Formalisasi syariat, kite off string

in #indonesia6 years ago

Satu waktu ketika mengalami hari yang paling frustasi dalam hidup, kami duduk mengobrol mengenai IPK. IPK masih 2,2, sehingga dia tidak mau berpikir tentang seluk-beluk kerumitan berumah tangga. Pada sementer genap Juni nanti, IPKku akan genap mencapai 3 saat itu. Standar nilai IPK 3, sudah memenuhi persyaratan untuk segera mengajukan judul thessis mengenai mengakhiri kelajangan.

Selama itu judul skripsiku adalah Have Fun Stay Singgle In Lingguistic Structure, kemudian aku mengubah judulnya menjadi Pretending to be Single in Media Social Life. Jika kita menunggu nilai IPK mencapai 4, bisa-bisa signal kita akan semakin melemah dan soak. Itulah topi obrolan bualan saat kami frustasi

Yang disayangkan adalah, belumlah jadi sarjana, tapi baterai sudah soak. Indikasi batrai soak, salah satunya adalah tatkala seseorang menuliskan seperti ini pada profil FB: Bekerja di mencari istri atau suami soleh dan soleha yang bisa membimbingku dan menjadi imamku di dunia dan akhirat.

Mencari istri yang soleha di FB. Kalau cari suami yang soleh, bukan di FB tapi di dayah. Dan kalimat semacm itu terdapat pada info profil salah seorang kakak letting kami.

Pada akhirnya aku meninggalkan bangku kuliah. Sejak mula aku memang tidak berminat kuliah di Banda, tetapi Ayah memaksanya kuliah di Banda, hingga akhirnya aku tidak sanggup lagi kuliah dengan keadaan yang tidak nyaman seperti itu.




Tadi aku melihat ruko-ruko di jalan perdagangan, hampir di setiap atap ada parabola. Sekiranya aku melihat ini sewaktu berusia 5 tahun, aku berpikir: apa parabola itu untuk menampung berkah(air hujan) dari langit? Jika benar lantas kenapa parabolanya bolong-bolong? Tetapi kata kawanku dulu jika kita ingin menonton serial Ksatria Baja Hitam di RCTI yang tayang pada hari selasa, kita harus memiliki parabola. Jika tidak kita harus mendayuh sepeda ke kampung tetangga dan bayar seratus perak.

.

Tadi sore aku melihat banyak HP pintar di dalam etalase di ruko itu, seorang perempuan sedang berbicara dengan dengan seorang karyawan mengenai HP yang mungkin akan dibelinya. Dia mengenakan sepatu tinggi, sehingga postur tubuhnya bertambah jangkung, dadanya mengembang, mungkin kapisitasnya 2 gigabyte. Sebuah tulisan terukir di dinding: OPPO, dalam bahasa Aceh jika 'OPPO' ditambahkan kata'LÔNG' maka akan menjadi OPPOLÔNG yang artinya: Ya Tuhanku.

Pejabat tidak bisa membedakan uang amal dan suap, sementara rakyak sulit membedakan: Terdakwa, Tersangka dan Terduga. Ada orang basah, ada pula orang kering. Ada yang menjual es krim dalam hujan, ada pula yang menjual garam dalam hujan. Skenario ini sudah mulai berjalan, kita belum tahu akan berhasil atau tidak. Yang untung adalah wakil gubernur dari partai nasional. Pemilu ke depan nanti, rakyat akan bersatu, mereka menginginkan pemimpin mereka dari partai lokal. Ini peluang emas bagi Partai Aceh untuk kembali menguasai parlemen, kemudian dijebak lagi atau dihancurkan pelan-pelan dan itu saja nama-nama hari sejak Aceh mengenal partai politik lokal. Mengingat PNA di dukung oleh PDI-P, Demokrat, sementara PA didukung oleh Gerindra-PKS, sejatinya ini hanya pertarungan partai nasional di Aceh. Dan orang Aceh sendiri dari dulu cukup dibodohi dengan formalisasi syariat.

Perlu diketahui bahwa formalisasi syariat itu adalah ide kaum modernis. Sementara orang dayah tidak mau terikat dalam formalisasi syariat. Jika syariat sudah seutuhnya diformalisasi oleh negara, maka islam akan semakin ditekan dan rugi. Semisal jalan, agama itu kan pedoman atau jalan kehidupan. Ada jalan berlubang, itu kan kewajiban negara untuk mempebaikinya, bukan tugas warga. Warga hanya menancapkan tongkat yang telah dipasangi bendera di lubang itu agar para pengendara tidak terperosok ke dalam lobang itu. Kita butuh menunggu lima tahun, barulah negara memperbaikinya. Dan jika formalisasi syariat belaku penuh, maka, para khatib, imam, penceramah, imam shalat jenazah, harus memiliki surat SK dari negara. Artinya ruang lingkup dan kebebasan islam sudah dipasung oleh negara. Daud Beureuh yang memberontak dan ingin mendirikan Republik Islam Aceh atau negara Islam Indonesia adalah orang modernis. Jika kita kuliah di perguruan tinggi Agama semsisal UIN, untuk mempelajari sebuah mazhab atau hukum, kita hanya akan belajar dalam beberapa kali pertemuan, 2 atau 4 SKS. Artinya belajar kilat, sama seperti pesantren kilat, jika belajar ekspress, memahami sisi luarnya dengan sempurna adalah hal mustahil, belum lagi memahami hakikatnya(esensi). Bandingkan dengan anak-anak dayah(di luar Aceh disebut sebagai pesantren tradisional), mereka memerlukan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari fiqih, bahkan ada yang sudah belasan tahun namun masih belajar. Mereka tidak mau terikat formalisasi syariat. Pondok pengajiannya juga dibangun bukan dengan uang dari negara, tapi dari sumbangan masyarakat yang dermawan.

TATKALA Daud Beureuh mendatangi ulama untuk tujuannya mendirikan negara Islam, ulama berkata "engkau menaikkan layang disaat tidak angin." Begitu juga dengan tokoh-tokoh negara islam lainnya di Indonesia, baik di Jawa, maupun Kalimantan. Mereka adalah kaum modernis. Dari dulu aku tidak pernah mendukung formalisasi syariat. Syariat itu contoh saat ayam melahirkan telur, jika ayam melahirkan anak ayam, itu bertentangan dengan syariat dan sunatullah, atau ada lembu yang menetaskan telur. Atau seseorang yang makan dengan lubang pantat dan berak dengan dengan mulut, lalu kentut melalui lubang telinga.

Coin Marketplace

STEEM 0.35
TRX 0.12
JST 0.040
BTC 71539.00
ETH 3603.23
USDT 1.00
SBD 4.75