Typewriter and Luxury from Sarajevo | Mesin Tik dan Kemewahan dari Sarajevo |

in #history5 years ago

Mesin Tik_03.jpg


SEORANG netizen menyebutkan, orang-orang kelahiran 1970-an adalah orang yang beruntung dari segi teknologi informatika. Orang yang lahir dalam periode itu seperti saya, tidak terlalu jauh dengan kemajuan teknologi komunikasi serta internet, tetapi juga tidak terlalu jauh dengan berbagai alat komunikasi manual. Kami berada di antara peralihan teknologi. Berbeda dengan generasi milenia yang langsung mengenal internet, tidak pernah mengirim informasi dengan faksimil, atau mengetik dengan mesin ketik.

Saya pernah melihat penyeranta (pager) tetapi tidak sempat memilikinya. Ketika bekerja di Serambi Indonesia sejak akhir 1997, saya melihat beberapa jurnalis memiliki pager dan cukup bangga memperlihatkannya di depan publik. Kalau memakai baju yang tidak dimasukkan ke dalam celana, di bagian kanan depan, ujung bajunya pasti dimasukkan sedikit agar pager-nya terlihat.

Ada sebuah band pengusung msik rap waktu, Sweetmartabak, merilis sebuah lagu berjudul Tididit yang liriknya antara lain berbunyi:
Tidit pajerku berbunyi
Tidit tidit begitu bunyinya
Kadang punya pajer bikin senang
Kadang bikin resah, kadang bikin marah


Mesin Tik_05.jpg


Pendiri detik.com, situs berita terkenal di Indonesia, Budiono Darsono, menyebutkan dulu wartawan mereka dibekali dengan koin untuk menggunakan telepon umum ketika ada berita dan melaporkan ke kantor redaksi. “Jadi kalau ada wartawan yang saat berjalan di saku celana berbunyi, krik, krik, krik… Tak usah tanya lagi. Itu pasti wartawan detikcom,” ungkap Budiono dalam sebuah seminar yang saya ikuti di Makassar, Desember 2011 silam.

Ketika masuk era pager, wartawan detikcom pun dibekali pager yang tak berumur lama karena telepon selular segera masuk. Saya sendiri baru memiliki ponsel merek Siemens pada 1999. Entah di mana pun Siemens itu sekarang.




Kemewahan dari Sarajevo

Jangan dulu bermimpi tentang komputer dan laptop, itu masih terlalu jauh. Memiliki mesin ketik sendiri ketika saya masih remaja, adalah sebuah kemewahan. Ceritanya, setamat dari STM Negeri Bireuen pada 1991, saya memutuskan untuk menjadi penulis dan tidak mengikuti tes ujian masuk perguruan tinggi. Saya ikut tes sebuah klub sepakbola di Banda Aceh dan yang lulus mendapat beasiswa kuliah, tapi gagal terpilih.

Saya belum memiliki mesin ketik dan berharap bisa memilikinya suatu saat nanti. Sehari-hari saya bekerja di sebuah biro reklame di Kota Bireuen. Membuat spanduk dan menyablon kaos adalah pekerjaan saya sehari-hari. Dari pekerjaan itu, saya menabung dalam jangka waktu lama. Tidak ingat lagi berapa terkumpul, tetapi pada 1992, saya ke sebuah toko elektronik di Kota Bireuen dan membeli sebuah mesin ketik merek Olimpia, buatan Sarajevo, Yugoslavia.

Saya bawa pulang dengan angkutan kota (labi-labi) dari Bireuen ke Cot Gapu. Di dalam angkot, orang melihat kotak eksklusif mesin tik Olimpia dan bertanya apa isinya. Setibanya di depan rumah, ada tetangga yang sekolah di sekolah kejuruan (SMEA), yang tahu bahwa itu mesin tik. “Olimpia mesin tik yang bagus,” komentarnya.

Betapa bahagianya memiliki mesin tik sendiri tatkala itu. Beratus-ratus cerpen lahir dari mesin tik itu. Siang malam saya menulis cerpen dan mengirimkannya ke berbagai media. Tahun itu juga, 1992, cerpen pertama saya berjudul Di Antara Pesta Perpisahan dimuat di majalah ANEKA Ria, sebuah majalan remaja terbitan Jakarta. Itu hanya satu cerpen yang dimuat pada tahun-tahun sulit, puluhan lainnya ditolak. Tapi saya tidak pernah berhenti menulis, sampai sekarang. Tentu saja tidak lagi menggunakan mesin tik.

