Menggenang Kisah Pilu Teunku Putroe Safiatuddin Cahaya Nur

in #story6 years ago

image

Source image

Beberapa hari yang lalu masyarakat Aceh dikejutkan dengan berita duka atas meninggalnya Teunku Putroe Safiatuddin Cahya Nur Cahya Nur Alam binti Tuanku Raja Ibrahim bin sultan muhammad daud syah, yang meninggal di rumah anaknya di Mataram, lombok, NTB pada 6 Juni 2018, Pukul 06.45 Wita. Dan dimakamkan disamping makam ayahnya Tuanku Raja Ibrahim di pemakaman raja raja Aceh di Baperis Banda Aceh, Provinsi Aceh.

Berdasarkan tulisan yang saya kutip dari Dr. M Adli Abdullah, SH, MCL Salah Pemerhati Sejarah dan Budaya Aceh, menceritakan Kisah Tengku Putroe Safiatuddin yang terlunta lunta sampai ke Mataram Lombok, juga dialami oleh ayah beliau yaitu Tuanku Raja Ibrahim yang juga hidup luntang lantung bersama ayahnya Sultan Muhammad Daudsyah (1878-1939) dari Aceh sampai ke Batavia.

Kisah keluarga sultan Aceh terlunta lunta dari dulu sampai hari ini dimulai sejak K Van Der Maaten menyandera dan menangkap isteri sultan Muhammad Daud Syah, Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul Majid, bersama anaknya Tuanku Ibrahim, pada tanggal 26 November 1902, di Gampong Glumpang Payong Pidie, untuk memaksa Sultan Muhammad Daud Syah menyerah pada Belanda.

Pada masa itu Gubernur Sipil dan Militer Van Heutsz mengultimatum; “Jika dalam sebulan Sultan menolak menyerah, maka anak dan istrinya dibuang dari Aceh. ”Sultan yang berada di Keumala turun menghadap Belanda pada 10 Januari 1903 setelah bermusyawarah dengan para penasihatnya.

Pada 20 Januari 1903, Sultan dibawa ke Kuta Radja (Banda Aceh) untuk dipertemukan. Dalam pertemua dengan Gubernur Aceh Jenderal Van Heutz, Sultan menandatangani nota perdamaian dengan Belanda. Pada 24 Desember 1907 Pemerintah Hindia Belanda membuang Sultan, isteri, anaknya Tuanku Raja Ibrahim, Tuanku Husin, Tuanku Johan Lampaseh, pejabat Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abas ke Ambon.Hingga tahun 1918, mereka dipindahkan ke Batavia dan menetap di Jatinegara. Sultan meninggal di sana pada 6 Februari 1939 tanpa pernah bisa kembali ke Aceh.

Parahnya seluruh kekayaannya dirampas dan dijadikan milik colonial Belanda sesuai dengan asas hukum perang Reght Van Over Winning (H.C. Zentgraaff:1981 ).Anak Sultan Muhammad Daud Syah yang sulung, Tuanku Raja Ibrahim, kehidupannya cukup beragam. Misalnya ke Belanda karena Ratu Wilhelmina ingin berjumpa dengan sang Raja Muda ini. Ratu kemudian memberinya pangkat letnan kepada Tuanku Raja Ibrahim.

Pada waktu Jepang menjajah Indonesia pada 1942-1945, Kaisar Jepang memerintahkan melalui kementerian Luar Negeri Jepang dan mengutus jenderal Shaburo I I no dengan stafnya mencari keturunan Sultan Aceh Muhammad Daudsyah. Dia bertemu dan diterima secara resmi dengan Tuanku Raja Ibrahim di Lameulo, Pidie pada 1943. Atas dasar Kaisar Jepang teringat atas surat ayahnya yang dikirim pada Kaisar Jepang. Segera setelah Jepang menang perang melawan Rusia pada tahun 1905, di Selat Tsushima.

Surat ini menjadi salah satu sebab Sultan Muhammad Daudsyah dibuang dari Aceh pada tahun 1907 dan tidak kembali sampai akhir hayatnya. Pangeran muda ini menjadi kawan dekat Seokarno waktu kecil. Saat itu, Soekarno memanggilnya “Bram” bahkan salah satu nama anaknya sama dengan nama salah satu anak Soekarno “Sukmawati.”Namun ketika Soekarno menjadi penguasa di Indonesia pada masa orde lama. Dia melupakan Tuanku Raja Ibrahim pada teman seperjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.

Agaknya ada kekhawatiran Soekarno bahwa sang pangeran ini menuntut pemulihan haknya semisal Yogyakarta yang secara penuh mendapatkan berbagai “keistimewaan” hingga hari ini. Dapat dikatakan bahwa ayah Megawati ini tidak hanya berkhianat Tuanku Ibrahim, tetapi dengan rakyat Aceh. Sukarno tidak menepati janjinya yang diucapkan di depan Teungku Daud Beureueh dan teman-temannya pada 1948. Akibatnya Daud Beureueh kecewa dan menuntut Soekarno dengan pemberontakan berdarah yang diproklamirkannya pada 21 September 1953.

Tuanku Raja Ibrahim, Sang Raja Muda ini terus menemani ayahnya di Jakarta dan pulang ke Aceh pada tahun 1937 padahal ayahnya melarang. Di tanah kelahirannya, raja muda ini kawin dengan Pocut Hamdah Putri Ampon Syik Keumangan Beureunuen. Mereka dikarunia dua putri. Ada beberapa istrinya dan terakhir dengan Pocut Manyak yang dikaruniai empat putera/puteri. Jumlah anak seluruhnya yaitu 16 orang anaknya. Dan bekerja sebagai Mantri tani di Pidie dan pensiun pada tahun 1960.

