Memori Mencekam dan Masa Depan Aceh Cerah

in #indonesia6 years ago (edited)

Trat… trat…trat…! rentetan suara senjata mengema sahut-menyahut memecahkan kesunyian malam. Sangking takutnya, dari dalam tidur pun, saya mampu reflek melompat turun ke lantai hanya untuk mengambil posisi bertiarap. Spontan suara jantung berdetak cepat dan kencang “Dag..dig..dug..!” Saat itu, suasana sangat mencekam, apalagi lampu sering padam setiap kali terjadi kontak tembak antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan TNI dan Polri.

Saya masih ingat betul kisah menegangkan itu, sekitar Tahun 1998 – 1999 silam. Ketika saya masih mengikuti orang tua wanita (ibu) menetap di daerah Rantau Panjang, Aceh Timur. Lokasi berdomisili saya tergolong sepi lantaran masih jarang rumah penduduk.

Berdekatan dengan alur sungai air asin yang menghubung ke laut, menjadikan wilayah perkampungan saya, sering dilewati GAM. Baik saat mereka sedang berpatroli maupun sedang melangsir makanan entah tujuan kemana. Jika dari kejahuan samar-samar gelap terlihat berpapasan dengan sekelompok orang menenteng senjata pada sebuah persimpangan, kita belum dapat memastikan, itu tentara, Brimob, atau GAM? Pada umumnya, setiap warga sipil dalam keadaan itu, hanya berusaha diam untuk melewatinya, tapi biasanya, jika Tentara (TNI) maupun Brimob (Polisi), kita tetap dihadang dan wajib menjawab berbagai pertanyaan, sementara jika mereka itu GAM, maka akan menyapa dalam bahasa Aceh.

Meskipun saya telah masuk kediaman dan mengunci pintu rapat-rapat, belum tentu aman, karena rumah berkontruksi papan tipis masih membikin saya khawatir menjadi sasaran empuk peluru panas yang rawan nyasar. Wajar jika setiap penduduk selalu tiarap setiap mendengar rentetan kontak tembak.

Yang lebih menyeramkan lagi, saat sedang asik tertidur nyenyak dalam keheningan malam nan gelap, tiba-tiba suara alunan merdu jangrik pun dapat berhenti, kalau terdengar suara langkah tegap puluhan serdadu bersepatu bot “tap…tap..tap..!” Inilah detik-detik menegangkan dan mencekam bagi saya. Tak perlu diajarikan lagi, saya, ibu, dan abang pasti secara perlahan-lahan, tanpa menimbulkan suara sekecilpun, berusaha bangkit dari tempat tidur menuju lantai untuk segera bertiarap. Biasanya, jika dalam penyisisan, sekelompok tentara ini, pasti berjalan mengendap dalam gelap tanpa ada setitik cahaya kelihatan. Bahkan tentara candu rokok sekalipun, tidak bakalan berani menyulutkan sigaretnya, jika saat sedang bertugas demikian. Usai langkah itu terdengar menjauh, baru ritme tarikan napas dan detak jantung kembali normal serta saya melanjutkan tidur di pembaringan.

Desa dan perkampungan sangat mencekam, saat itu. Memasuki Tahun 1999 silam, satu persatu anak muda dan bapak-bapak lebih memilih merantau keluar kampung, dengan tujuan “Kota,” seperti Banda Aceh, Jawa, Medan, dan bahkan ada yang hijrah ke luar negeri. Biasanya hanya tersisa anak, ibu, kakek dan nenek pada setiap desa. Pada bulan November 1999 silam, saya masih teringat, ramai orang kampung berbondong-bondong menuju Banda Aceh menuntut rerefendum. Usai demontrasi itu, keadaan bertambah lebih kacau dan bahkan lebih mencekam lagi.

Ibu menganjurkan saya turut pindah ke rumah ayah di Banda Aceh, karena ia tak tega selalu mendengar kabar dari orang kampung, saya kerap berurusan saat ada razia TNI, Polri, dan GAM. Jika berpapasan dengan TNI dan Polri, saya selalu dicurigai, karena dinilai wajah saya terlalu sangar dan liar (ganas) dengan adanya sedikit bocelan (goresan) di bagian wajah. Hampir setiap jengkal tubuh digeledah. Jika pukulan dan tamparan, biasa saya terima. Demikian juga jika berpapasan dengan GAM, saya juga turut dicurigai sebagai antek Pa’i (cuak) setiap membaca KTP menerakan nama Deni Sartika, entah mengapa orang tua saya memberikan nama itu, sampai GAM menilai itu bukan nama orang asli suku Aceh.

