Enam Nota Habib Abdurrahman Kepada Pemerintah Belanda Terkait Perang Aceh

in #story5 years ago (edited)

Setelah menyerah kepada Belanda dengan sejumlah upeti, Habib Abdurrahman az Zahir mantan Mangkubumi Kerajaan Aceh yang diasingkan ke Mekkah, membuat usulan kepada Belanda tentang persoalan Aceh dalam bentuk enam nota.

Habib Abdurrahman az Zahir bertemu dengan Snouck Hurgronje di kantor Konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Saran-saran untuk perdamaian Aceh disampaikan dalam tulisan berbahasa Arab kepada Snouck. Ada enam poin yang disampaikan Habib Abdurrahman az Zahir kepada Pemerintah Belanda.

berposedidepanbivakmeureudu COLLECTIE TROPENMUSEUM.jpg
Para perwira Belanda bepose di bivak Meureudu Sumber

Habib Abdurrahman az Zahir menjelaskan, nota yang disampaikannya itu merupakan bentuk keikhlasannya dan perasaan tulus bersahabat kepada Pemerintah Belanda untuk pemecahan masalah Aceh.

Pertama, ia menyarankan agar di Aceh diangkat seorang pemimpin dari kalangan rakyat Aceh sendiri dengan kriteria, orang yang alim, yang mempunyai keunggulan pribadi, kaum bangsawan, yang mempunyai keahlian dalam bidang pemerintahan. Sehingai ia bisa menjadi pelaksana tugas Pemerintah Hindia Belanda dengan gelar raja atau wali raja dan semacamnya, untuk memerintah rakyat Aceh atas nama Pemerintah Hindia Belanda.

Kedua, orang yang seperti itu seharusnya unggul karena perasaan baik yang tulus terhadap Pemerintah Hindia Belanda, dan selaku memperhatikan maksud-maksudnya, agar selalu dapat melaksanakan pemerintahan sesuai dengan pandangan Pemerintah Hindia Belanda.

Ketiga, setelah Pemerintah Hindia Belanda yakin terhadap kemampuan orang tersebut dalam memerintah, dan melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, maka Pemerintah Hindia Belanda dapat mengeluarkan surat-surat perintah kepada semua penguasa dan kepala pemerintahan di Aceh bahwa untuk pemerintahan dalam negeri mereka harus mematuhi pemipin yang ditunjuk tersebut (raja atau wali raja yang diangkat Belanda).

800px-Strijd_om_de_Mesigit-ilustrasi perang di mesjid raya.jpg
Strijd om de mesigit, ilustrasi perang jarak dekat pasukan Belanda dengan pejuang Aceh di depan Masjid Raya Baiturrahman yang menewaskan Jendral JHR Kohler Sumber

Empat, kepada raja atau wali raja yang diangkat Belanda tersebut, ditetapkan syarat serta pengeluaran perintah dan peraturan kepadanya dalam rangka kerja sama dengan satu dewan yang disusun oleh penduduk yang terdiri dari kalangan ulama dan orang-orang terkemuka.

Lima, kewenangan raja atau wali raja itu harus diuraikan dengan teliti dalam suatu peraturan, dan penetapannya dilakukan melalui surat pengangkatan, agar ia tidak melewati batasannya dengan tindakan-tindakan pribadi.

Keenam, jabatan raja atau wali raja yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda itu sebagai pelaksana hukum agama dan hukum keduniaan harus dijunjung tinggi dengan cara yang bijak dan adil. Agar ia menjadi penolong dan tempat bertanya bagi penduduk dalam segala urusan dan kepentingan. Dengan demikian akan timbul rasa aman dalam masyarakat, dan penduduk yang lari akibat perang akan kembali, sehingga industri, pertanian dan perdagangan berjalan kembali untuk kemakmuran.

Pandangan Habib Abdurrahman az Zahir itu disampaikan kepada Snouck Hurgronje, dan meminta kepada Snouck untuk menerjemahkanya dari bahasa Arab ke bahasa Belanda, dan disampaikan kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Nota bertulis tangan itu dibuat Habib Abdurrahman pada 8 Muharam 1302 Hijriah atau bertepatan dalam bulan Oktober 1884 Masehi.

Di bagian akhir surat nota itu juga dibumbuhi materai di atas nama Habib Abdurrahman az Zahir dan cap sebagai pelaksana pemerintah pada Pemerintah Aceh. Namun, nasihat Habib Abdurrahman az Zahir itu empat tahun kemudian baru sampai ke tangan Pemerintah Belanda atau setelah 15 tahun perang Aceh dengan Belanda berkecamuk.

kohler tertembak di depan masjid raya.jpg
Lukisan tertembaknya Panglima Perang Belanda Jendral JHR Kohler di depan Masjid Raya Baiturrahman Sumber

Usulan Habib Abdurrahman az Zahir ini kemudian sebagian dijalankan oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Aceh, dengan mengangkat Uleebalang-Uleebalang baru yang pro kepada Belanda di berbagai wilayah di Aceh.

Sultan Aceh Sultan Muhammad Daod juga melakukan hal yang sama, mengangkat para Uleebalang yang setia kepadanya di berbagai wilayah untuk melanjutkan perang melawan penjajahan Belanda.

Maka, sering terjadi pada masa itu satu wilayah dipimpin oleh dua Uleebalang, yang satu pro kepada Belanda yang satunya lagi setia kepada Sultan. Salah satunya seperti terjadi di Keureutoe, Aceh Utara. Suami pertama Cut Meutia yakni Teuku Syamsyarif merupakan Uleebalang yang diangkat oleh Belanda.

Cut Meutia kemudian menceraikan (fasakh) Teuku Syamsyarif yang dianggapnya sebagai lelaki lemah karena menerima penjajahan. Ia kemudian menikah dengan Teuku Cut Muhammad alis Teungku Chik Di Tunong Uleebalang yang setia kepada Sultan Muhammad Daod dan terus memerangi Belanda.

Sort:  

memang gawat that apa raman nyan...

Kiban han gawat, setiap bulan dapat dana pensiun dari Holanda setelah ia membelot dari Aceh.

Coin Marketplace

STEEM 0.35
TRX 0.12
JST 0.040
BTC 70601.11
ETH 3576.21
USDT 1.00
SBD 4.78