Warga Kasta Utama: Dari Pak RT Hingga Penyair Hore-hore

in #indonesia5 years ago


Kita sering mendengar orang dan media menyebut "masyarakat biasa". Apa yang disebut masyarakat biasa? Sebagian orang dan media memberi semacam definisi bahwa masyarakat biasa adalah orang-orang yang tidak punya "posisi" tertentu, entah dalam masyarakat, birokrasi, organisasi, dunia politik, maupun dunia usaha. Dengan kata lain masyarakat biasa adalah buruh, petani, nelayan, tukang, penjual bakso, pedagang kecil, hingga ibu rumah tangga.

Orang-orang yang punya posisi tertentu adalah masyarakat luar biasa alias kelas satu. Di luar mereka adalah masyarakat kelas dua dan seterusnya. Pemahaman semacam ini menjangkiti hingga struktur terkecil birokrasi masyarakat yakni RT. Jika dalam struktur RT, masyarakat biasa atau warga biasa adalah mereka yang bukan pengurus RT. Adapun pengurus RT adalah warga luar biasa alias warga kelas satu. Lainnya warga kelas dua.

Lalu di mana posisi penyair. Ini juga unik. Cobalah datang ke sebuah acara sastra, lalu ada orang bukan penyair baca puisi, ketika kita tanya "siapa itu?", maka para penyair pun akan menjawab, "Masyarakat biasa. Bukan penyair." Lagi-lagi, posisi dan kelas penyair terasa lebih tinggi dari mereka yang bukan penyair. Boleh jadi, ini pula yang menyebabkan banyak anak muda dan sebagian orang setengah baya kepingin betul mendapat gelar penyair. Sampai-sampai mereka rela menghabiskan banyak uang demi mengikuti berbagai acara sastra di berbagai kota maupun hingga negara tetangga.

Celakanya, mereka sesungguhnya tak sungguh menjadi penulis puisi yang baik. Mereka lebih cocok disebu sebagai orang-orang yang mengejar "gelar" sekaligus teman dan ruang kongkow-kongkow dan hahihi di sana-sini. Sebagian dari mereka tidak mau belajar menjadi lebih baik. Itu bisa dilihat dari begitu banyak antologi puisi yang kualitas puisinya sebagian besar di bawah rata-rata. Panitia meloloskan mereka karena merekalah yang bakal meramaikan acara. Penyair hore-hore inilah yang akan membuat acara jadi meriah. Adapun penyair serius akan lebih senang menulis dan membaca buku dari pada mengeluarkan biaya untuk kegiatan yang sifatnya pesta.

Memang ada sebagian dari mereka yang hadir di banyak festival sastra adalah para penulis sastra yang serius dan sungguh-sungguh. Tapi jumlahnya sedikit. Mereka datang sejumlah agenda pribadi: salah satunya adalah momentum melancong ke daerah tersebut. Bukan sekedar untuk hore-hore untuk memperpanjang narasi biodata atau memperkuat predikat "penyair". Ada pula yang datang karena relasi baik dengan panitia atau balas kunjungan karena yang menjadi panitia pernah hadir ke acaranya.

Eksistensi "penyair hore-hore" ini tentu tidak jelek. Setiap orang punya peran masing-masing dalam kehidupan. Jika tak ada mereka, barangkali dunia sastra tidak sesemarak sekarang dan tidak akan banyak pesta sastra digelar. Meskipun mereka hanya pelengkap penderita dalam dunia sastra dan tidak menyumbangkan apa pun bagi pertumbuhan sastra, tapi jasa mereka besar dalam membuat sastra menjadi lebih meriah. Sama seperti kehadiran banyak "penyair Facebook", mereka membuat meriah media sosial itu dengan puisi-puisi mereka. Jika tak ada mereka barangkali sedikit yang posting puisi di Facebook. Penyair serius akan lebih suka mengirim ke media -- selain sebagai arena kompetisi sehat -- juga dapat honor. Para penyair serius menulis puisi bukan asal nguap. Maka mereka pun tak asal "templok" puisi itu di mana saja.