Setiba di Banda Aceh, saya menetap di Desa Baet yang ternyata juga masih rawan dengan sebutan daerah basis GAM, lantaran berdekatan dengan kawasan Cot Keueng, Aceh Besar. Bahkan mulai Tahun 2000 – 2002 silam, kondisi mencekam juga sampai ke kota Banda Aceh dan sekitarnya. Seluruh daerah di Aceh mulai dikuasi GAM, roda pemerintahan lumpuh. Hampir tiap malam terdengar suara letusan bom yang menggema.

Saya masih teringat benar, bahkan suara Dum! ledakan bom layak suara kaleng pecah menggema besar, menghentak bumi. Kuping saya sempat berdengung pekak hingga suing tanpa henti, karena jarak kantor BKBN yang dibom terlalu dekat dengan rumah saya, hanya berjarak 15 meter. Sementara saat itu, saya sedang berbaring di lantai bersama lapisan tilam tipis, tentu mengantarkan efek hantaman keras dan suara keras ke telinga saya, yang bersentuhan langsung dengan lantai.

Mulailah darurat militer ditetapkan di Aceh. Sungguh menambah suasa mencekam di daerah saya. Lalu-lalang kendaraan Reo TNI yang silih berganti membikin merinding bulu kuduk, apalagi saat rem mobil Reo menyisakan suara angin besar cess…ces…cess..! Ah, menyisakan sesak di dada saja.

Tapi kini, semua keadaan mencekam konflik Aceh itu, hanya tinggal kenangan tersimpan dimemori benak orang Aceh, usai masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan peran aktif Wakil Presiden Yusuf Kalla, menyetujui perundingan perdamaian antara RI dan GAM pada 15 Agustus 2005 silam.

GAM yang kini merubah nama menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA) dengan kendaraan politiknya Partai Aceh (PA), mulai saling bahu membahu bersama TNI dan Polisi membangun Aceh, sampai Aceh berhasil menyandang citra “Daerah Aman.” Investor besarpun mulai berani menanamkan modalnya ke Aceh, tanpa khawatir adanya gangguan keamanan lanjutan.

Rabu (6/6/2018) mantan panglima wilayah yang cukup disegani pada di daerah Pantai Barat Aceh, Yusaini alias Abu Yus saling duduk berdampingan bersama Dandim 0105 Aceh Barat Letkol Kav. Nurul Diyanto, dalam acara buka puasa bersama di kantor KPA/PA Meulaboh. Turut diikuti seluruh mantan kombatan dan para simpatisan yang diperkirakan mencapi seribuan orang.

Dandim 0105 Aceh Barat, Letkol Kav. Nurul Diyanto dalam sambutan, meminta sahabat mantan kombatan, dapat terus menggelar acara silaturami demikian karena bisa sebagai ajang mengikat hubungan kekompakan dalam menyatukan visi membangun daerah.

“Sekarang kita harus bersatu memberikan rasa aman untuk pembangunan daerah. Seluruh mantan kombatan harus berpikir postif untuk kemajuan bersama. Tidak ada lagi pertikaian, terpenting sekarang investor berani berinvestasi di Aceh Barat yang menguntungkan menyerap tenaga kerja lokal,” pinta Letkol Nurul, diakhir diskusi bersama puluhan mantan kombatan.

image
Sumber

image
(Baju putih : Abu Yus, bersama Dandim 0105 Aceh Barat:baju koko biru dongker peci hitam)

image

image

image

Sort:  

postingan yang mengingatkan kita kepada sejarah ya bang @denysatika . . . semangat berkarya rakan

Iya...biarlah itu menjadi bagian sejarah kita 😄
Sekarang kita menyongsong hari yg cerah👍👍💪

betul bang. . . jadikan semua menjadi pelajaran. Yang penting sejarah jangan dilupakan,hehe

Iya...itu bagian dari kenangan yg menjadi sejarah

Postingan terbaik.😊😊😊

Biasa saja... postingan acara buka puasa bersama ini...
Cuman teringat memori konflik dari mereka 😀

Ah, best kali lah. Buka puasa bisa dikaitkan dengan sejarah.

Coin Marketplace

STEEM 0.25
TRX 0.11
JST 0.032
BTC 62710.59
ETH 3048.49
USDT 1.00
SBD 3.77