Magma di Kaki Borobudur: Borobudur Writers and Cultural Festival 2018 |

in #poetry5 years ago (edited)

Sabtu_24_11_18_02.jpg


Kamar

Jika ada keajaiban yang tak lelah kupinta
Adalah saat bersama
menelusuri lorong waktu,
melepaskan helai demi helai yang menutup
seluruh tubuh rindu

Tak ada masa yang ingin kuhentikan
Karena segalanya penuh debaran dan keceriaan
bersamamu

Bahkan aku selalu tak bisa berperang menahan diri
Saat naik-turun, baik-buruk,
saat gejolak ego memunculkan diri;
Engkau selalu tak mampu kuhindari

Aku selalu tak tahu bagaimana hilang kendali
Bisa semenyenangkan ini

#RAB, 2017


Sabtu_24_11_18_05.jpg


PUISI di sampul belakang kumpulan puisi Magma karya Ratna Ayu Budhiarti saya baca untuk diri sendiri di kaki candi Bodobudur, Sabtu 24 November 2018. Matahari baru saya menyembul dari puncak candi, kehangatannya sudah terasa di permukaan kulit. Menjelang berakhirnya bulan November, cuaca sulit diprediksi. Sebentar menghangat, sesaat kemudian redup tertutup awan mendung.

Tapi cuaca mendung tidak memengaruhi semangat kami, para peserta aktif Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2018 yang mengambil kegiatan yoga dan meditasi. Seluruh kegiatan di BWCF 2018 menarik, terkadang dilaksanakan bersamaan sehingga harus rela kehilangan acara menarik lainnya.

Terkadang rasa lelah membuat peserta harus melewati sebuah acara yang baru berakhir menjelang hari berganti. Sampai di penginapan Pondok Tingal (bukan Pondok Tinggal, ya?) pukul 23.30 WIB, juga tidak bisa langsung tidur karena masih dilanjutkan dengan diskusi tak resmi sesama peserta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang bisa jadi hanya sekadar mengenal nama sebelumnya. Satu ruangan berisi 6 – 12 peserta yang membuat diskusi sulit terhindari, apalagi banyak di antara sastrawan yang hadir sangat rendah hati dan tidak pelit berbagi ilmu.

Akhir pekan Borobudur sangat ramai meski di pagi hari karena banyak orang yang tertarik melihat matahari terbit di balik puncak stupa. Kabarnya, matahari terbit dari puncak stupa Borobudur adalah salah satu momen yang harus dilihat sebelum mati. Tidak heran kalau di Sabtu pagi itu, banyak pengunjung yang sudah berada di puncak Borobudur sebelum matahari terbit. Apalagi, ada agenda workshop membaca relief Borobudur bagi peserta BWCF 2018. Saya juga ingin mengikuti acara ini, tetapi waktunya bersamaan dengan yoga dan meditasi.


Buku Magma berisi 72 puisi karya Ratna Ayu Budhiarti yang merefleksikan perjalanan hidupnya yang naik turun—setidaknya begitulah pengakuannya dalam pengantar. Seluruh puisi dibagi dalam empat bagian utama: Rasa, Perempuan, Rekleksi, Peristiwa. Dari 72 puisi dalam buku yang diterbitkan Gambang Buku Budaya (Januari 2017) itu, sangat kental aroma keperempuanan bahkan bila nama penyairnya dirahasiakan.

Namun, bukan berarti puisi Ratna (ada juga yang memanggilnya Ayu dan ia sendiri sering menyingkat namanya menjadi RAB), penuh dengan mantra penyedot perhatian dan kasih sayang. Justru dalam kelembutan puisi yang penuh makna seperti disampaikan penyair Ahmadun Y. Herfanda, terkandung kekuatan seorang perempuan yang juga seorang ibu bagi seorang putri (saat ini).

Berbagai persoalan hidup yang menerpa justru membuatnya menjadi pribadi yang kuat. Pesan itu antara lain terekam dalam puisi Perempuan Baja di halaman 39: Aku adalah perempuan dengan magma ratusan tahun siap meledak. Bisa jadi yang dimaksudkan penyairnya adalah bagi perempuan lain atau bisa juga bagi dirinya sendiri yang memendam magma.


RAB dan Peter Carey.jpg
Penyair Ratna Ayu Budhiarti bersama sejarawan asal Inggris, Peter Carey, yang selama 30 tahun meneliti perjuangan Pangeran Diponegoro.


Dalam sajak-sajak lain yang ditulis di berbagai tempat di berbagai negara, ketegaran RAB juga terlihat dalam bait-bait puisinya. Meski ada beberapa puisi yang menggambarkan suasana sebuah kota, tetap ada pesan-pesan ketegaran di dalamnya.

Penyair yang lahir di Cianjur, 9 Februari 1981 itu, aktif di berbagai even sastra dan budaya. Saya mengenalnya dalam even Ubud Writer and Reader Festival di Bali, pada 2012 silam. Kemudian hanya sesekali menjaga komunikasi melalui sosial media dan gadget, sampai bertemu kembali di BWCF di Yogya dan Magelang, 21 – 25 November 2018. Selain kami berdua, penulis lain yang juga menjadi peserta aktif dalam BWCF 2018 adalah Indah Darmastuti. Jadi, BWCF 2018 menjadi semacam reuni bagi kami bertiga.

Bagi RAB, hadir di berbagai festival sastra memperkaya batin dan wawasannya untuk terus berkarya, selain memperkuat jaringan di berbagai kota. Selain UWRF dan BWCF, ia juga mengikuti Festival Penyair Internasional Indonesia, Festival Internasional Gunung Bintan, dan sebagainya. Puisi-puisi masuk dalam sekitar 35 antologi bersama dan sudah menerbitkan lima antologi tunggal di luar Magma. Beberapa puisinya juga sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Perancis, Rusi, dan Korea menjadi bukti tak terbantahkan atas kekukuhan dan kualitasnya dalam berkarya.[]


Sabtu_24_11_18_01.jpg


Sabtu_24_11_18_04.jpg


Sabtu_24_11_18_07.jpg
Seusai mengikuti kisah residensi dan proses kreatif sastrawan Martin Aleida. Dari kini ke kanan: penulis Yuditeha, Ratna Ayu Budhiarti, Martin Aleida, dan Ayi Jufridar.



Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Jak sabe woe siat, bungkoh bajee, gapiet koper, jak lom ha ha ha numpang lewat ya brader @ayijufridar

Teungoh jeut tajak Abu @isnorman. Tapi jak kali nyoe agak peudeh bacut sabab tiket payah tabloe keudroe, hehehehe.

Gambar pertama bikin saya klepek-klepek, terlihat gambar disitu masih sangat alami, kemudian anak-anak juga bisa belajar sejarah dari candi borobudur dalam suasana alam lestari.

Sangat keren 👍👍👍

Memang yang alami akan lebih bagus @midiagam.

Yapp !
Apapun itu, karena yang alami bikin kita sehat, dan aman 😃

Coin Marketplace

STEEM 0.26
TRX 0.11
JST 0.033
BTC 64777.26
ETH 3101.53
USDT 1.00
SBD 3.84