Ketika Kata Melintasi Luka tanpa Membuatnya Berdarah: Book Review |

in #realityhubs5 years ago

CM_01.jpg
Deputy Rector III of Student Affairs at the University of Malikussaleh, Dr. Baidawi received a book in Dalam Keriput yang tak Usang from the board of the Creative Minority, Nanda Amelia, before book review in the Meurah Silue Hall, Lhokseumawe, Aceh (Indonesia), Saturday September 7, 2019.

Oleh Ayi Jufridar

Salah satu pertanyaan paling fundamental dari penulisan kreatif untuk pembersihan diri (cathartic writing) adalah; apakah benar menulis itu bisa menjadi terapi bagi luka atau malah membuat luka lama kembali berdarah. Meminjam kalimat Zubaidah “Ibeth” Djohar, “perjalanan menyibak luka lama tanpa membuatnya berdarah”.

Bagaimana sebuah luka yang ingin kita lupakan atau ingin kita sembuhkan, bisa dibuat tidak berdarah ketika kita menelusuri kembali lorong-lorong kenangan yang masih terpatri kuat. Upaya untuk mengangkat kembali fakta-fakta yang dialami, dilihat, atau didengar adalah sebuah usaha yang sarat risiko. Di satu sisi bisa menjadi terapi, di sisi lain seperti api yang membakar ranting kering.

Berdamai dengan Masa Lalu

Banyak penyintas kekerasan mengobati luka dengan menyerahkan kepada sang waktu untuk menetralisirnya, alih-alih menyembuhkannya. Berharap waktu akan mengikis kenangan buruk dan bisa melupakan trauma masa lalu.

Masyarakat Aceh yang kuat budaya tuturnya, tidak memiliki tradisi modern mengendalikan turbulensi jiwa dengan berkonsultasi pada psikiater. Hal ini terbukti dalam sebuah penelitian setelah bencana tsunami, sebagian besar masyarakat Aceh menggunakan pendekatan agama agar bisa menerima bencana yang begitu mengguncang jiwa dan raga.

Usaha menuangkan pengalaman tersebut dalam bentuk tulisan membutuhkan usaha keras mengumpulkan kenangan berdarah menjadi sebuah kisah, entah ditulis dalam bentuk esai, cerpen, maupun puisi. Tulisan sastra atau sebuah laporan akademis, sama-sama berpotensi membuat luka lama kembali menganga.

Penggalian memori adalah sebuah usaha dan menyajikan serpihan fakta tersebut dalam bentuk tulisan, adalah usaha lain yang tak kalah menyakitkan (atau malah menyenangkan), apalagi bagi yang baru pertama kali menulis. Ada desakan—baik dari pribadi maupun komunitas—untuk menyajikan tulisan indah yang malah menjadi beban. Nasihat dari mentor agar melepaskan semua beban ketika menulis, terkadang malah menghadirkan beban dalam bentuk lain.

Namun, menulis memang sebuah proses panjang yang tidak bisa langsung jadi meski di bawah mentoring penulis andal. Ada yang bilang, menulis yang mudah dipahami itu sulit, sedangkan menulis yang sulit dipahami itu mudah.

Bagi penulis yang mengalami sendiri pengalaman buruk masa konflik atau bencana, dibutuhkan persiapan khusus agar tulisan tidak menjadi upaya menyiram cuka di atas luka yang sudah kering. Atau bisa jadi menjadi sebuah tulisan yang melampiaskan amarah yang penuh caci maki.

Dalam suasana penuh dendam dan amarah, bagaimana bisa melahirkan sebuah tulisan menarik. Sebuah tulisan membutuhkan keterlibatan pikiran dan perasaan yang saling mendukung, selain persyaratan teknis lainnya yang bisa dipelajari secara otodidak atau langsung kepada penulis terkemuka, seperti yang diberikan Zubaidah Djohar dan Kurnia Effendi kepada anggota Creative Minority Unimal.

Agar sebuah tulisan tidak menjadi ruang pelampiasan dendam dan cenderung menyalahkan pihak tertentu, penulis harus berdamai dengan masa lalu. Masa lalu, seberapa pun pahit dan sakitnya, ia sudah menjadi kenangan.

