The Secret Life Of Mara #12

in #steempress6 years ago

“Pak Parman, saya duluan,” ujar Nendo.

“Baik, Pak ... secepatnya, saya akan ajak Mara menemui Bapak,” sahut Pak Parman dengan wajah lega.

“Tidak usah!” sergah Nendo cepat “ ... nanti saja, kalau lapangan futsalnya sudah jadi. Seperti biasa, kita akan adakan pelatihan singkat untuk para pegawai baru.”

Kepala Pak Parman mengangguk.

Jadi namanya Mara. Sudut bibir Nendo naik sedikit. Nendo mengerutkan alis dalam-dalam, ketika sadar dia senyum, hanya karena mendengar sebuah nama.

Setelah balas mengangguk, Nendo bergegas jalan. Alisnya bertaut, hatinya benar-benar tidak ingin bertemu anak itu saat ini. Tangan Nendo yang akan menekan tombol untuk menyalakan mesin mobil, terhenti di udara.

Matanya mengikuti Pak Parman dan Mara yang melintas di depan mobilnya. Untunglah dia menyuruh Jamie, menggunakan mobil yang baru saja dibeli, hingga Pak Parman tidak mengenali mobil ini. Mobil Pak Parman diparkir di seberang mobilnya diparkir.


source

Matanya menangkap seorang gadis yang berdiri kikuk di samping mobil Pak Parman. Gadis itu mengamati sekeliling. Nendo bisa melihat pandangan mata yang menunjukkan kecerdasan. Ketika pandangan gadis itu tertuju agak lama ke arahnya, tanpa sadar dia menekankan kepala ke sandaran kursi.

Setelah mobil Pak Parman melewati mobilnya, barulah dia bernafas lega. Tapi kemudian menertawakan kebodohannya sendiri. Dia mengenakan kacamata hitam. Berada dalam mobil berkaca gelap. Kenapa sampai takut dikenali gadis itu? Dahi Nendo berkerut.

Takut...

Sudah lama sekali dia tidak pernah merasa takut. Dahinya berkerut semakin dalam …. ada sesuatu pada gadis itu. Kehadiran gadis itu telah memunculkan, emosi yang dipendamnya bertahun-tahun lalu.

Exquisite greenhouse surrounded by sunflowers with colorful folding chair inside

source

 

Dengan hati berdebar-debar Mara turun dari kereta api. Ini adalah pertama kalinya dia melakukan perjalanan jauh. Suasana ramai di stasiun membuat kepalanya pening. Semalam dia tidak bisa tidur.

Subhanallah. Subhanallah, Mara tidak henti-hentinya mengucapkannya dalam hati. Sejak dia naik kereta api. Setelah berdiri sejenak mencari arah pintu keluar, dia kembali berjalan perlahan. Hatinya lega, melihat Pakde Parman melambaikan tangannya. Langkahnya dipercepat.

“Bagaimana perjalananmu?” tanya Pakde Parman.

“Alhamdulillah, lancar, Pak De,” Mara mencium tangan Pakde Parman.

“Syukurlah... Budemu lagi ngurusin kuliah Lestari, jadi engga bisa ikut jemput.”

“Engga apa-apa, Pakde.” Mara meletakkan tas ransel tuanya di punggung. Tak banyak baju yang bisa dibawa. Dia berjalan di belakang Pakde Parman dengan kepala tertunduk.

“Ayo, naik!” seru Pakde Parman, ketika Mara hanya berdiri dengan wajah kebingungan di dekat pintu mobil.

Tangan Mara sedikit gemetar, ketika membuka pintu mobil. Jarang sekali dia naik mobil. Jarak sekolah ke rumah, ditempuhnya berjalan kaki.

Jantungnya berdebar keras. Mobil Pakde jauh lebih bagus daripada mobil Firman. Tempat duduknya lebih lembut. Perlahan mobil yang dikendarai Pakde Parman bergerak. Hembusan angin dingin menyentuh pipi Mara. Dia menghirup wangi semerbak.

Di angkot, kalau mau ke pasar di dekat kecamatan, terkadang dia harus menahan nafas. Karena semua mahluk hidup, termasuk binatang dan tumbuhan, serta sayur mayur, memiliki hak yang sama untuk naik angkot.

“Ayahmu bilang, NEM-mu paling tinggi di sekolah?” suara Pakde Parman memecah lamunan Mara.

“Alhamdulillah, Pakde.” Punggung Mara tegak. Dia takut kalau bergerak, bisa merusak jok mobil.

“Diajarin komputer di sana?”

Mara menoleh ke arah Pakde Parman dengan perasaan khawatir.

“Iya ... tapi jarang sekali ....”

Kepala Pakde Parman mengangguk. “Tidak apa-apa. Resminya kamu kerja tiga bulan lagi. Pemilik lapangan futsal, Pak Tama, mewajibkan semua pegawai menguasai komputer, karena semua nanti sudah komputerisasi ... kamu kursus dulu di sini!”

Mara menggigit bibir. Tubuh Mara terasa dingin. Tangan dipangkuannya diremas-remas. Kursus di kota pasti mahal. Uang yang diselipkan mama, saat dia mau berangkat, walaupun sudah ditolaknya, 50 ribu. Uang pecahan seribu, dua ribuan, dan lima ribuan. Pasti keuntungan jualan ayah, yang disimpan mama untuk keadaan super darurat.

Dia tidak punya uang untuk bayar kursus. Beli tiket ekonomi kereta api saja, mama harus berhutang pada tetangga.Tabungan di PAUD habis semuanya, digunakan untuk membayar hutang ke Mama Nisa. Itu pun belum melunasi utang ayah padanya.

Jangan Lupa Bahagia

Bandung Barat, Selasa 10 Juli 2018

Salam

 

Cici SW

 


Posted from my blog with SteemPress : https://cicisw.com/2018/07/10/novel002-12/

Sort:  

Congratulations @cicisw! You have completed the following achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :

Award for the number of upvotes received

Click on the badge to view your Board of Honor.
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

To support your work, I also upvoted your post!

Do not miss the last post from @steemitboard:
SteemitBoard World Cup Contest - Croatia vs England


Participate in the SteemitBoard World Cup Contest!
Collect World Cup badges and win free SBD
Support the Gold Sponsors of the contest: @good-karma and @lukestokes


Do you like SteemitBoard's project? Then Vote for its witness and get one more award!

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.11
JST 0.033
BTC 63968.82
ETH 3136.80
USDT 1.00
SBD 4.28