When Childrens Understand about Death | Saat Anak-anak Memahami Kematian |

in #life5 years ago

Makam_01.jpg


Pilgrimage to the tomb is a tradition of Muslims in Indonesia when they welcome the Eid-ul-Fitr. Our family also celebrated that tradition.

Every holiday, we visit the tomb of my third daughter, Salsabila Putri, who died when she was born; April 11, 2004. Our first daughter, whom we named Aisha, also died when she was born in 2001. So, our first and third children died. Both are princesses.

Aisha's tomb in Cot Gapu, Bireuen, and we made a pilgrimage to Bireuen. In the tomb complex there was also our grandmother, our brothers, also my younger sibling, Rizal Yatim, who died of illness when she was four or five years old.

Suci Idealisti and Amira, often claimed to be the first and second children even though they were actually the second and fourth children.

When Amira was four years old and we invited her to the grave of her brother in Kutablang, Lhokseumawe. I asked him to pray for his brother's spirit, she immediately asked:

"Why pray? Let you live again, huh? "

It was a plain question of children, just as I faced the death of my younger brother. I think death is only marked with closed eyes. Why do people just cry and don't open Dek Rizal's eyes so he will come back to life.

Now, Amira is 13 years old and her two younger siblings are eight and four years old. "Adek quickly take a bath, we go to Sister's grave," says Bunda to Dek Rafa, who was four and a half years old.

"Sis Uci or Ami?" Asked Dek Rafa.

Hearing that, Suci who was beside him immediately shouted; "Woi, we are still alive!"

That's how children understand about death.

Aceh, Indonesia, 2 Shawwal 1440 H / June 6, 2019.


Makam_02.jpg




Saat Anak-anak Memahami Kematian

Berziarah ke makam menjadi tradisi umat Muslim di Indonesia ketika menyambut hari raya Idulfitri. Kami sekeluarga juga merayakan tradisi itu.

Setiap hari raya, kami menziarahi makam putri ketiga saya, Salsabila Putri yang meninggal pada saat ia lahir; 11 April 2004. Putri pertama kami yang kami beri nama Aisyah, juga meninggal pada saat ia lahir pada 2001. Jadi, anak pertama dan ketiga kami meninggal. Keduanya putri.

Makam Aisyah di Cot Gapu, Bireuen, dan kami menziarahinya ketika ke Bireuen. Di komplek makam tersebut juga ada nenek kami, saudara-saudara kami, juga adik kandung saya, Rizal Yatim, yang meninggal karena sakit ketika berumur empat atau lima tahun.

Suci Idealisti dan Amira, sering mengaku sebagai anak pertama dan kedua meski sesungguhnya mereka anak kedua dan keempat.

Saat Amira berumur empat tahun dan kami ajak ke makam kakaknya di Kutablang, Lhokseumawe. Saya memintanya berdoa untuk arwah kakaknya, dia langsung bertanya:

“Untuk apa berdoa? Biar Kakak hidup lagi, ya?”

Itu adalah pertanyaan polos anak-anak, sama seperti saya menghadapi kematian adik dulu. Saya berpikir kematian hanya ditandai dengan mata yang tertutup. Kenapa orang-orang hanya menangis dan tidak membuka mata Dek Rizal agar ia hidup kembali.

Kini, Amira sudah berumur 13 tahun dan dua adiknya yang cowok berumur delapan dan empat tahun. “Adek cepat mandi, kita ke kuburan Kakak,” kata Bunda kepada Dek Rafa yang berumur empat tahun setengah.

“Kuburan Kak Uci atau Kak Ami?” tanya Dek Rafa.

Mendengar itu,Suci yang berada di sampingnya langsung teriak; “Woi, kami masih hidup!”

Begitulah anak-anak memahami kematian.

Aceh, Indonesia, 2 Syawal 1440 H/6 Juni 2019.






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Coin Marketplace

STEEM 0.26
TRX 0.11
JST 0.032
BTC 64799.61
ETH 3102.94
USDT 1.00
SBD 3.83