The Secret Life of Mara # 13

in #steempress6 years ago

“Budemu sudah cari informasi ... ada tempat kursus bagus, dekat rumah,” suara Pakde Parman bagaikan hujan di tanah kering retak hati Mara. “Kamu engga usah mikirin biaya ... yang penting belajar aja ... serap apa pun yang bisa di pelajari di sana.”

“Iya, Pakde. Terima kasih banyak.” Mara menarik nafas lega perlahan.

Subhanallah. Subhanallah .... Ibu sudah berpesan, agar menjaga sikap di depan Bude. Kalau Bude sendiri yang mencarikan tempat kursus, tentu tidak akan bermasalah.

Pakde Parman mengajaknya mampir ke tempat les komputernya. Hatinya gembira. Gedungnya lebih bagus, dari bangunan sekolahnya di kecamatan.

Impressive view down a stairwell with spiral marble stairs

source

Mara mengatupkan mulut yang tanpa sadar menganga, melihat rumah Pakde Parman. Dia pernah mendengar saudara-saudara yang lain bercerita, tentang rumah Pakde Parman. Namun tidak menyangka rumah Pakde Parman sebesar ini.

“Maaf kamarmu di sini, ya ...” ujar Pakde Parman lirih.

“Engga apa-apa Pakde ... ini bagus sekali,” Mara memandang ruangan 3 x 3 yang masih bau cat. Sebuah dipan untuk satu orang dan lemari baju plastik kusam sudah tersedia di dalamnya. Kamar ini jauh lebih bagus dan besar jika dibandingkan dengan kamarnya di rumah.

“Besok Pakde antar ke tempat kursus kamu untuk daftar.”

“Iya, Pakde. Terima kasih.”


source

Mara tidak melepaskan pandangannya dari wajah Pak Deni, guru kursus komputer, saat laki-laki setengah tua itu menerangkan materi di depan kelas. Dia sangat semangat. Satu orang dapat satu komputer. Di sekolahnya, dia harus sabar menunggu giliran, bergantian dengan teman-temannya.

“Bisa, Mara?” Pak Deni berdiri di sebelah bangku Mara.

“Alhamdulillah, Pak,” sahut Mara seraya menoleh ke arah Pak Deni. “Kak Heri banyak bantu saya.”

Pak Deni tersenyum dengan kepala mengangguk-angguk. “Sekarang kita belajar dari dasar dulu ya... nanti baru masuk program yang lain.”

“Iya, Pak.” Mara kembali mengerjakan tugas yang diberikan.

Suasana dalam ruangan sangat tenang. Yang terdengar sesekali hanyalah suara ketikan di keyboard. Begitu dia bingung sedikit, seperti punya sensor yang sangat sensitif, Kak Heri langsung mendekatinya. Sebelum sempat dia mengangkat tangan. Kak Heri sangat menguasai materi yang sedang dipelajarinya. Mara mencatat semua yang diterangkan Kak Heri dalam buku tulis.

“OK. Waktunya tinggal lima menit lagi,” Pak Deni mengingatkan.

Mara melihat jam di dinding. Setengah empat kurang lima menit. Cepat sekali waktu berlalu. Dengan berat hati, dia mengikuti instruksi mematikan komputer.

“Rumahmu jauh dari sini?” tanya Pak Deni.

“Dekat, Pak,” sahut Kak Heri sebelum Mara menjawab.

Dengan wajah tersenyum, Mara lanjut membereskan alat tulisnya.

“Sudah selesai tugasnya, Mara?” tanya Pak Deni lagi.

“Ini, Pak,” dengan gembira Mara menunjukkan hasil pekerjaannya. Power point makalah yang dibuatnya sangat bagus.

Jantung Mara berdebar-debar, saat Pak Deni memeriksa hasil kerjanya.

“Bagus, kreatif sekali ..." Pak Deni mengangkat wajah dari kertas kerja Mara, "Sebulan terakhir ini peminat kursus semakin banyak ... kalau kamu ada waktu, bisa bantu Bapak ngajar di sini? Bantu-bantu Heri. Nanti kompensasinya—“

“Mau, Pak!” sahut Mara cepat memotong kalimat Pak Deni. Dia dengan senang hati, akan menghabiskan waktu seharian di sini. Di rumah Pakde, dia bingung harus mengerjakan apa. Dengan jumlah pembantu yang khusus bekerja di dalam rumah sebanyak tiga orang, tidak ada yang tersisa untuk dikerjakannya.

Pak Deni tertawa.

“Hanan, kau mau ke perpustakaan sekarang?” tanya Pak Deni, pada seorang anak perempuan berseragam putih abu-abu, yang baru memasuki ruang komputer.

“Iya, Pak,” sahut Hanan. Kedua tangannya yang memegang buku diangkat ke kepala. "Mau ngembaliin buku."

“Bapak titip buku ya. Tolong kembalikan.”

“Siap, Pak, ” ujar Hanan. "Mau dipinjamkan sekalian?"

Pak Deni menggeleng sambil tersenyum, "Terima kasih."

“Perpustakaan apa, Pak?” tanya Mara,

“Perpustakaan kota. Tidak terlalu jauh dari sini ... kau belum pernah ke sana?” tanya Pak Deni.

“Belum, Pak.”

“Kamu bisa naik motor?” tanya Pak Deni lagi pada Mara.

“Bisa, Pak.” Di desa, Mara sering mengantar ayah ke pasar, saat ayah sedang tidak sehat dan tidak mampu naik motor sendiri. Walau ibu sudah melarang ayah berjualan, ayah akan tetap bersikeras pergi.

“Mau antar Hanan ke sana? Tadinya Heri yang mau antar, Heri harus pulang, katanya ibunya sakit. Kau bisa lihat-lihat dan daftar jadi anggota perpustakaan sekalian.”

Dengan gembira, lagi-lagi kepala Mara mengangguk.

Jangan Lupa Bahagia

Bandung Barat, Rabu 11 Juli 2018

Salam

 

Cici SW


Posted from my blog with SteemPress : https://cicisw.com/2018/07/11/novel-002-013/

Coin Marketplace

STEEM 0.26
TRX 0.11
JST 0.033
BTC 63746.34
ETH 3048.25
USDT 1.00
SBD 3.97