Orang bisa memiliki berbagai motif untuk mengangkatkan masa lalu dalam tulisan, tapi ketika tidak membangun jarak psikologis dengan masa lalu, maka tujuan pembersihan diri melalui penulisan kreatif tidak akan tercapai secara optimal.

Konsep Isotia

Konsep Isotia diperkenalkan oleh Peer Holm Jorgensen, seorang penulis dari Denmark yang sangat dekat dengan Indonesia. Konsep ini mengutamakan kebesaran jiwa penulis untuk bisa menerima masa lalu yang tidak mungkin diperbaiki. Sebagaimana yang pernah disampaikan Martin Alaida dalam Borobudur Writer and Cultural Festival 2018; “kita menulis bukan untuk mencari siapa yang salah, tetapi mengingatkan semua pihak agar kejadian tersebut tidak terulang kembali”.

Begitulah kesan yang kita dapatkan ketika membaca karya Peer, The Missing History (Noura Books, 2015). Ia menyodorkan fakta apa adanya, tanpa terkesan menghukum rezim Soeharto atas penderitaan seorang tokoh mahasiswa, Djani, yang dituduh sebagai pengkhianat bangsa ketika rezim berganti.

Peer tidak menyalahkan siapa pun dan mengungkap sejarah kelam dengan sisi yang berbeda sehingga bukan penulisnya saja yang “bersih” setelah menulis, tetapi juga tokoh dalam buku tersebut (Soeradjana) dan pembaca—tentu saja. Sejarah masa lalu adalah tempat kita bercermin, betapa pun itu berupa lembaran hitam yang ingin kita kubur di dasar samudra hati.

Mengambil jarak batin dengan konflik dan luka terkadang membuat penulis bisa menyajikan cerita dari dimensi berbeda.


CM_05.jpg
The poet Zubaidah Djohar read poetry.


Menggetarkan, tanpa harus Mengiba

Dalam konstruksi pikiran dan imajinasi seperti itulah buku Dalam Keriput yang tak Usang: Suara Pemuda dan Jalan Panjang Perdamaian Aceh bisa dilihat, dengan label yang lebih komprehensif karena ini karya kompilasi berbagai jenis tulisan. Ia bisa jadi sebagai antologi puisi, sebab di dalamnya kita menemukan dua bab puisi masing-masing dari mahasiswa Universitas Malikussaleh dan Universitas Indonesia, sekaligus menjadi kumpulan cerpen dan esai.

Kehadiran mahasiswa UI yang melihat Aceh dari sisi berbeda memberikan nuansa yang lebih netral terhadap konflik, meski pilihan idiom dalam mengekplorasi perdamaian dan konflik (baca: luka) dalam puisi mereka nyaris sama seperti mahasiswa Unimal yang beberapa di antaranya mengalami atau melihat langsung.

Dalam Keriput yang tak Usang adalah karya kompilasi dari para penulis yang sebagian besar tidak memiliki pengalaman menulis. Editor Zubaidah Djohar menyebutkan hanya 20 persen yang pernah menulis. Itu pun tidak rinci menulis dalam kategori seperti apa.

Dengan kondisi seperti itu dan latar belakang pendidikan beragam, karya yang muncul juga beragam dalam bentuk dan beragam dalam kualitas. Ada beberapa puisi deskriptif yang tidak hati-hati memungut kata sehingga terlihat seperti esai berbait. Memang ada beberapa aliran dalam penulisan puisi, tetapi pilihan kata dan idiom menjadi konsep baku yang akan kita temukan dalam puisi mana pun.

Ini mengingatkan kita semua bahwa pengalaman batin adalah satu hal sedangkan cara menulis adalah hal lain. Pengalaman batin yang menggetarkan juga harus didukung dengan kekayaan kata dan teknis menulis yang kesemuanya bisa dipelajari.

Ada juga puisi yang lahir dari perenungan dan penggabungan kata konotatif dan denotatif yang tepat. Ada idiom yang sangat kuat seperti “berjalan tanpa tulang belakang” atau “rindu kemarin belum kutalak tiga” (sekadar menyebut contoh). Tetapi itu belum cukup untuk menghadirkan keindahan dan kekuatan makna sebuah puisi tanpa didukung kesinambungan pada bait-bait sebelumnya atau berikutnya. Keindahan puisi harus dilihat secara utuh mulai huruf pertama sampai terakhir.

