Nasib Buku Di Era Digital

in #steempress5 years ago (edited)

image


Source

 

 

 

Jumpa lagi dengan postingan saya, nah sahabat steemian, selalu menarik memang ngobrol tentang membaca dan menulis, tapi ada satu pertanyaan yang mengganjal saya. Kita itu sebenarnya duluan mana, menulis, atau membaca ? Kalau menurut saya, duluan membaca. Misalnya gini, ini buku di ambil ya, itu kita cepatan mana, pasti cepatan membaca, kan ? Nulis kan lama, karena kita harus ambil pulpen dulu, nyari buku, kemudian mikirin dulu mau tulis apa, ya kan. Jadi lebih duluan baca, daripada nulis. Oke ! Baiklah, saya akan langsung saja memulai postigan untuk hari ini, yang akan menjadi topik perbincangan hari ini, adalah "Nasib Buku Di Eera Digital".

 

Jadi Guru ngaji saya dulu pernah menyampaikan bahwa Nabi Muhammad, Rasululah SAW aja yang paling pertama adalah ikraq, baca, dan itu juga bukan hanya tulisan, bahwa membaca alam itu juga sama dengan membaca. Nah terkait perkembangan dari buku percetakan, buku utamanya ini ya, kemudian perpindahan ke era digital, memang ada pergeseran ya. Kalau kita kita lihat, saya ada sedikit data dari tahun 2014 ke 2019 ini memang terjadi. Jadi gini, kalau di penetrasi dunia digital, itu memang tiap tahunnya mengalami kenaikan rata-rata 4%. Sementara untuk penetrasinya print dalam hal ini, koran, majalah, tabloid, ini memang mengalami penurunan rata-rata 3%, Jadi memang ini sih sebetulnya lebih ke pergeseran mediumnya saja ya.

 

Mungkin kalau angkatan yang lahirnya di tahun 1960, atau biasanya dengan membaca buku, koran, sebenarnya. Anak-anak sekarang kan pasti gadget langsung, carinya instan, tapi kualitas dari sebuah tulisan kita katakan instan, digital itukan. Kadang-kadang dengan kita di wawancara aja kan, mereka sambil jalan, berarti tergantung pada sumber daya manusianya yang bisa mengolah informasi dari narasumber. Kalau kita menuliskan mungkin ada waktu untuk mengolah dan pemahaman terhadap apa yang di sampaikan narasumber itukan berbeda. Jadi memang awal munculnya informasi lewat dunia digital itu, yang di dahulukan adalah kecepatan, itu awalnya, soal akurasi belakangan, karena dia akan bisa merawat kapan saja ketika terjadi kekeliruan.


image
Source

 

Beda dengan media print, ya kan ? Misalnya kami wawancara, kemudian mengendapkan tulisan itu, bahkan mengambil refrensi dari berbagai sumber untuk mengolah menjadi sebuah tulisan yang sangat dalam. Akurasinya kita perhatikan, kedalamannya kita sampaikan dengan sangat baik, sementara di dunia digital tidak seperti itu, namun saya lihat tahun ini, tulisan-tulisan digital pun, kalau dulu kita kan mengenalnya tulisan digital itu pendek, singkat gitu ya.

 

Kalau sekarang tidak ! Muncul juga tulisan-tulisan panjang di dunia digital, dan kedalamannya pun ada. Barangkali pergeseran seperti ini memang memungkinkan untuk memenuhi rasa ingin tau audiens kita yang memang yang hidupnya itu sejak lahir memang kreatif, jadi muncullah tulisan-tulisan seperti itu. Dan itu di mungkinkan, dan akhirnya itukan juga memang tulisan-tulisan panjang yang kemudian itu juga medianya digital, memang belum besar minat baca itu tadi.

 

Tapi memang cukup signifikan, dulu di waktu saya masih SD, masih pelajar, tidak pernah orang ke warung makan, nggak bawa buku. Karena nunggu pesanan es teh aja, apa-apa itu sambil baca, dan bahkan di sediakan minimal majalah. Dulu orang itu kalau mau ke salon, atau apa, itu minimal ada tabloid Nova, tabloid, Gadis, tabloid Aneka, dan lain sebagainya. maka Itu ada dulu di setiap salon, dan sekarang menjadi kurang.


image
Source

------Tabloid favorit saya dulu------

 

 

Menulis itu ada kedalaman dan itu luar biasa, jadi memang menjadi hal yang sebenarnya perlu di perhatikan, karena tradisi menulis ini, tadisi yang sangat baik. Tapi sekarang itu dengan adanya gadget, itu mengurangi minat baca. Yang paling banyak di baca broadcast, atau berita-berita sekilas. Saya punya rasa ya, ketika membaca buku, membaca koran, atau membaca tabloid, itu ada sensasi sendiri, dengan membuka lembar demi lembarnya. Tapi itu tidak bisa kita paksakan untuk anak-anak di bawah kita, mereka membaca lewat digital, itu aja kita bersyukur.

 

Tapi kemudian untuk para orang tua, pesan saya adalah, jangan sampai buku di tinggakan, misalnya gini, di rumah itu kebiasaan membaca buku, atau di awali dengan buku-buku ringan, itu di berlakukan di rumah, supaya buku-buku ini tidak tenggelam di era yang serba digital saat ini. Nah sahabat steemian, demikianlah postingan saya hari ini, moga-moga ada manfa'at yang di dapat, teruslah berkarya.

 

Salam Steemian Indonesia 💫

 

 

~Keep writing~

 

image

 

Salam Sahabat Inspiratif

 


Posted from my blog with SteemPress : http://midiagam.epizy.com/2019/02/12/nasib-buku-di-era-digital/

Sort:  

Buku masih akan tetap ada pembacanya, bahkan di negara maju. Banyak sekali perbedaan membaca buku dengan membaca di e-book yang lebih melelahkan mata.

Btw, cerpen pertama saya dimuat di majalah ANEKA Yess (dulu bernama Aneka Ria) sekitar tahun 1992. Judulnya Di Antara Pesta Perpisahan.

Saya sependapat dengan @ayijufridar, membaca buku, koran, tabloid, latau itu majalah, itu esensinya luar biasa, dan ada sensasi tersendiri saat membuka lembar demi lembarnya. Pokoknya beda banget sama kita membaca di ebook, atau tulisan digital.

Wahh, hebat ayi, tulisan cerpennya berhasil diuat di tabloid Aneka Yess, ini luar biasa 👍👍👍👍 sampai di muat di

Coin Marketplace

STEEM 0.25
TRX 0.11
JST 0.032
BTC 63576.35
ETH 3066.39
USDT 1.00
SBD 3.80