Walaupun putra mahkota, hidupnya sangat sederhana karena seluruh harta pribadi ayahnya dirampas oleh Belanda dan pembesar-pembesar Aceh yang bekerjasama dengan Belanda. Putra Sang Raja ini, menetap di sebuah perkampungan kecil Lampoh Ranup, Lamlo Pidie, dan hidup dari uang pensiun Rp 9.000 dengan 16 anaknya (Baca Majalah Tempo, 1976). Tentu ini sangat berbanding terbalik dengan keturunan yang pernah bekerja sama dengan Belanda. Dimana mereka menikmati sekian pengaruh dan keistimewaan di dalam kehidupan sehari-hari.

Pada pertengahan tahung 1975 atas inisiatif Tuanku Hasyim, SH (Kepala Kaum Alaidin) dan Tuanku Abbas, BA (mantan Kepala DEPPEN RI di Banda Aceh) menjemput tuanku Raja Ibrahim dan keluarga dari Kota Bakti dibawa ke Banda Aceh. Kemudian atas jasa dan bantuan Gubenur Daerah Istimewa Aceh Muzakir Walad dan dukungan anggota DPRD Waktu H. Yahya Luthan. Pemerintah Aceh meminjami rumah hak pakai tipe 45 di Jl. Teungku Cot Plieng No 18 dengan Surat Keputusan No 100/1976 dengan ketentuan rumah tersebut ditempati selama hidup beliau.

Pada tahun 1975, Sultan Hamengkubuwono IX ikut prihatin pada nasib Tuanku Raja Ibrahim. Dengan menggunakan pengaruhnya dia berusaha agar ada tambahan pendapatan bagi Tuanku Raja Ibrahim. Akhirnya, Tuanku mendapat tambahan Rp 5.000 dari Pemda dan Rp 1.500 dari Departemen Dalam Negeri. “Bila saya telah tiada, rumah ini harus dikembalikan”, ujar Abang. “Eh, toh, semua itu saya terima” (Baca Majalah Tempo 1976).

Semasa hidupnya, menurut anaknya Tuanku Raja Yusuf, mempunyai satu keinginan yang belum terlaksana yakni ke Jakarta menziarahi makam sang ayah Sultan Muhammad Daudsyah. Tetapi karena kehidupan ekonomi yang begitu sulit, sang cita-cita pangeran ini tidak kesampaian sampai menemui ajalnya pada 31 Maret 1982. Dia dimakamkan di pemakaman keluarga raja-raja di Baperis. Tuanku Raja Ibrahim meninggalkan 16 anaknya yakni Tengku Putroe Safiatuddin, Teungku Putroe Kasmi Nur Alam, Tuanku Raja Zainal Abidin, Teungku Putri Rangganis, Tuanku Raja Ramaluddin, Teungku Putroe Sariawar, Tuanku raja Mansur, Tuanku Raja Djohan, Tuanku Raja Iskandar, Teungku Putroe Sukmawati,Tuanku Raja Syamsuddin, Tuanku Raja Muhammad Daud, Tuanku Raja Yusuf, Tuanku Raja Sulaiman, Teungku Putroe Gambar Gading, Tuanku Raja Ishak Badruzzaman.

Begitulah sekilas kisah getir keluarga istana Aceh, yang saat ini rakyat Aceh hanya bisa berbangga-bangga; ketika para peneliti bangga dengan sejarah kerajaan Aceh Darussalam, yang istananya tidak berbekas lagi karena sudah dihancurkan belanda, aset istana dijadikan milik KNIL yang sekarang seluruh aset KNIL sudah menjadi milik TNI. Kekuasan dan harta dirampas oleh Belanda, dan hidup keluarga sultan karena tidak mau menyerah pada musuh, hidupnya terlunta lunta.

Tampaknya kisah keluarga istana Aceh ini pun bisa dianalogkan pada nasib Aceh dewasa ini, yaitu merasa perlu dikasihani. Dimana pengkhianatan dan pelecehan kekuasaan adalah bukti kelemahan kerajaan Aceh. Sultan Aceh tidak hanya dikhianati oleh Eropa tetapi juga oleh bangsanya sendiri. Tentu, kita tidak ingin menjadikan ini sebagai isu kemana kita mencari pemimpin sekarang. Sebab siapapun yang akan atau sedang memimpin Aceh, pasti akan mendapatkan sikap-sikap pengkhianatan atau pelecehaan kekuasaan setelah mereka tidak berkuasa. Kisah pahit keluarga Sultan menjadi lecutan sejarah kepemimpinan Aceh.

Bedanya, Tuanku Ibrahim dan anak anaknya masih menyisakan semangat kepemimpinan Aceh yang tanpa menyerah walaupun hidupnya terlunta lunta di negeri orang.

Akhirnya saya ucapkan al fatihah kepada arwah keluarga besar istana Aceh dan para seluruh syuhada Aceh kuhsusan kepada Tenku Putro Safiatuddin (bunda Putro) yang telah kembali keharibaanNya hari ini, Semoga Allah mengampuni dosa dosanya selama hidup dialam dunia dan dilipat gandakan amal baiknya, dilapangkan kuburnya di alam barzah dan di yaumil akhir kelak, selamat jalan bunda!.

Adapun sumber berita Ini saya di https://kliksatu.co.id/2018/06/06/nestapa-istana-aceh/

By: @iskandarishak

SALAM KOMUNITAS STEEMIT INDONESIA

image

image

FOLLOW - UPVOTE - RESTEEM

Sort:  

lnnalillahi wainna ilaihi rajiun,,smua kt akn kmbali
slm ukhwah

Coin Marketplace

STEEM 0.29
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 63457.41
ETH 3119.12
USDT 1.00
SBD 3.94