Lanjutan Kisah Koloni Belanda dan Nasib Tragis Kurir Jendral Van Swieten #2 [Habis]

in #story5 years ago

Jendral Van Swieten menjalankan tak-tik diplomasinya, kembali mengirim kurir untuk mengantar surat kepada Raja Aceh Sultan Alaiddin Mahmudsyah. Di sinilah kisah tragis kurir tua asal Jawa itu bermula.

Kisah ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya, yang disadur dari buku Tjerita-Tjerita dari Negeri Atjeh yang ditulis oleh Letnan JP Shoemaker dan diterbitkan di Batavia pada tahun 1891 oleh penerbit G Kolff & Co.

bivak perwira lam sayeugn.jpg
Perwira Belanda berpose di Bivak Sayeung Sumber

JP Schoemaker menceritakan, sebelumnya pada 1 September 1873, Jendral Van Swieten sudah menulis surat untuk Raja Aceh, Sultan Alaidin Mahmudsyah. Dalam surat tersebut jendral Belanda itu mengatakan bahwa pasukan kompeni tidak bisa dilawan, karena itu Sultan Aceh diminta untuk bersahabat dengan Belanda.

Jendral Van Swieten juga meminta Raja Aceh agar tidak mendengar nasihat dari orang-orang di sekelilingnya yang mau perang saja, tapi juga harus mempertimbangkan kepentingan ekonomi jika bersahabat dengan Belanda dan perang bisa dihindari. “Jikalau Tuan mau bersahabat, lekas kirim pesuruh (utusan) tuan untuk kita dengar kehendaknya,” tulis Jendral Van Swieten.

Selain itu kata Jendral Van Swietan dalam suratnya, jika nanti perang terjadi juga, maka orang-orang Belanda yang ditangkap agar tidak dibunuh, tapi dipelihara dengan baik sebagai tawanan perang. Ini ditegaskan Van Swieten karena pengalaman sebelumnya, sudah banyak serdadu Belanda yang patroli di luar wilayah koloni hilang dan dibunuh orang Aceh, begitu juga dengan pengantar suratnya yang tak pernah bisa kembali kepadanya.

Namun Jendral Van Swieten juga mengancam, kalau penyerangan dan pembunuhan terhadap serdadu-serdadu Belanda di sekitar wilayah koloni masih terjadi, maka pasukan Kompeni akan membunuh penduduk Aceh pria dan wanita serta anak-anak di wilayah terjadi penyerangan itu, rumah penduduk dan kampungnya juga akan dibakar.

Patroli serdadu belanda.jpg
Patroli serdadu Belanda mengarungi sungai di pedalaman Aceh Sumber

Awalnya surat Jendral Van Swieten itu hendak dikirim kepada Sultan Alaiddin Mahmudsyah melalui seorang Uleebalang di wilayah XXV Mukim yang bernama Radja Moeda Setia, karena ia sudah mulai bersahabat dengan kompeni. Tapi uleebalang itu tidak berani, ia takut akan dibunuh, nasibnya akan sama dengan pengantar surat sebelumnya.

Katanya, sejak Belanda memproklamirkan perang kepada Kerajaan Aceh pada 26 Maret 1873, tak ada lagi kompromi bagi rakyat Aceh, selain berperang total, kalau Belanda mau bersahabat dengan Kerajaan Aceh dengan posisi yang setara, antara Kerajaan Belada dengan Kerajaan Aceh, maka Pemerintah Kerajaan Belanda harus mencabut maklumat perang itu dulu, baru urusan lainnya bisa diselesaikan di meja perundingan, karena itulah surat-surat Jendral Van Swieten itu tidak pernah dijawab oleh Sultan Alaiddin Mahmudsyah.

Kemudian perwira Belanda bernama Kapten Vervloet mengajukan diri kepada Jendral Van Swieten untuk menjadi kurir pengantar surat itu kepada raja Aceh, tapi Van Swieten menolak, mungkin ia tak mau perwiranya itu mati di tangan orang Aceh. Ia kemudian mengorbankan seorang pembantunya untuk tugas tersebut.

Pembantu Jendral Van Swieten itu merupakan pria Jawa yang sudah berusia 70 tahun, namanya Mas Soema Widikdjo. Kakek ini sudah lama mengikuti Jendral Van Swieten di berbagai daerah, seperti di Bali, Bone, dan kini di Aceh.

Menurut Letnan JP Shoemaker pria Jawa itu sudah berpengalaman menjadi kurir pengantar surat Jendral Van Swieten di mana saja ia bertugas. “Dan lagi sebab ia Islam juga, kulitnya hitam, kiranya tuan jendral orang Aceh barang kali tidak begitu benci, seperti benci mereka kepada orang kulit putih Belanda,” tulis Letnan JP Shoemaker.

20180513_192847.jpg
Kelompok pejuang Aceh di balik rimbun ilalang Sumber

Pada tanggal 22 Desember 1873, Mas Soema Widikdjo pergi membawa surat Jendral Van Swieten untuk Sultan Alaiddin Mahmudsyah. Saat mengantar surat itu ia didampingi oleh seorang Melayu bernama Ma-Asrah dan tiga orang Jawa bernama mas Kerto Soediro, Soeroe Melangi dan Raden Toegoh. Sebagai penunjuk jalan mereka meminta bantuan seorang penduduk etnis Tionghoa di Peunayong.

Namun nasib Mas Soema Widikdjo dan rekannya itu juga sama dengan kurir pengantar surat sebelumnya, dibunuh sebelum sampai menghadap raja Aceh untuk menyerahkan surat itu. Seorang mata-mata yang mengikuti perjalanan para kurir pengantar surat itu bercerita kepada Jendral Van Swieten bahwa Mas Soema Widikdjo dan kawan-kawannya disiksa dengan sadis sebelum dibunuh.

Mendengar itu darah Van Swieten mendidih, hal seperti itu belum pernah dialaminya di tempat mana pun. Tapi ia juga sadar untuk segera memerangi Aceh juga bukan perkara mudah. Bila di daerah lain perlawanan terhadap Kompeni hanya dilakukan dengan senjata tradisional, lain dengan Aceh yang kala itu sudah memiliki persenjataan modern yang mampu mengimbangi alat-alat senjata Belanda.

Meriam-meriam besar asal Turki di benteng rakyat Aceh di Peualnggahan yang mocongnya diarahkan ke bivak Belanda di Peunayong cukup memberi jawaban bagi Jendral Van Swieten bahwa ia kini benar-benar sedang menghadap bangsa yang tidak kenal kompromi dengan lawan.

Sort:  

Habis tentang koloni belanda dan nasib tragis kurir jenderal van switen, tapi masih ada lanjutan kisah lainnya,benar begitu pak Is ?

Posted using Partiko Android

Benar, masih banyak kisah yang harus kita tulis sebagai pelajaran bagi generasi zaman now Bu @nurmalaalibasyah

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.11
JST 0.033
BTC 64275.05
ETH 3147.49
USDT 1.00
SBD 4.29