Si Bunta Mati Diracun, Apa yang Salah dengan Konservasi?

in #indonesia6 years ago (edited)

Informasi matinya Si Bunta, gajah yang sudah jinak semenjak ditangkap di Gampong Alue Rambe sekira 12 tahun lalu sungguh membuat aku geram dan heran. Kok ada manusia yang tega membunuh binatang yang seharusnya dilindungi dan ditemani. Saya yakin Si Bunta tidak tahu kalau banyak orang menyayanginya. Tapi ya sudahlah, ia sudah mati. Pun kita kutuk pelakunya, Si Bunta tetap sudah tidak bernyawa.

Kata sejumlah media terkemuka di Indonesia, ini gajah, mati karena racun yang sengaja dicampur dengan pisang dan buah kuini, lalu diberikan kepada Si Bunta yang diikat sekira 700 meter dari base camp Conservation Respon Unit (CRU) Serba Jadi, Aceh Timur. Dan baru diketahui saat seorang Mahot datang ke lokasi dimana Si Bunta ditambat.

Sebagai bentuk prihatin mendalam, pihak BKSDA Aceh, akan memberikan hadiah sebesar sepuluh juta rupiah bagi yang memberikan informasi siapa yang membunuh Si Bunta pada 9/6/2018 lalu. Walau ini saya yakin tidak menghentikan niat pembunuh gajah untuk terus membunuh. Itu karena nilai gading gajah yang dipandang besar, atau karena hal lain yang tidak kita mengerti.

Di luar konteks Si Bunta mati akibat diracun oleh tersangka, boleh jadi oleh warga yang geram, pemburu binatang liar atau bahkan Mahot sendiri, Si Bunta hadir di CRU Serba Jadi memang untuk mengatasi konflik gajah liar dengan manusia. Namun, cara yang dipakai ini seharusnya tidak dibatasi hanya ada di CRU saja, karena konflik tidak terjadi antara CRU dan gajah, melainkan antara warga dengan Poe Meurah.

Walau saya bukan pengamat atau ahli gajah, tapi saya sudah dan masih mengabdi untuk lingkungan sejak tahun 2000 lalu, sehingga kata hutan dan gajah serta perkembangannya sudah akrab dengan kehidupan saya. Hingga saya berani menulis ini di Steemit. Menurut saya, pola konservasi gajah, khususnya di Aceh, itu kurang tepat. dan ini harus segera di sadari agar manusia, hutan dan habitat gajah tetap bisa lestari.


Aceh Harus Kembali ke Konservasi Tradisional


Bicara soal konservasi gajah, dan khusus untuk Aceh, sangatlah tidak relevan dengan pola yang sekarang ini diterapkan. Alasannya, hubungan masyarakat Aceh dengan gajah bukanlah baru dimulai sejak digaungkannya konservasi oleh pihak asing. Namun emosional masyarakat Aceh dengan gajah sudah ada sejak abad 16 silam. Hal ini dapat ditemui dalam sejumlah literatur sejarah.

Saya coba ilustrasikan, bagaimana pasukan gajah yang jumlahnya mencapai ribuan pernah ada di bawah kendali pasukan Sultan Iskandar Muda. Dan katanya, tempat letaknya Kodam Iskandar Muda sekarang, itu adalah tempat konsentrasi pasukan gajah kerajaan Aceh. Itu artinya, gajah bukanlah binatang buas seperti binatang lainnya, tetapi ia bisa hidup berdampingan dengan manusia layaknya, kuda, kerbau, sapi dan peliharaan pada umumnya.

Lebih jauh sedikit, kita juga harus melihat se-objektif mungkin bagaimana masyarakat di Thailand yang telah menunjukkan bagaimana pola hidup berdampingan dengan gajah. Sehingga, gajah bagi masyarakat di sana sudah seperti teman, mereka menangkap gajah liar, memelihara, dan menjadikan gajah sebagai alat bantu dalam beraktifitas.

Jika mau diadopsi oleh Pemerintah Aceh, selayaknya setiap gajah liar yang ditangkap tidak lagi dikendalikan oleh CRU semata, namun transisi pola konservasi harus beralih ke gampong-gampong yang berbatas langsung dengan pinggiran hutan. Yang pada akhirnya, setiap gampong dengan jarak tertentu akan ada satu unit konservasi sendiri yang tetap berada di bawah kontrol negara.

Terkait soal keuntungan, pada awalnya pola ini akan terasa lucu, namun berselang beberapa tahun, pola konservasi tradisional ini akan berdampak terbentuknya zona konservasi di buffer zone, khususnya untuk gangguan binatang liar. Hingga dapatlah dipahami bahwa konflik satwa dengan sendirinya akan terdegradasi tanpa harus ada yang dirugikan, baik manusia atau pun satwa yang dilindungi.

Pantauan pribadi di media, gajah selalu ada yang dibunuh setiap tahunnya, seharusnya ini dapat dicegah sejak dini dengan pola konservasi tradisional.


Inti dari Konservasi adalah Semua Makhluk Mampu Hidup Berdampingan


Lagi, bicara soal konservasi, bukanlah bicara soal boleh atau tidak memelihara binatang yang dilindungi. Tetapi bicara konservasi adalah bicara bagaimana semua makhluk bisa hidup dalam koridor masing-masing tanpa saling mengganggu, dan alangkah lebih baik jika bisa saling menguntungkan. Dan semestinya, alternatif konservasi tradisional tentu sangat relevan untuk tujuan dimaksud.

Dan yakinlah, dengan pola konservasi tradisional yang (jika) mau diterapkan nantinya, intensitas perburuan satwa liar, khususnya gajah, akan berkurang dengan sendirinya. Mengapa?, sederhana saja, karena setiap gampong yang ditunjuk telah mengenal setiap gajah dengan dipeliharanya. Kenapa gampong bisa diberikan kewenangan tersebut, ya karena gampong juga lembaga pemerintah terendah dan otonom. Artinya, gampong boleh diberi hak untuk mengatur semua yang dilakukan oleh pemerintah, selama tidak mengarah pada makar.

Ingat!, gajah bukanlah binatang buas seperti harimau. Gajah faham dan mengerti tatakrama, bahkan ia tergolong binatang yang cepat belajar, setia, patuh dan cepat jinak. Dia bukan pemangsa!.

Salam-salaman...
@pieasant

Image Credit: 1 2 3

Sort:  

Yang paih na, ureung poh si Bunta nyan, ta peucroek, ta tek tek beu leumik 😤, kop brat palak teuh. Biet2 kon manusia, meu binatang pih han lagee nyan buet.
Kiban, peu na info na ureung nyang ka ji drop?

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.11
JST 0.033
BTC 64271.38
ETH 3157.43
USDT 1.00
SBD 4.25