@partiko | Rumah Adat di Indonesia | Traditional house in Indonesia | Angkola traditional house | Rumah Adat Angkola-10 | #381

in #partiko5 years ago

Source

Jika anda tertarik dengan @partiko app silakan klik link ini untuk registrasi: https://partiko.app/referral/aiyub99

Rumah Adat Angkola

Masih membahas tentang seputar rumah adat di Indonesia. Kali ini akan membahas tentang rumah adat Angkola yang merupakan rumat adat di Sumatera Utara. Untuk lebih jelasnya berikut ini dikutip tulisan tentang rumah adat tersebut.

Angkola merupakan etnis yang berdiri sendiri, meskipun banyak orang yang menyamakan dengan mandailing. Rumah adat ini juga dinamai Bagas Godang seperti rumah adat Mandailing. Tetapi, terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya.

Rumah adat Angkola yang ada di Sumut, atapnya menggunakan bahan dari ijuk dan dinding serta lantainya dari papan. Keistimewaan rumah adat ini terletak pada warna dominan yaitu, hitam. Source

Suku Angkola atau Batak Angkola, adalah suatu suku yang berdiam tersebar di seluruh wilayah kabupaten Tapanuli Selatan, terutama di daerah Angkola termasuk Padang Sidimpuan di provinsi Sumatra Utara.

Orang Angkola merupakan suatu kelompok masyarakat dari etnis Batak, yang menurut cerita menduduki wilayah Angkola sejak berabad-abad yang lalu.
Nama "angkola" diyakini berasal dari nama sebuah sungai "Batang Angkola" yang berada di daerah Angkola. Dari cerita rakyat Angkola, bahwa sungai ini diberi nama oleh Rajendra Kola (Chola) I, penguasa kerajaan Chola (1014 - 1044 M) yang berasal dari India Selatan, yang memasuki Angkola melalui daerah Padang Lawas. Daerah Angkola terdiri dari 2 wilayah, yaitu sebelah selatan Batang Angkola diberi nama Angkola Jae (Hilir) dan sebelah Utara diberi nama Angkola Julu (Hulu). Sepeninggal kekuasaan Radjendra Chola I, muncul seorang tokoh dari Tano Angkola, yang bernama Oppu Jolak Maribu yang bermarga Dalimunthe. Oppu Jolak Maribu ini mendirikan huta (kampung) pertama di daerah Angkola yang bernama Sitamiang. Berikutnya seperti Pargarutan yang artinya "tempat mengasah pedang". Tempat ini merupakan tempatnya menanggalkan hari, kalender batak dan lain-lain.

Setelah sekian lama masyarakat Angkola tumbuh dan berkembang di daerah Angkola, maka kemudian orang-orang dari suku-suku lain masuk segala penjuru hidup berbaur dan turut dalam adat-istiadat suku Angkola, tetapi ada juga kelompok yang tetap mempertahankan adat nya sendiri. Rumah adat Angkola (misnanlubis.blogspot.com)Seperti etnis Batak pada umumnya, tradisi marga juga berkembang dalam masyarakat suku Batak Angkola. Marga-marga yang terdapat pada masyarakat Angkola adalah Dalimunthe, Harahap, Siregar, Nasution, Ritonga, Batubara, Daulay dan lainnya.

Beberapa marga pada masyarakat Angkola terlihat masih memiliki kekerabatan dengan marga-marga yang ada suku Batak Toba dan Batak Mandailing. Secara sejarah suku Angkola ini masih berkerabat dengan suku Batak Toba dan Batak Mandailing. Saat ini suku Batak Angkola berkembang dan diakui sebagai suku tersendiri, karena mereka memiliki tradisi budaya dan bahasa sendiri.

Antara suku Batak Angkola dengan suku Batak Mandailing, dari segi budaya dan bahasa banyak terdapat kemiripan, sehingga antara orang Angkola dan orang Mandailing kadang agak susah dibedakan. Bahasa Angkola dilihat dari bahasa memang mirip dengan bahasa Batak Toba dan Bahasa Batak Mandailing, tapi perbedaan dapat dilihat dari intonasi dialek. Dialek orang Angkola terdengar lebih lembut dibanding bahasa orang Toba, tapi sedikit lebih tegas dan keras dibanding dialek orang Mandailing.

Orang Batak Angkola sebagian besar memeluk agama Islam yang pada sekitar tahun 1821 mendapat serbuan dari pasukan Padri dari Minangkabau yang menyebarkan Islam (maaf:dengan pedang) di bawah pimpinan Tuanku Lelo (Idris Nasution). Sebagian besar orang Angkola yang takluk dari pasukan Padri demi keselamatan harus memeluk Islam, sedangkan yang menghindar masuk ke pedalaman hutan-hutan tetap mempertahankan agama adat mereka.
Setelah beberapa tahun berlangsung kekuasaan Padri di tanah Angkola, maka masuk pasukan Belanda menaklukkan dan mengusir pasukan Padri dari Angkola. Masuknya Belanda ke wilayah ini membuat orang Angkola yang bertahan dari pengaruh Islam Padri memilih memeluk Kristen yang dibawa oleh para misionaris Belanda. Walaupun dalam masyarakat Angkola terdapat 2 agama yang berbeda, tapi kerukunan beragama sangat terjaga dengan baik dari dahulu hingga sekarang.

