Review Acehnologi (II:14)

in #indonesia6 years ago


Setelah saya membaca buku Acehnologi volume dua Bab empat belas yang berjudul sejarah Aceh, dapat saya pahami dari pembahasan di bab tersebut bahwasanya banyak para sarjana, pelajar, dan masyarakat Aceh tidak terlalu memahami dan mengetahui secara mendalam sejarah Aceh. Hal ini ternyata tidak lepas dari tidak adanya institusi pendidikan di Aceh yang benar-benar menawarkan pengetahuan sejarah Aceh kepada peserta didik sehingga fenomena ketidak tahuan sejarah dapat di pastikan boleh terjadi di seluruh peserta didik, baik di bangku sekolah maupun perguruan tinggi.
Di kalangan akademisi, terutama di Banda Aceh jika di katengahkan sejarah Aceh cenderung di pandang romantisme sejarah. Bagi kalangan ini, menceritakan sejarah kegemilangan Aceh adalah sesuatu yang tabu atau memalukan, sebab kondisi Aceh hari ini sama sekali menunjukkan perbedaan dengan zaman kegemilangan Aceh. Klaim bahwa mendiskusikan atau menyebutkan sejarah Aceh sebagai sebuah romantisme adalah klaim yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Pengkajian sejarah Aceh memang tidak masuk di dalam kurikulum pendidikan sejarah di Indonesia, sehingga literatur sejarah Aceh jarang sekali di kenali atau di pahami secara mendalam oleh generasi muda Aceh terlebih lagi literatur yang berwujud hikayat-hikayat Aceh.
Persoalan akademisi lainnya adalah bagaimana kita merekonstruksi sejarah Aceh, jika ada temuan-temuan baru yang jarang sekali di ungkit dan di angkat oleh para peneliti dari luar Aceh. Tugas yang cukup berat tersebut haruslah dilakukan dengan usaha-usaha ilmiah, dimana paling tidak data yang di temukan dapat di pertanggung jawabkan walaupun tidak dapat pengakuan dari Nasional dan Internasional.
Mengkaji sejarah Aceh pada prinspnya adalah kajian tentang masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang di Aceh. Karena masa lalau Aceh banyak di rekam dengan karya-karya hikayat maka dengan sendirinya menjadi tugas kita untuk menggali aspek-aspek bangunan pengetahuan yang ditawarkan di dalam karya-karya tersebut. Ada kalanya posisi sejarah Aceh adalah sejarah kebudayaan Islam di Nusantara, terkadang juga sejarah Aceh dikaitkan dengan sejarah melayu.