Barangkali karena masalah format penulisan di komputer, semua puisi yang disajikan dalam buku ini memiliki cara penulisan sama. Huruf pertama semuanya ditulis dalam bentuk kapital, seolah sudah ada kesepakatan di antara penulisnya atau ada persyaratan baku seperti itu yang tak boleh dilanggar. Padahal, puisi membebaskan penyair menulis dalam bentuk apa pun dengan tetap mempertahankan estetika.

Masalah menjaga kesimbungan dan cara penyajian juga kita temukan dalam penulisan cerpen. Membangun konflik dalam jalinan kata yang berkelindan menjadi bagian penting untuk menggetarkan batin tanpa harus mengiba-iba memohon perhatian pembaca.

Penggunaan bahasa Aceh dalam dialog tokoh di cerpen memang mengentalkan aroma lokasi dan karakteristik. Namun ketika semua dialog disajikan dalam format sama, akan mengganggu ilusi pembaca, sebagaimana catatan kaki dalam sebuah naskah fiksi. Penulis harus lebih selektif dalam memilih dialog mana yang harus disampaikan dalam bahasa Aceh dan dialog yang perlu dijelaskan saja penuturannya dalam bahasa Aceh. Pada bagian lain, masih ditemukan bahasa berkonotasi ganda yang sebenarnya bisa digantikan dengan kalimat lain yang lebih kuat.

Dalam penulisan cerpen yang mengeksplorasi kepedihan, baiknya para mahasiswa juga membaca dua buku George Orwell yang diterjemahkan Penerbit Diva pada medio 2019 ini adalah Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London serta Hari-Hari di Burma.

Eksplorasi data yang lemah juga terlihat dalam penulisan esai, kecuali ada beberapa esai yang menyebutkan data secara relevan. Untuk memperkuat argumen tertentu, penyebutan data dari sumber kredibel sangat diperlukan. Eksplorasi data tersebut bisa disajikan dengan bahasa lugas, sebab kita tidak sedang membuat laporan jurnal ilmiah.

Selain itu, masih ada typo dalam buku ini, termasuk dalam pengantar editor ada kalimat yang belum selesai. Namun, terlepas dari semua itu, karya ini patut mendapat apresiasi sebagai langkah awal pembersihan diri. Ke depan, kita akan melihat karya besar dari beberapa anggota CM yang setia mengabdi kepada dunia literasi.[]


CM_03.jpg
A member of the Creative Minority University of Lhokseumawe, Nia Ramadhania, read poetry when the book launches Dalam Keriput yang tak Usang at Meurah Silue Hall, Lhokseumawe, Aceh (Indonesia), Saturday, September 7, 2019.


Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif


Posted on RealityHubs - Rewarding Reviewers
Sort:  

To listen to the audio version of this article click on the play image.

Brought to you by @tts. If you find it useful please consider upvoting this reply.

Membaca resensi dari abang @ayijufridar seperti sedang menghadapi buku sambil dipaparkan secara jelas. Kelas akademisi yang berbalut jurnalisme praktis lah yang mampu menghasilkan sebuah review hebat.
Saya harus terus banyak ngangsu kawruh
Terlebih saat membaca isi ang direview, memang benar saat peristiwa telah usai bukan berarti tidak ada benang merah yang terkait kat. Jika ditarik akan membuka luka, namun kita harus bisa menerima dengan lapang dada, dengan berdamai terhadap peristiwa di masa lalu yang kadang bukan hal mudah.
WAHHH JOS bang...
Salam dari Klaten

Thanks for sharing your great review. It would be more informative if you add about the cover book itself.

Thanks for your contribution.

Regards,
@anggreklestari
[Realityhubs Curator]


Posted on RealityHubs - Rewarding Reviewers

Coin Marketplace

STEEM 0.27
TRX 0.11
JST 0.032
BTC 64579.45
ETH 3101.05
USDT 1.00
SBD 3.83