Orang Batak Angkola pada umumnya bertahan hidup sebagai petani, seperti pada tanaman padi di sawah maupun ladang. Mereka juga menanam berbagai jenis sayur-sayuran sampai tanaman keras seperti kopi arabica dan lain-lain. Memelihara ternak seperti ayam, bebek, angsa, kerbau dan sapi, merupakan kegiatan sampingan sebagai penambah penghasilan hidup. Source

Angkola Traditional House

Still discussing about traditional houses in Indonesia. This time we will discuss about Angkola traditional house which is a traditional constituency in North Sumatra. For more details, the following is written about the traditional house.

Angkola is a stand-alone ethnic group, although many people equate it with mandailing. This traditional house is also named Bagas Godang like a traditional Mandailing house. However, there are some differences between the two.

Angkola traditional houses in North Sumatra, the roof uses materials from fibers and walls and floors from the board. The specialty of this traditional house lies in its dominant color, namely, black. Source

The Angkola or Batak Tribe of Angkola, is a tribe that lives throughout the South Tapanuli regency, especially in the Angkola area including Padang Sidimpuan in North Sumatra province.

Orang Angkola is a community group from the Batak ethnic group, which according to the story occupied the Angkola region since centuries ago.
The name "angkola" is believed to originate from the name of a "Batang Angkola" river in the Angkola area. from the Angkola folklore, that this river was named by Rajendra Kola (Chola) I, Chola royal ruler (1014 - 1044 AD) who came from South India, who entered Angkola through the Padang Lawas area. Angkola area consists of 2 regions, namely south of Batang Angkola named Angkola Jae (Downstream) and the north named Angkola Julu (Hulu). After the death of Radjendra Chola I, a figure emerged from Tano Angkola, named Oppu Jolak Maribu surnamed Dalimunthe. oppu Jolak Maribu established the first huta (village) in the Angkola area called Sitamiang. Next like Pargarutan which means "sword sharpening place". This place is the place to take off the day, the Batak calendar and others.

After a long time the people of Angkola grew and developed in the Angkola area, then later people from other tribes came into all walks of life and joined in the customs of the Angkola tribe, but there were also groups that maintained their own customs. Angkola traditional house (misnanlubis.blogspot.com) Like other Batak ethnic groups, the clan tradition also developed in the Angkola Batak tribe. The clans found in the Angkola community are Dalimunthe, Harahap, Siregar, Nasution, Ritonga, Batubara, Daulay and others.

Some clans in the Angkola community appear to have kinship with the clans that exist in the Toba Batak and Mandailing Batak tribes. Historically the Angkola tribe is still related to the Toba Batak and Mandailing Batak tribes. At present the Angkola Batak tribe develops and is recognized as a separate tribe, because they have their own cultural and linguistic traditions.

Between the Angkola Batak tribe and the Mandailing Batak tribe, there are many similarities in terms of culture and language, so that between the Angkola people and the Mandailing people sometimes it is rather difficult to distinguish. Angkola language seen from the language is indeed similar to the Toba Batak language and the Mandailing Batak Language, but the difference can be seen from the intonation of the dialect. The Angkola dialect sounds softer than the Toba language, but a little more firm and hard than the Mandailing dialect.

The Angkola Batak people mostly embraced Islam, which in about 1821 was attacked by Padri troops from Minangkabau who spread Islam (sorry: with swords) under the leadership of Tuanku Lelo (Idris Nasution). most Angkola people who were subdued from the Padri forces for safety must embrace Islam, while those who avoided entering the interior of the forests retained their traditional religion.
after several years of Padri's rule in the land of Angkola, the Dutch troops entered and conquered the Padri forces from Angkola. the entry of the Netherlands into this area made the Angkola people who survived the influence of Islam Padri chose to embrace Christianity brought by Dutch missionaries. although in the Angkola community there are 2 different religions, but religious harmony is very well preserved from the past until now.

Angkola Batak people generally survive as farmers, such as rice plants in fields and fields. they also grow various types of vegetables to perennials such as arabica coffee and others. Maintaining livestock such as chickens, ducks, geese, buffaloes and cows, is a side activity as an income enhancer. Source

Posted using Partiko Android

Sort:  

Thank you so much for being an awesome Partiko Partner! You have received a 100% upvote as benefit. Together, let’s change the world!

Coin Marketplace

STEEM 0.32
TRX 0.12
JST 0.034
BTC 64647.93
ETH 3160.25
USDT 1.00
SBD 4.09