Mesin ketik buatan Yugoslavia itu sangat berjasa karena bukan saja darinya lair ratusan cerpen, tetapi setiap pekan, saya harus membuat tiga sampai lima laporan ketika kuliah di Politeknik Negeri Universitas Syiah Kuala (1993 – 1996). Di kelas kami, Teknik Elektronika, hanya satu mahasiswa ketika itu yang memiliki komputer. Sebagian besar mahasiswa, juga dari jurusan lain, membuat laporan mingguan dengan mesin tik.

Seorang rekan mahasiswa dari Jurusan Teknik Kimia, tertarik melihat mesik ketik saya dan mengajak saya ke Bireuen untuk mencarinya. Kami masuk ke beberapa toko, tapi mesin tik Olimpia buatan Yugoslavia sudah tidak ada lagi. Masa itu tahun-tahun perang terjadi di Sarajevo. Barangkali pabriknya pun sudah hancur dibom.
***


Menjadi barang antik

Sampai sekarang, saya masih menyimpan mesin tik dengan baik, mengingat jasanya yang demikian besar dalam karier kepenulisan saya. Saya menyelesaikan kuliah dan hidup dari menulis waktu itu. Setiap bulan, saya menulis cerpen, artikel, dan puisi, lalu mengirimkannya ke berbagai media. Saya sangat produktif ketika itu, sebab kemiskinan memang menjadi lahan subur bagi kreativitas. Tidak menulis, kuliah bisa macet dan tidak bisa makan. Tentu saja hasil menulis tidak bisa diandalkan 100 persen. Sebulan saja tidak ada cerpen atau artikel yang dimuat, saya kelimpungan membiayai hidup.

Mengetik naskah dengan mesin tik, tentu saja ada untung ruginya. Mesin tik bisa digunakan mesin listrik padam. Kita hanya perlu mengganti pita yang cepat habis karena sering digunakan. Data tidak pernah tersimpan seperti halnya dengan komputer. Begitu banyak cerpen saya yang dulu ditulis dengan mesin ketik, kini hilang.

Saya sering merindukan suasana seperti dulu; menulis dengan mesin tik dengan suara riuh yang membakar adrenalin. Suara ketukan mesin tik di malam hari seperti irama musik yang menginspirasi. Selama mesin tik masih berlagu, inspirasi pun tdak pernah kering.

Kantuk jarang datang saat menulis dengan mesin tik, selain karena suaranya juga karena membutuhkan tenaga lebih menekan tuts. Saya dengar, sastrawan Remy Silado, sampai sekarang masih menggunakan metik tik untuk menyelesaikan novel-novelnya. Dia pernah menyelesaikan tiga novel sekaligus dalam waktu enam bulan. Remy Silado bukan hanya menulis dengan mesin, tetapi juga mengoleksi mesin ketik yang sudah berjumlah sekitar 120 unit di rumahnya.[]






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Saya termasuk berbahagian mengalami zaman old dan now. memaakai mesin ketik manual untuk membuat tulisan buat dikirim ke beberapa koran, untuk koran lokal saya mengirimkan ke suara merdeka. Beruntung saya serumah dengan Alex Poerwo yang juga sutradara aktif dalam menggerakkan aank muda untuk menulis. Kebetulan beliau sahabat baik para wartawan dan penulis semarang, sebut saja ada Pri GS, triyanto, timur S, dana banyak penyair lain. Saya tertolong karena saat menulis saya diedit oleh beliau. Dari tulisan yang sudah diedt ini saya beranikan untuk kirim ke suara merdeka. betapa bangganya saat melihat tulisan saya muncul di hari minggu. "Pijat Salah bantal", itu tulisan yang pertama di\muat. lalu saya makin tertarik unutk menulis lebih bnayak artikle baik serita anak atau hal-hal berkaiy dnegan keluarga. maka saya coba nuga kirim ke Pikiran rakyat dan suara karya. Ada momen yang saya ingat dalam satu minggu tiga artikel saya keluar, dari pikiran rakyat, suara karya dan suara merdeka. Wah pokoknya mesin ketik manual itu bunyinya bisa merangsang otak untuk berkarya....
Salam dari Klaten Jawa Tengah

Hello @ayijufridar, thank you for sharing this creative work! We just stopped by to say that you've been upvoted by the @creativecrypto magazine. The Creative Crypto is all about art on the blockchain and learning from creatives like you. Looking forward to crossing paths again soon. Steem on!

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.11
JST 0.033
BTC 64104.40
ETH 3148.52
USDT 1.00
SBD 4.25