Sahabat Steemians yang Insha Allah selalu berbahagia

Dalam perjalanan dan sempat 18 Jam di Kota Bireuen banyak hal berkesan yang saya rasakan. Meskipun ini bukan kali pertama saya menginjakan kaki di kota ini.

Namun, baru kali inilah rasanya ada sesuatu yang teramat istimewa. Padahal, setiap pulang kampung, baik ke Takengon maupun ke Lhoksukon, kota ini selalu dilintasi dan selalu juga singgah, baik untuk sekedar ngopi maupun menikmati Sate Matang tentunya.

Kesan pertama yang sangat mendalam (kesan lainnyanya, Inshaa Allah dilanjutkan pada tulisan lain nantinya), saya baru tahu, kalau di Bireuen ini ada Kilometer Nol. Selama ini kitahanya mengenal kilometer nol Indonesia itu ada di Kota Sabang.

Kilometer Nol di Kota Bireuen ini persis berada di depan pendopo bupati Bireuen. Saya tidak tahu persis apakah kilometer nol ini merupakan kilometer nol Indonesia atau kilometer nol dari Bireueun ke kota-kota lain di Aceh. Sebab bisa jadi kilometer nol menuju wilayah kabupaten Bener Meriah - Aceh Tengah, atau menuju Banda Aceh dan bisa juga menuju wilayah timur Aceh hingga ke Medan.

Sayangnya saya tidak dapat refrensi tentang kilometer nol di Bireuen ini. Namun, dalam pikiran saya ini adalah kilometer nol untuk wilayah Aceh, dimana Bireuen menjadi sentralnya Aceh, karena letaknya persis di tengah-tengah provinsi Aceh dan juga merupakan daerah perjuangan pada masa penjajahan dulu. Makanya, Bireuen itu dijuluki “Kota Juang”.

Alasan logis dari pikiran saya itu, mengingat pada Juni 1948 Presiden pertama Republik Indonesia Ir Sukarno pernah menginap selama seminggu di Bireuen dan tidur di pendopo bupati saat ini. Bisa jadi Bung Karno, menambalkan kilometer nol-nya Aceh itu di Bireuen dan persis letaknya di depan pendopo yang dulu pernah menjadi tempat beristirahat Bung Karno selama seminggu di Aceh.

Dalam konteks kekinian, dari kilometer nol ini juga kita bisa menyaksikan dua tugu yang menjadi catatan sejarah bagi Bireuen, Aceh maupun Indonesia. Yang pertama dari kilometer nol ini kita bisa melihat tugu Bungong Jeumpa.

Tugu Bungong Jeumpa

Tugu Bungong Jeumpa ini merupakan titik sentral perjuangan masyarakat Bireuen dalam mengusir penjajah dari bumi Aceh. Tugu ini berdiri kokoh dan tegak terletak persis di areal alun-alun Bireuen dan di tengah-tengah pusat pertokoan di kota penghasil kripik pisang ini.

Satu lagi yakni tugu Batee Krueng (Batu Sungai). Batee Krueng merupakan nama salah satu batalyon Tentara Islam Indonesia (TII) dibawah pimpinan Abdul Hamid atau yang lebih dikenal dengan panggilan Ayah Hamid.

Batalyon ini sebenarnya bermarkas di Kecamatan Juli Bireuen, namun wilayah kekuasaannya melingkupi hingga ke Kota Bireuen sebagai Kewedanaan pada masa tersebut. Sebagai bentuk penghormatan kepada Ayah Hamid dan batalyonnya, maka didirikanlah tugu Batee Krueng ini, mengingat saat itu TII melebur ke dalam NKRI cara terhormat dan penuh martabat.

Pemerintah Bireuen membangun ke dua tugu ini saling berdekatan, hanya berjarak sekitar 100 meter dan keduanya juga letaknya persis di depan pendopo bupati bireuen saat ini. Jadi dalam satu areal, ada tiga monumen penting sejarah republik ini (Indonesia) berada di pusat kota Bireuen.

Banyak catatan sejarah lain yang ditoreh dari Bireuen dan saat sekarang ini, bila tidak berlebihan, saya juga menilai kebangkitan steemit di Aceh juga di toreh oleh anak-anak Bireuen, maka jika berkenan saya tasbihkan Bireuen adalah Kota Steemit-nya Aceh. Tentu hal ini juga tanpa menapikan daerah lain yang steemitnya juga berkembang pesat seperti Meulaboh di Aceh Barat, Lhokseumawe-Aceh Utara, Pidie, Banda Aceh maupun Gayo (Takengon-Bener Meriah).