Para penyair serius, kecuali yang sebelah kiri depan (kaos abu-abu) adalah penyair hore-hore.

Ibaratnya kalau mobil mahal pasti akan sangat hati-hati memperlakukannya. Jika parkir akan dicarikan parkir yang teduh, tidak kepanasan, kecuali sangat terpaksa. Tapi kalau cuma mobil murah ya orang mudah suka memarkirnya di mana saja. Maling pun tidak terlalu suka mobil murah karena kalau dijual ke penadah harganya ditekan rendah. Padahal mencuri mobil murah dengan mahal risikonya sama saja. Itu hanya contoh. Tolong jangan ada yang sensi.

Ada lagi penyair yang "terkesan" serius, tapi sesungguhnya punya mental "hamba sahaya" yang menjadi epigon penyair-penyair terdahulu, salah satunya adalah epigon Sapardi Djoko Damono. Dasar pengagum berat sampai-sampai ia tidak punya karakter personal. Ia asyik ngutak-atik bentuk tapi isinya kosong, klise dan bertele-tele. Tapi celakanya ada pula yang menganggap itu puisi luar biasa, hasil penjelajahan estetik tak terkira. Padahal cuma bolak-balik dan bermain-main diksi saja. Ibarat perempuan cantik namun otaknya dangkal. Seperti gedung tampak keren dari luar namun dalamnya blong.


Ini gambar bebek-bebekan. |Foto: Pixabay.

pakah posisinya tak penting? Tentulah penting. Setidaknya ada orang yang meneruskan estetika penyair sebelumnya. Memang, karya semacam ini tidak akan menyumbang apa pun dalam pertumbuhan sastra Indonesia. Kehadirannya hanya meramaikan, tak jauh berbeda dengan penyair hore-hore tadi. Bedanya penyair epigon ini lebih serius. Meskipun kerjanya cuma gorang-goreng kata, tapi rasanya "mboh". Ia akan segera dilupakan begitu tak menulis lagi. Sebab ia bukan pembuat sejarah dan ikut menggoreskan sejarah.

Namun celakanya penyair semacam ini -- juga penyair hore-hore tadi -- egosentrisme sektoralnya tinggi sekali. Seolah-olah kasta penyair jauh lebih tinggi dari manusia dan makluk mana pun, bahkan makluk luar angkasa. Simaklah cara ia bicara, berkata-kata, menjelaskan, atau membaca puisi -- seolah dunia ini hanya milik dia sementara yang lain indekost. Celakanya ada pula yang mengidap semacam post power sindrom -- sehingga merasa berkuasa dan semacamnya. Lihatlah cara dia berkomunikasi di grup WA, misalnya. Orang semacam ini cenderung merasa paling benar dan mendominasi.

Beda dengan penulis puisi serius, yang menganggap "profesi" kepenyairan itu sama dengan predikat-predikat lainnya. Padahal penyair tak lebih hebat dari guru, petani, dosen, pengacara, polisi, tentara, petani, tukang becak, nelayan, tukang pijat, dan seterusnya. Pak RT tidak lebih hebat dari "warga biasa". Pejabat, politisi, pengusaha, anggota dewan, tokoh organisasi, dan seterusnya tak lebih tinggi kelasnya dari apa yang kerap disebut "masyarakat biasa". Sama-sama makan nasi atau roti, dan sama-sama berak dalam bentuk taik --- bukan emas! Hahaha....

DEPOK, 12 Januari 2019
MUSTAFA ISMAIL | IG: MOESISMAIL | @MUSISMAIL


Para penyair sangat serius. Sementara yang memakai batik adalah penyair bayaran.



Posted from my blog with SteemPress : http://musismail.com/warga-kelas-utama-dari-pak-rt-hingga-penyair-hore-hore/

Coin Marketplace

STEEM 0.24
TRX 0.11
JST 0.031
BTC 60936.15
ETH 2921.43
USDT 1.00
SBD 3.70