“Pulang” Sebagai Sebuah Perlawanan

in #steempress6 years ago (edited)

Kata Rendra, penyair punya kewajiban untuk merespon realitas di sekitarnya. Menurut “Si Burung Merak”, penyair punya ‘tugas” mengkritik semua persoalan dalam masyarakat, yang menyebabkan kemacetan kesadaran. Sebab, Rendra melanjutkan, kemacetan kesadaran adalah kemacetan daya cipta, kemacetan daya hidup dan melemahkan daya pembangunan. (html comment removed: more)

thumbnail_artwork-1398922359.jpg

Sebetulnya, ini bukan cuma ciri penyair atau seniman pada umumnya. Ini adalah refleksi dari nilai-nilai kemanusiaan yang bisa dipunyai oleh siapa saja. Sehingga tidak heran ketika banyak penyair Aceh mengusung tema-tema anti-konflik dan antiperang. Jika diperhatikan, kecenderungan penyair Aceh untuk mengungkap persoalan konflik itu dimulai pada akhir tahun 1980-an. Tentu saja ini tak lepas dari memburuknya iklim politik di sana.

Pada masa itu, eskalasi konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah --- yang di lapangan direpresentasikan oleh militer -- makin tinggi. Kasus-kasus penembakan, secara misterius, terus terjadi. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan, pasar, hutan, sungai, dan tempat-tempat publik. Hidup di sana pun menjadi begitu mencekam.

Seperti diketahui, konflik di Aceh pada masa Orde Baru ini berawal dengan deklarasi Gerakan Aceh Merdeka pada 24 Mei 1977 di kaki Gunung Halimun, Kabupaten Pidie, Aceh. Meski, Hasan Tiro menyebutkan GAM lahir pada 4 Desember 1976, namun itu ditentang oleh para deklarator GAM yang ikut di Halimun. Lepas dari situ, yang jelas kemudian GAM memulai aktivitasnya.

Pemerintah sempat berhasil meredamnya. Namun pada akhir 1980-an, geliatnya muncul kembali. Itu diawali dengan penghadangan tentara dan pembakaran sekolah. Lalu, Gubernur Aceh (pada saat itu), Ibrahim Hassan, melapor ke Jakarta untuk meminta bantuan, karena menganggap apa yang dilakukan GAM telah mengganggu agenda dan proses pembangunan yang dijalankannya.

Kemudian, pemerintah mengirim pasukan keamanan untuk mengendalikan Aceh lewat “Operasi Jaring Merah”. Aceh pun dikenal sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Operasi ini menimbulkan korban tidak sedikit, tak hanya lelaki, juga perempuan dan anak-anak, bahkan hewan. Dalam beberapa kasus, hewan pun ditembak – entah salah apa mereka.

images (73).jpeg

Kamp-kamp konsentrasi untuk penyiksaan, apa yang mereka sebut anggota GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), bermunculan. Salah satunya adalah Rumoh Geudong yang berada di sebuah kecamatan di Kabupaten Pidie. Bagi masyarakat Aceh, mendengar nama Rumoh Geudong, bulu kuduk mereka langsung bergidik. Tempat ini punya daya cekam luar biasa.

Memang, dalam sebuah operasi militer, selalu yang dimunculkan adaah daya cekam. Ini demi membangun ketakutan bagi masyarakat, bagi sasaran operasi itu agar mereka tunduk dan tidak melawan. Tapi rupanya, daya cekam yang dibangun di Aceh justru tidak berhasil memaksa GAM turun gunung, justru membuat perlawanan mereka makin massif, makin agresif.

Di lain pihak, di kalangan masyarakat, korban-korban terus berjatuhan, terutama para perempuan yang suaminya dituduh atau menjadi pemberontak. Mereka, para perempuan itu, adalah sosok-sosok yang rela menyerahkan “dadanya” demi menyelematkan sang suami. Meskipun tak semua perempuan yang menjadi korban kekerasan suaminya terlibat sebagai pemberontak.

Banyak seniman dan penulis, termasuk penulis sastra, yang berteriak untuk menggugat tragedi itu. Zubaidah Djohar, misalnya. Lewat puisinya “Pulang Melawan Lupa”, ia berteriak keras-keras terhadap berbagai persoalan seputar konflik, terutama menyangkut soal perempuan. Buat Zhu, begitu ia disapa, perempuan sebetulnya korban utama dari konflik dimaksud.

Betapa tidak. Jika para lelaki, yang mengangkat senjata untuk memberontak, menjadi korban atau tewas tertembak dalam sebuah pertempuran adalah sebuah konsekwensi dari laku dan sikap politik yang mereka pilih. Tapi perempuan? Mereka adalah sosok-sosok pasif, yang tidak terlibat langsung dalam konflik itu, kecuali mereka “terkutuk” karena mempunyai suami yang memberontak.

“Dosa-dosa” politik suami mereka itulah yang dipaksa ditanggung oleh para perempuan di Aceh. Mereka kerap dipaksa, dengan berbagai teror, termasuk pemerkosaan, untuk menyebutkan di mana suami mereka bersembunyi. Tentu saja itu sesuatu yang tak masuk akal. Mana mungkin sang suami menceritakan kepada sang isteri di mana mereka bersembunyi.

Kekonyolan-kekonyolan semacam itulah yang membuat banyak korban sia-sia di Aceh. Itu belum lagi kekonyolan salah tangkap, juga karena fitnah, membuat seseorang bisa diambil malam-malam, lalu “disekolahkan”, dan tidak pernah kembali. Kata “sekolah” dalam konteks konflik di Aceh, ketika itu, adalah sebuah terminologi yang langsung memberi konotasi kematian.

Seandainya tsunami tak datang pada 2004, barangkali hingga kini jumlah korban masyarakat sipil, yang tidak terkait langsung dengan konflik, masih terus berlangsung. Syariat Islam, yang mulai diberlakukan di Aceh pada 2001, yang diharapakan meredam konflik di Aceh, ternyata bukanlah obat yang jitu. Justru formalisme semacam itu menciptakan persoalan baru di sana.

Tentu, “Pulang Melawan Lupa” tidak semata wacana untuk menggugat persoalan lampau, tetapi upaya refleksi buat kita kini. Ia mengajak kita untuk kembali pada diri, pada kemurnian hati dan pikiran, pada akal sehat, pada kenyataan riil hari ini yang perlu diselesaikan. “Pulang” adalah sebuah perlawanan terhadap realitas, terhadap persoalan yang belum selesai, di Aceh.

Jakarta-Malang, 2012
MUSTAFA ISMAIL


Posted from my blog with SteemPress : http://musismail.com/pulang-sebagai-sebuah-perlawanan/

Coin Marketplace

STEEM 0.36
TRX 0.12
JST 0.039
BTC 70223.87
ETH 3561.28
USDT 1.00
SBD 4.73