Jika ada pendapat lain soal ‘Kota Steemit’ ini, silahkan berpendapat di kolom komentar dan mari kita berdiskusi cerdas, anggap saja ruang komentar dibawah sebagai forum diskusi awal, sebelum nantinya ada diskusi besar yang bisa jadi digagas kawan-kawan steemians Bireuen dalam forum “Silaturrahmi Raya Steemit Aceh” di Bireuen. Salam.

Lamsayuen, 7 Juli 2018
@catataniranda

See 'Bireuen City Steemit' from Kilometer Zero

Insha Allah Steemians Friends is always happy

On the way and got 18 Hours in Bireuen City many memorable things that I feel. Although this is not the first time I've spent my legs in this city.

However, this is the first time it seems there is something very special. In fact, every home village, either to Takengon or to Lhoksukon, the city is always crossed and always stopover, either to just drink and enjoy Sate Matang of course.

The first impression is very profound (another impression, Inshaa Allah continued in other posts later), I just found out, if in Bireuen this is Kilometer Zero. So far, he knows the Indonesian zero kilometer is in the city of Sabang.

The Zero Kilometer in Bireuen City is right in front of the Bireuen regent hall. I do not know exactly whether this zero kilometer is an Indonesian zero kilometer or zero kilometer from Bireueun to other cities in Aceh. It could be a zero kilometer to Bener Meriah district - Central Aceh, or to Banda Aceh and also to the eastern region of Aceh to Medan.

Unfortunately I can not reference about zero kilometers in this Bireuen. However, in my mind this is a zero kilometer for the Aceh region, where Bireuen is central Aceh, because it is located right in the middle of the province of Aceh and is also a struggle area during colonial times. Hence, Bireuen was nicknamed "Juang City".

The logical reasoning of my mind, given in June 1948, the first President of the Republic of Indonesia Ir Sukarno had spent a week in Bireuen and slept in the present regent's dormitory. It could be Bung Karno, attributing his Acehnese zero kilometer in Bireuen and just in front of the pavilion that once served as a resting place for Bung Karno for a week in Aceh.

In the present context, from this zero kilometer we can also see two monuments that are historical records for Bireuen, Aceh and Indonesia. The first of these zero kilometers we can see the monument Bungong Jeumpa.

Bungong Jeumpa monument is a central point Bireuen community struggle in expelling the invaders from the earth Aceh. This monument stands firmly and erectly located right in the area of ​​the square Bireuen and in the middle of the shopping center in the city producing this banana chips.

Another one is the monument Batee Krueng (River Stone). Batee Krueng is the name of one of the Indonesian Islamic Army (TII) battalions under the leadership of Abdul Hamid or better known as Hamid's father.

**Monument Batee Krueng **

This battalion is actually based in Juli Bireuen Sub-district, but its territory covers the city of Bireuen as Kewedanaan at that time. As a tribute to Hamid's father and his battalion, the Batee Krueng monument was built, considering that TII merged into the NKRI honorable and dignified way.

The Bireuen government builds these two monuments close together, only about 100 meters away and both are also located right in front of the present day bupu bupati hall. So in one area, there are three important monuments of history of this republic (Indonesia) located in downtown Bireuen.

Many other historical records are inscribed from Bireuen and nowadays, if not excessive, I also judge the resurgence of steemit in Aceh also in toreh by the children of Bireuen, so if it pleases me tasbihkan Bireuen is the City of Steemit of Aceh. Of course this is also without other terap menapikan steemitnya also growing rapidly such as Meulaboh in Aceh Barat, Lhokseumawe-Aceh Utara, Pidie, Banda Aceh and Gayo (Takengon-Bener Meriah).

If there is any other opinion about this 'City of Steemit', please argue in the comment field and let's have a smart discussion, just consider the comment space below as the initial discussion forum, before later there will be a big discussion that could be initiated by Steemians Bireuen in the forum "Silaturrahmi Raya Steemit Aceh" in Bireuen. Regards.

Lamsayuen, July 7, 2018
@catataniranda