu.

“Sudah jelas bagaimana? Jelas di bagian yang mana, Mam?”

“Ng, ya, ya, itu tadi. Feeling. Feeling Mama, Pa! Feeling Mama nggak pernah salah!” nada bicara Yurin mulai meninggi lagi. Ia seolah menemukan alasan yang tepat untuk kembali memojokkan Dika.

“Hah, lagi-lagifeeling. Kebanyakan feeling Mama itu asalnya dari pikiran negatif yang Mama buat sendiri!” Dika tersenyum sinis. Menggeleng samar kemudian bersiap-siap meninggalkan istrinya yang masih terengah-engah menahan gejolak emosi di dadanya.

“Mau ke mana, Pa? Kita belum selesai!”

“Sudah. Kita sudah selesai. Sebab semua itu tidak nyata. Semua berasal dari pikiran buruk Mama sendiri. Tidak ada urusannya dengan Papa. Sudah cukup, Papa harus berangkat sekarang.” Pungkas Dika sambil menyambar kunci mobil. Menenteng tas nya dengan wajah datar.

Yurin sedemikian geram dan tak sanggup lagi menahan air yang berdesakan ingin meruah dari sudut-sudut matanya.
“Ceraikan aku!” ucapnya lirih nyaris tak terdengar karena berbarengan dengan gemerutuk giginya. “Apa kamu nggak bisa dengar? CERAIKAN AKU SEKARANG! Huhuhuhu......” tangisnya pecah.

Dika menoleh jengah ke arah Yurin. Bukan kali ini saja, Yurin gemar sekali mengucapkan kalimat semacam itu kalau sudah marah. Dika sendiri nyaris mati bosan dengan kata-kata yang sama.

“Sudah lah, Ma... Selalu saja berakhir seperti ini. Setelah semua runyam karena pikiran buruk Mama sendiri, terakhir Mama minta cerai. Selalu begitu. Mudah sekali mengambil keputusan bodoh dan egois. Bicara dengan Mama dalam keadaan seperti ini, nggak akan menyelesaikan masalah. Sekarang Papa minta Mama tenang dulu, hilangkan semua prasangka buruk yang singgah di kepala Mama. Berpikirlah lebih tenang dan rasional ingat anak-anak, Ma!” Dika berusaha menenangkan.

“Aku udah nggak bisa lagi bersabar. Kesabaran aku, tuh, ada batasnya! Kamu jahat betul, ya? Aku udah korbankan semuanya buat kamu dan anak-anak. Aku udah mau menetap di rumah, melahirkan dan merawat anak-anak, mengatur keuangan dengan baik. Kamu benar-benar nggak bisa menghargai jerih payahku. Kamu memang manusia nggak punya perasaan! Menyesal aku mau menikah dengan kamu!” Ujar Yurin dengan amarah yang bercampur tangis.

Terengah-engah Yurin melanjutkan “Dan perempuan itu. Perempuan yang tak tahu diri itu... sudah tahu suami orang masih saja diladeni. Memang dasar sundal!”

Astagfirullah... ngucap, Ma. Perempuan mana yang Mama maksud? Terus terang Papa nggak ngerti apa yang Mama ocehkan ini.”

“Halah, jangan pura-pura. Perempuan itu, kan? Yang namanya Rofa Fahira, yang ngakunya teman lama Papa. Masa lalu Papa itu?”

“Lha, makanya Papa tanya tadi, Mama punya bukti? Dimana letak salahnya menyambung silaturrahmi dengan teman lama. Toh, Papa bergaul sewajarnya dengan dia. Sebagaimana juga Mama bergaul dengan Bagus, Rizal, dan teman-teman Mama lainnya. Sudah lah, Ma...”

“Aku nggak mau kamu panggil begitu lagi! Aku muak! Muak dengan kepura-puraan kamu!”

“Jadi sekarang mau Mama itu apa? Nggak usah lah bicara-bicara cerai lagi. Nggak ada pikiran Papa ke arah sana. Sudah, Papa nggak mau terlambat bertemu klien pagi ini.” Dika memasang sepatunya dan langsung men-starter mobilnya dan berlalu.

Yurin berlari ke kamar mandi dan menangis sejadi-jadinya. Ingin sekali dilemparkan semua benda yang ada di dekatnya. Tapi ia berusaha menahan diri agar anak-anak tidak perlu kaget dan terbangun pagi itu. Padahal hampir pukul delapan. Biasanya si kecil Layin sudah bangun pukul 6 pagi. Hanya saja semalam ia sedikit rewel hingga kurang tidur.

Bersambung

PS: Maaf, bagi yang tidak suka fiksi rada-rada sinetron begini. Haha Terus terang ini adalah stok lama dalam harddisk-ku. Kira-kira tahun 2010 aku suka sekali membaca dan berlangganan majalah wanita. Seringkali ceritanya seputaran afair gitu, deh. Lalu ketika Facebook sedang booming jadi ajang reunian teman sekolah dulu, terciptalah fiksi serupa ini. Sumpah, ini bukan genre-ku banget. Hahaha. Aku malah tertawa sendiri saat membuka file-file lama. Kasih komentarnya ya, tentang fiksi yang seperti ini. Sebenarnya ini terlalu panjang untuk dijadikan Cerpen. Karena dalam file yang kutemukan, sebelas halaman belum juga ending. Hadus!

Jangan lupa follow, upvote, dan resteem jika kamu suka, ya. Nanti aku buatkan ending-nya, deh.

Sort:  

Hello @dyslexicmom, apa kabar? Kami sudah upvote dan resteem ke 7312 follower ya.. (Segelintir kontribusi kami sebagai witness di komunitas Steemit Indonesia.)

This comment has received a 2.09 % upvote from @speedvoter thanks to: @puncakbukit.

Saya suka koq alur cerita fiksinya, terus diasah kan nanti bisa jadi novel.

Selamat sudah masuk postingan pilihan @puncakbukit terus bergerak dan berkreativitas

Oh Waw! Terima kasih @puncakbukit atas apresiasinya.

Terima kasih Bang @mghufroncholid31 😊😊😊

Terus berproses dengan riang sahabatky

Aaahhh fara tau siapa yg dijadikan tumbal untuk cerita ini

Haha...mau main tebak2an ending? Hayooook!

Ending nya mereka tetap mempertahankan apa yg udh dimiliki. haha

Haha..kalau nggak gimana yaa?

Coin Marketplace

STEEM 0.35
TRX 0.12
JST 0.040
BTC 70734.57
ETH 3561.52
USDT 1.00
SBD 4.75