Asa Mengharu-biru | 10

---

Dia menyitir pendapat filsuf Aristoteles bahwa seorang guru melahirkan murid yang cerdas dan sukses, sesungguhnya guru itu yang cerdas. Dia berhasil mendidik muridnya dengan baik. Begitu pula seorang abang, rela berkorban demi adiknya, lalu sang adik sukses, sesungguhnya sang abanglah yang sukses.

Harus ada yang berkorban untuk sebuah kemajuan. Harus ada yang mengalah untuk meraih cita-cita besar keluarga Dar (Dawiyah-Abdurrahman).

“Kamu yakin Ir?” tanya ayahnya lagi untuk kedua kalinya.

“Yakin Ayah. Begini, kalau Ayin kuliah, Caca, Mai, Darman, dan lainnya kuliah, saya bisa bekerja saja. Bantu-bantu buat mereka. Saya yakin bisa dapat pekerjaan,” katanya.

Sang ibu berupaya menahan degub jantungnya yang tak beraturan. Berusaha tegar menghadapi peristiwa langka itu. Putra sulungnya tampil dewasa. Tampil sebagai pengayom buat seluruh adiknya.

“Jika itu keputusanmu nak. Maka mari kita doakan agar Allah merestui keputusanmu. Ayin bisa segera daftar kuliah dan kau bisa segera mendapat pekerjaan.”

Dawiyah bangkit dari duduknya. Berdiri disamping Irwandar. Mengusap rambut ikal itu dan memilinnya. Sedangkan Ayin terdiam, rasa sedih dan gembira bercampur jadi satu dalam jiwanya.

Sedih karena abangnya berhenti kuliah, senang karena dia bisa melanjutkan pendidikan tinggi ke ibukota provinsi. Dan, matahari terus merangkak, mengiringi poros bumi yang terus berputar.

---