Faktor Depresi Menurut Hasil Penelitian Prof. Martin Seligman

in #science6 years ago

depresi.jpg
sumber

Saya ingin membagikan sedikit tentang “depresi” dari hasil penelitian Martin Seligman, seorang profesor psikologi di University of Pennsylvania (Sumber: “Life’s A Pitch” karya Philip Broughton). Profesor Seligman menemukan bahwa kebanyakan orang depresi yang menderita “learned helplessness” (Istilah Inggris ini sulit diterjemahkan secara ringkas ke Bahasa Indonesia), versi sedehananya: “Ketakberdayaan yang dipelajari”. Lebih jelasnya: perasaan tak berdaya (helplessness) yang sebenarnya dibangun sendiri oleh manusia.

Menurut Profesor Seligman, ketika kita mengalami peristiwa buruk yang ada di luar kendali (uncontrollable bad events), ada tiga kategori interpretasi akan peristiwa buruk tersebut (yang menentukan perilaku kita berikutnya).

1. Kategori pertama

Interpretasi akan: apakah peristiwa tersebut disebabkan oleh faktor internal (kita sendiri), atau faktor eksternal (karena situasi di luar kita). Contohnya: saat kita ketinggalan kartu ATM. “Kartu ATM saya hilang karena saya adalah orang pikun dan tolol” adalah interpretasi internal. “Kartu ATM saya hilang karena tadi saya buru-buru mengejar kereta terakhir, dan diteriakin sama teman-teman disuruh cepet” adalah interpretasi eksternal.

2. Kategori kedua

Interpretasi apakah peristiwa tersebut disebabkan faktor yang stabil (stable factors), atau faktor kebetulan (unstable factors). Contoh interpretasi faktor stabil: “Saya selalu kehilangan kartu ATM kalo terburu-buru″, dan sebaliknya “Ah, ini sih lagi kebetulan aja saya khilaf” (faktor insidental).

3. Kategori ketiga

Interpretasi peristiwa sebagai “gambaran menyeluruh” (global) atau “spesifik”. Contoh interpretasi global: “Saya kehilangan kartu ATM ini memang gambaran hidup saya yang berantakan, pelupa, dan ceroboh“. Contoh interpretasi spesifik: “Yah, cuma kartu ATM aja. Tinggal lapor polisi, urus kartu baru, beres deh”.

depresi1.jpg
sumber

Penderita depresi cenderung menginterpretasi peristiwa buruk sebagai “internal” (salah sendiri), “stabil” (peristiwa sial ini selalu terjadi), dan “global” (satu peristiwa jelek digeneralisir menjadi keadaan keseluruhan). Kebalikannya, seorang optimis cenderung memilih interpretasi “eksternal” ,“insidental” (ini kejadian kebetulan), dan “spesifik” (tidak digeneralisir ke aspek hidup yang lain).

Tentunya kita juga tidak ingin menjadi orang yang optimis tapi delusional, atau menyebalkan karena tidak mau mengakui kesalahan (Kepala saya bocor,jatuh dari motor bukan karena saya tidak pakai helm, tetapi karena aspal keras ini adalah konspirasi), tidak mau belajar dari kesalahan (Ah, 5 tahun Ujian Nasional tidak belajar dan tidak lulus sepertinya hanya kebetulan saja, tahun depan pasti lulus), dan tidak mau berubah diri (Walaupun saya adalah buronan KPK, tapi saya orangnya tidak sombong dan nyumbang anak yatim kok. Jadi kalau ditotal saya orang baik lah…) Untuk orang-orang seperti ini sebutannya bukan optimis, tapi ngehek. Dan kita tidak mau menjadi orang ngehek, betul?

depresi2.jpg
sumber

Temuan Profesor Seligman di atas sebenarnya lebih ditujukan agar kita menghindari depresi yang tidak beralasan. Saat kita mengalami peristiwa sial, kita harus menganalisa bagaimana cara kita menginterpretasinya. Apakah sebuah peristiwa tidak baik terjadi karena memang salah kita, atau sebenarnya ada faktor-faktor di luar kendali kita? Apakah peristiwa tidak baik ini terus-menerus kejadian, atau sebenarnya hanya insidentil saja? Jika kita bisa menginterpretasi sebuah peristiwa tidak baik secara lebih realistis dan sehat, harapannya adalah kita tidak menjadi rentan merasa tidak berdaya, dan kemudian menjadi rentan depresi.


story.jpg

Sort:  

Intinya harus berpikiran positiflah ya, untuk menghindari depresi.

Coin Marketplace

STEEM 0.32
TRX 0.12
JST 0.034
BTC 64647.93
ETH 3160.25
USDT 1.00
SBD 4.09