The Secret Life of Mara # 11

in #steempress6 years ago

 

 


source


Bab 3

Kulminasi

 

Nendo memperhatikan sungai kecil berair jernh. Batu-batuan besar berserakan di beberapa tempat. Aliran air dari hulu sungai tidak sederas saat musim hujan. Namun cukup memanjakan mata dan telinga. Air selalu mampu menjernihkan pikirannya. Sudah dua jam dia berdiri di tepi sungai di atas bebatuan. Dia bisa melihat pasir hitam di dasar sungai. Pandangannya mengarah kembali ke puncak pegunungan yang mengelilingi salah satu tempat berlibur favoritnya.

 



source


 

Syukurlah, karena mendadak, tidak ada satu pun dari tiga sahabat SMA-nya yang diajak bisa ikut. Mereka berempat memang berkomitmen, untuk terus melakukan hobi berpetualang di alam bebas.

Saat ini dia butuh waktu sendiri. Semalam pun tendanya tidak digunakan. Dia hanya duduk di depan tenda. Pandangannya mengarah ke langit. Mengamati bintang. Menyadari dengan segala pencapaiannya, dia hanya setitik debu di alam semesta. Yang akan segera menghilang dan terlupakan, bila tidak segera melakukan sesuatu.

Belum lama salah seorang koleganya, dalam kondisi kritis. Kanker yang dideritanya sudah menyebar. Kata dokter, secara medis paling lama hanya bisa bertahan, tiga sampai enam bulan. Hanya dalam hitungan minggu, nyawanya terenggut. Meninggalkan banyak urusan yang belum selesai.

Koleganya beruntung, punya perkiraan kapan hidupnya berakhir. Belum tentu dia yang sehat, tidak dipanggil lebih dulu. Apa yang akan kulakukan, bila hidupku hanya tiga bulan lagi?

Perusahaan-perusahaan yang didirikannya, memiliki fasilitas kesejahteraan karyawan yang sangat bagus. Jaminan kesehatan keluarga, kajian rutin agama setiap bulan, program beasiswa bagi karyawan dan keluarga mereka..

Di lingkungan perusahaannya, bahkan dibangun fasilitas olahraga dan spot-spot nyaman yang bebas dipergunakan, bila karyawan membutuhkannya. Tentu saja, tidak ada makan siang gratis. Setiap karyawan tahu kinerja tinggi yang diharapkan dari mereka. Sanksi bila melanggar peraturan perusahaan. Syukurlah turn over pegawai di perusahaannya, bisa dibilang mendekati nol. Kecuali beberapa pegawai nakal, yang tidak diberikannya kesempatan.

Ada yang kosong dalam hatinya. Beberapa bulan lagi usianya menginjak 30 tahun. Dia tidak ingin anak perempuan semata wayangnya, yang baru berusia 10 tahun, sendirian, bila dia mati. Haruskah aku kembali menikahi Nisa, seperti permintaan Ima? Toh Nisa secara jelas memberi tanda mau menerimanya, walaupun tahu kondisinya.

Nendo merilekskan tubuh. Dia bernafas dalam. Ada sesuatu yang mengganjal dalam dada. Dahi Nendo berkerut. Bukan keputusan terbaik …. Sudah saatnya aku melepas futsal, pikir Nendo. Full time mengajar kewirausahaan. Semoga keluar calon pengusaha-pengusaha muda dari sana. Kelegaan memenuhi dadanya, ketika Nendo menarik nafas dalam. Ujung bibir Nendo tertarik ke atas sedikit. Feeling kembali akan memandu petualangannya.

Nendo menggosok-gosok kedua belah tangannya, hingga rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh. Dia masih punya waktu mengerjakan satu proyek lagi, sebelum fokus renovasi pesantren Mama. Tangannya mengambil handphone di saku celanya.

“Jamie, batalkan tiket pulangku, aku akan pulang sendiri.” Nendo tertawa dengan tidak bersuara, membayangkan mata Jamie yang melotot di ujung sana.


source

“Nunggu siapa, Pak Parman?” tanya Nendo, ketika melihar pandangan Pak Parman menerawang di pintu keluar stasiun Kota Cimahi.

Mulut pak Parman terbuka lebar. Matanya disipitkan. “Pak Tama?” tanyanya kaget dengan suara tidak percaya. “Kenapa naik kereta? Bu Jamie bukan sudah siapin helikopter? Sebentar saya telpon Bu Jamie dulu, Pak Tama.”

Nendo tertawa kecil. “Tidak perlu, Pak. Saya sudah telpon Bu Jamie.”

Pak Parman mengangguk-angguk dengan wajah bingung. Matanya melihat ke arah pakaian Nendo yang tidak seperti biasanya. Jeans belel berlubang di beberapa tempat dan kemeja biru tua. Topi bertengger di kepala bosnya. Kalau Pak Tama tidak menegur, dia pasti tidak akan mengenali Pak Tama.

“Pak Tama tidak apa-apa?” tanya Pak Parman khawatir.

Nendo menganggukkan kepala sedikit. “Tidak apa-apa.” Di antara semua bawahannya. Pak Parman memang yang paling dekat dengannya, selain Handi, tangan kanannya.
“Bapak mau jemput siapa?” tanya Nendo lagi.


“Oh … keponakan saya, Pak. Mara." Pak Parman kembali mengarahkan pandangan ke belakang tubuh Nendo. "Itu Pak Tama, yang pakai atasan merah kotak-kotak!” seru Pak Parman dengan suara lega.

Nendo membalikkan tubuh. Satu kereta mereka rupanya. Matanya dipicingkan. Terlihat seorang gadis berpenampilan sederhana, mencari sesuatu dengan matanya. Wajah itu terlihat cemas. Tubuhnya menyiratkan kebingungan. Namun, gadis itu melangkahkan kaki dengan penuh tekad, setelah matanya menemukan tangan Pak Parman yang sengaja dilambai-lambaikan.

Dia menyukai keberanian gadis itu.

Tiba-tiba sebuah dorongan kuat, seperti menyeretnya pergi dari tempat ini.

Jangan Lupa Bahagia

Bandung Barat, Senin 9 Juli 2018

Salam

 

Cici SW


Posted from my blog with SteemPress : https://cicisw.com/2018/07/09/novel2-011/

Sort:  

Akhirnya Nendo menikah dengan Nisa kah?
kepo

Ikutin terus ya ceritanya Kak @ririekhayan :)

Ceritanya penuh misteri. Jadi penasaran nunggu kelanjutannya.

Terima kasih Kak @nurulfitri :)

jangan lupa bahagia :)

Salam bahagia Kak @zefy

Kk, apa kalo mo pulang pake helikopter harus beli tiket? Biasanya kan heli itu identik dgn milik pribadi.

Harusnya tiket diganti rencana aja ya Kak @diyanti86. Supaya masuk logika cerita.
Terima kasih banyak ya masukannya.
Ditunggu terus ya masukannya :)

Iyes ... semangat terus ya kk 😘
Enggak sabar nih nunggu adegan2nya Mara

Terima kasih Kak @diyanti86

Coin Marketplace

STEEM 0.35
TRX 0.12
JST 0.040
BTC 70734.57
ETH 3561.52
USDT 1.00
SBD 4.75