Setiap Rupiah Berharga

in #story6 years ago (edited)

anneworner_chicago_ohare_pc_reflections_ricohgr_airport_architecture-517734.jpg

 

Saat itu hujan. Memang selalu hujan di Bogor.

Itu yang orang luar Bogor suka katakan, biasanya diikuti oleh 'he he,' seolah-olah di tempat asalnya tidak ada hujan. Lagi pula, tidak setiap hari hujan turun di Bogor. Meski, setiap kali dia ke Kebun Raya selalu disambut oleh hujan.

Mereka berlindung di kursi plastik di bawah tenda yang didirikan untuk Festival Burung lusa. Untunglah Festival itu belum dimulai. Burung-burung yang basah akan membisu kedinginan, menolak berkicau di tengah kerumunan orang yang sibuk memonyongkan bibir bersiul-siul nyaris menjerit.

Tidak ada anak-anak sama sekali di sini hari ini. Terima kasih kepada kalender pendidikan yang belum mengizinkan sekolah manapun memulai libur akhir tahun ajaran..

Jadi hanya mereka berdua, Didit dan Mila. Berjalan berdampingan dengan kaki berlumuran berlumpur dan emosi yang buruk.

Kalau saja Armando tidak mati.

Dia selalu membawa pengaruh yang baik untuk mereka berdua. Kucing itu memang sudah tua. Tetapi karena takdir tak menginginkan Armando ikut berlibur dengan mereka, maka sekarang dia mungkin sedang mengejar-ngejar tikus di surga para kucing. Surga kucing yang di mana-mana terdapat segala macam ikan dan daging lengkap dengan makanan kucing kalengan impor.

Armando tua tersayang.

Mila merindukan hembusan napasnya yang lembap, rasa hangat karena kucing itu menggosok-gosokkan tubuhnya ke betisnya ...

Didit pasti merindukannya juga, meskipun dia tidak akan mengakuinya.

Seorang lelaki mendekati mengayun-ayunkan payung hitam besar terbalik dan bersiul tanpa nada. Dari gayanya menunjukkan seorang pelatih atau pemain golf profesional.

"Mungkin seorang pelatih atau pemain golf profesional," kata Didit.

“Mungkin juga.”

Mengapa mereka tidak berbicara hal lain, misalnya tentang bicara satu sama lain? Terakhir kali ...

"Apakah kita tidak sebaiknya memesan minuman, setidaknya secangkir teh hangat?" Tanya Mila.

"Untuk apa? Kita baru saja makan siang satu jam yang lalu. Uang tidak gampang."

Mila tak pernah menganggap Didit kikir. Setidaknya di masa lalu. Tapi kini dia menghitung setiap rupiah yang dikeluarkan.

"Setiap rupiah berharga," katanya selalu.

“Apalagi untuk anak,” dia akan menjawab untuk membuat Didit emosi. "Anak hanya pemborosan."

"Karena itu aku tak pernah ingin punya anak."

Begitulah. Didit tidak menyukai anak-anak, dan sepertinya mereka tidak akan memiliki anak sendiri. Jika saja itu terjadi, Didit menganggap mereka akan hidup dalam lingkaran setan kebutuhan yang tak putus-putus.

Jadi mereka duduk di sana, di bawah tenda, saling diam. Beberapa orang yang basah kuyup menerobos tirai hujan yang tak juga turun.

Sampai saatnya Kebun Raya tutup. Didit menutup rapat jaketnya dan Mila menaikan tudung sweaternya, kemudian berlari-lari menuju area parkir.

"Mengapa dulu aku tidak menerima lamaran Iwan?" pikir Mila. Tapi sekarang sudah terlambat.

Dia harus menghabiskan akhir pekan yang basah di Bogor bersama Didit.

Didit yang menghitung setiap detik yang mereka lalui dan setiap rupiah yang dikeluarkan.

 

Bandung, 15 Mei 2018

Image source

Sort:  

👍👍👍

Teurimong gaseh, bang @kakilasak 😊

Telah kami upvote,ala kadar/Secuil kontribusi kami sebagai witness di komunitas Steemit Indonesia.
Follow me At @alexste

Teurimong gaseh @alexte

pelit, tapi mau dibawa kemana rupiah yang berharga itu nanti yaa?

Tulah. Ntah mau dibawak ke kerkof

Coin Marketplace

STEEM 0.29
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 63855.79
ETH 3113.00
USDT 1.00
SBD 4.04