Hubungan sejarah Aceh dengan sejarah kebudayaan Islam di Nusantara mengantarkan hubungan Aceh bagian dari ekspansi Islam di Nusantara sementara hubungan sejarah Aceh sebagai sejarah Melayu terkadang memperbesar identitas dan jati diri melayu, relasi hubungan sejarah Aceh dengan sejarah Indonesia ibarat dua mata koin yaitu pada satu sisi konstribusi terhadap sejarah Nasional pada sisi lain merupakan bagian dari sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap dominasi Indonesia terhadap negeri Aceh. Terhadap sejarah kebudayaan Islam Aceh di letakkan sebagai negara yang berdaulat dalam sistem kerajaan, terhadap sejarah Melayu Aceh di sebut sebagai penjajah bagi dunia Melayu, sementara terhadap Indonesia Aceh di pandang sebagai daerah rawan yang hendak memisahkan diri dari wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.
Posisi dilematis ini tentu saja telah memberikan pengaruh yang amat besar terhadap penulisan sejarah Aceh. Tidak terkecuali sejarah Aceh di muka cermin sejarah Penjajah Belanda di Aceh, dimana mereka kerap menulis Aceh untuk kepentingan kolonialisasi. Dilema menulis sejarah Aceh di hadapan sejarah Nasional adalah ketika Aceh di posisikan sebagai “lokal” bukan “pusat”, sebagaimana dampak dari penulisan sejarah Jawa di Indonesia. Adapun impak lain adalah boleh jadi sejarah Aceh sebelum abad ke-20 cenderung dipandang sebagai “sejarah pinggiran”, kendati pasa masa-masa sebelum itu sejarah Aceh adalah sejarah “pusat”. Akibatnya tidak sedikit peristiwa sejarah di Aceh sebelum abad ke-20 adalah bagian besar dari sejarah kebudayaan Islam dan sejarah Melayu.
Posisi yang sulit tersebut kemudian di perparah oleh sejarah Aceh yang ditulias secara antropologis oleh para penjajah Belanda, mereka kerap menyajikan sejarah Aceh di kawasan Aceh Besar sebagai reprentasi sejarah Aceh secara keseluruhan, akibatnya reprentasi sejarah Aceh hanya mewakili komunitas Aceh Besar dan Banda Aceh menghilangkan sejarah-sejarah lainnya yang ada diseuruh penjuru negeri Aceh. Proses pengajaran sejarah Aceh seharusnya tidak hanya menukil sejarah Aceh Besar dan Banda Aceh saja tetapi juga harus memuat sejarah yang ada diseluruh Aceh bahkan sejarah Aceh di luar daerah Aceh itu sendiri.
Sejarah Aceh memiliki wilayah kajian yang tidak sempit. Dalam lintas sejarah di Aceh, semua aspek material culture dapat di jadikan upaya ulang untuk merekontruksi sejarah Aceh. Inilah salah satu metode di dalam acehnologi untuk membangun pemahaman tentang Aceh dari prespektif Aceh. Apapun yang sudah maupun belum digali dari material culture di Aceh sangat boleh jadi dipandang sebagai pijakan awal untuk membangun Acehnologi.
Di dalam sejarah Indonesia, Aceh pada abad ke-17 M memang tidak pernah dijadikan “bahan penting” di dalam historiografi Indonesia. Karena lebih banyak di fokuskan memori kolektif di pulau Jawa. Dengan kata lain, adanya penenggelaman Historiografi Aceh sebelum kedatangan Belanda telah menyebabkan Aceh tidak memiliki arti penting di dalam penulisan sejarah Nasional di Indonesia. Sebab, Aceh pada abad ke-17 adalah sebuah negara atau kerajaan yang berdaulat di atas sistem pemikiran yang berbeda dengan apa yang di tampilkan di dalam sejarah kerajaan-kerajaan di palau Jawa dan Bali. Jika kajian-kajian sejarah Aceh di tarik sebelum abad ke-16 dan 17 M, tampak bahwa kajian sejarah lebih banyak bukan mengilustrasikan tentang Aceh, melainkan menyajikan tampilan sejarah kerajaan-kerajaan besar di pulau Ruja , seperti kerajaan Peureulak dan kerajaan Samudra Pasai.
Sejarah mengenai perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda, Jepang, Revolusi sosial, DI/TII, GAM, menghiasi lembaran penulisan sejarah Aceh pasca bergabung dengan Republik Indonesia. Duka nestapa ini kemudan di akhiri dengan MoU Helsinki 2005 setelah Tsunami 2004, telah memperlihatkan berapa ranah penulisan sejarah Aceh. Dari sini dapat dinyatakan bahwa penulis Aceh yang lebih tua cenderung ingin mendamaikan antara Aceh dan Jakarta. Sehingga karya mereka cenderung memakai pola integrasi, sementara penulis luar Aceh cenderung ingin memahami Aceh Kontemporer, bukan lagi bagian masalah dengan pihak Jakarta tetapi sesama orang Aceh sendiri. sementara penulis-penulis muda Aceh, lebih tertarik menulis karya-karya untuk membangkitkan semangat dan memori kolektif untuk memahami apa sebenarnya yang terjadi di Aceh saat ini.
Dari beberapa uraian dan paparan di atas dapat di simpulkan, tampak bahwa tugas Acehnologi di dalam membangun dasar-dasar keilmuan sejarah Aceh tidaklah mudah.

Sort:  

@afnanbasith, congratulations on making your first post! I gave you an upvote!

Please give me a follow and take a moment to read this post regarding commenting and spam.
(tl;dr - if you spam, you will be flagged!)

Hallo, hai @afnanbasith.. Selamat join di Steemit! Senang anda kumpul.. upvote yah.. :o) (Sececah kontribusi kami sebagai witness pada komunitas Steemit Indonesia.)

Coin Marketplace

STEEM 0.33
TRX 0.11
JST 0.034
BTC 66407.27
ETH 3219.07
USDT 1.00
SBD 4.34