Kisah Perkebunan Tembakau Deli Maatschappij dan Upaya Belanda Masuk ke Aceh

in #story5 years ago

Sejak 1863 Belanda sudah menduduki Deli. Sultan Deli melakukan hubungan langsung dengan Belanda di Batavia. Satu pintu untuk masuk ke Aceh mulai terbuka bagi Belanda.

Ketika Belanda sudah berkuasa di Deli, seorang pengusaha swasta Belanda, J Nienhuijs membuka perkebunan tembakau di sana. Tahun 1864 ia sudah berhasil mengexspor tembakau Deli pertama ke negeri Belanda dengan kualitas yang istimewa dan harga tertinggi pada masa itu.

J Nienhuijs memperoleh keuntungan besar dari perkebunan tembakaunya di Deli. Empat tahun kemudian, yakni pada tahun 1870, ia mendirikan Deli Maatschappij perusahaan perkebunan pertama yang modern di Hindia Belanda.

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Het_hoofdkantoor_van_de_Deli_Maatschappij_in_Medan_TMnr_60022222.jpg
Kantor Deli Maatschappij, perusahaan tembakau Belanda di Medan Sumber

Dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 membuat Selat Malaka sangat strategis sebagai jalur perdagangan dunia. Belanda yang sudah lebih 2,5 abad menguasai nusantara, sangat ingin menguasai Selat Malaka. Satu-satunya sandungan untuk itu adalah Kerajaan Aceh di ujung Sumatera yang menjadi pintu sebelah barat Selat Malaka.

Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Ibrahim Alfian menjelaskan, posisi Aceh yang sangat strategis dan memainkan peranan penting dalam perdagangan internasional itu, ingin direbut oleh Belanda. Pada tahun 1871 Belanda mengirim kapal Jambi untuk menyelidiki ujung-ujung pantai dengan maksud agar di tempat itu dapat didirikan menara api pantai (mercusuar), dan meneliti dangkal dalamnya perairan pantai, serta ingin mengetahui keadaan politik di Kerajaan Aceh.

Belanda juga mengirim sebuah kapal ke Selat Malaka dengan alasan untuk memberantas bajak laut, dan memaerkan keuasaannya di pantai timur dan utara Kerajaan Aceh. Tapi provokasi Belanda itu tidak ditanggapi Kerajaan Aceh.

Karena itu pula, diplomat Belanda yang dikirim ke Kerajaan Aceh tidak mendapat sambutan yang bagus. Dalam pertemuan di atas geladak kapal Jambi pada 27 September 1871, Perdana Menteri Kerajaan Aceh, Habib Abdurrachman menegaskan kepada Belanda bahwa, jika Pemerintah Hindia Belanda ingin melakukan kerja sama dan bersahabat dengan Aceh, maka Belanda harus mengembalikan kepada Kerajaan Aceh wilayah-wilayah daerah taklukan Kerajaan Aceh yang telah dicaplok. Daerah-daerah itu antara lain: Sibolga, Barus, Nias, Singkil dan kerajaan-kerajaan kecil di Sumatera Timur.

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Tabaksfermenteerschuur_van_binnen_met_bossen_van_de_loodsdroge_tabak_Vorstenlanden_TMnr_10011741.jpg
Para pekerja di tempat pengeringan tembakau Deli Maatschappij Sumber

Keberhasilan Belanda membangun perkebunan tembakau modern di Deli juga menarik perhatian beberapa daerah lainnya. Pada tahun 1872 Raja Trumon di Aceh Barat dan Raja Idi di Aceh Timur menyatakan keinginannya untuk mengakui kedaulatan Belanda. Pada tahun yang sama, Belanda juga menahan kapal Gipsy milik Raja Simpang Ulim, Teuku Paya dengan tuduhan melakukan perompakan.

Sejak itu ketegangan antara Kerajaan Aceh dengan Pemerintah Kolonial Belanda semakin memuncak. Belanda terus melakukan provokasi di Selat Malaka dan mencari alasan untuk menyerang Aceh. Akibatnya, diplomat Belanda yang kembali dikirim ke Aceh pada Mei 1872 tidak diterima dan gagal bertemu dengan Raja Aceh dan para pejebat kerajaan.

Belanda merasa dipermalukan, karena diplomatnya ditolak. Selanjutnya pada Oktober 1872 Pemerintah Hindia Belanda menyatakan keinginan kepada Sultan Aceh untuk mengirim sebuah komisi yang diketuai oleh Residen Riau, untuk menyelesaikan beberapa hal yang menyangkut kepentingan kedua belah pihak.

Pada Desember 1872 Sultan Aceh mengirim utusan diplomasi ke Residen Riau yang diketuai oleh Panglima Muhammad Tibang yang menegaskan bahwa keinginan Belanda itu untuk ditunda kedatangannya ke Aceh selama beberapa bulan, sebab Kerajaan Aceh juga sudah mengutus diplomatnya ke Turki dan menanti hasil diplomasi utusannya ke Constatinopel tersebut.

Ketika kembali dari Riau, pada 25 Januari 1873, para diplomat Aceh singgah di Singapura dengan alasan ingin membeli kapal uap untuk kepentingan perdagangan. Tapi di balik misi membeli kapal uap itu, para diplomat Aceh mengadakan hubungan dengan Konsulat Amerika dan Italia, membicarkan kerja sama pertahanan.

Arifin, mata-mata Belanda di Singapura.jpg
Tengku Muhammad Arifin, mata-mata Belanda di Singapura Sumber

Konsul Amerika di Singapura telah menyanggupi kerja sama tersebut. Sebuah naskah kerja sama sudah disiapkan, kapal perang Amerika yang berada di Hongkong juga diperintahkan untuk menuju Aceh. Kerja sama ini kemudian diketahui oleh Belanda, adalah Tengku MUhammad Arifin putra mahkota Moko-Moko mata-mata Belanda di Singapura yang menjadi penerjemah Panglima Tibang yang membocorkan kerja sama pertahahan Aceh-Amerika tersebut.

Mengetahui hal itu Belanda merasa sudah selangkah ditinggalkan Kerajaan Aceh. Peristiwa itu disampaikan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia dan Pemerintah Kerajaan Belanda di Nederland. Akhirnya, sebelum armada Amerika benar-benar sampai ke Aceh, pada 18 Februari 1873, Pemerintah Belanda di Nederland memerintahkan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda, James Loudon agar mengirim kekuatan bersenjata untuk menginvasi Aceh.

Maka pada 26 Maret 1873 Belanda memproklamirkan perang terhadap Kerajaan Aceh. Dan selama 69 tahun kemudian Belanda terus berperang di Aceh, sebelum mereka meninggalkan Aceh pada tahun 1942. Hal yang oleh penulis Belanda Paul van ‘t Veer disebut sebagai perang yang paling menguras tenaga dan dana Kerajaan Aceh. menurut Paul van ‘t Veer, Aceh merupakan daerah terakhir yang diinvansi oleh Belanda di nusantara, tapi daerah pertama yang ditinggalkannya.

Coin Marketplace

STEEM 0.26
TRX 0.11
JST 0.033
BTC 64999.89
ETH 3101.81
USDT 1.00
SBD 3.87