Overste Van Huetsz dan Kisah Balas Dendam Perempuan Aceh

in #story6 years ago

Jangan pernah menyakiti perempuan Aceh, kalau tak ingin celaka. Balas dendam perempuan Aceh lebih kejam dari apa pun, bahkan terhadap suaminya sendiri. Ia akan bersekutu dengan musuhnya dan musuh suaminya sendiri untuk menghabisinya.

Bagi perempuan Aceh, lebih baik mati dari pada menanggung beban perasaan. Sikap perempuan Aceh yang seperti itu, pernah membuat para petinggi militer Hindia Belanda di Aceh geleng-geleng kepala.

Penulis Belanda HC Zentgraaff dalam buku Atjeh mengungkapkan, perempuan Aceh dikenal bukanlah perempuan lemah. Mereka berdiri tegak bersama pria dalam setiap peperangan melawan penjajahan Belanda. Tapi dalam kasus-kasus tertentu, ketika hatinya terluka, perempuan Aceh juga akan sangat berbahaya bukan hanya bagi musuh, tapi juga bagi suaminya sendiri.

Suatu ketika, seorang perempuan muda Aceh, datang menjumpai komandan pasukan Belanda di bivak Samahani. Dia menawarkan diri untuk menunjuk tempat persembunyian suaminya, seorang pria pejuang terkenal di Gampong Ara Tunong (VII Mukim Baet) yang sudah lama dicari marsose Belanda.

Bagi Zentgraaff sikap perempuan Aceh ini suatu kejanggalan. Aneh dan jarang terjadi. Sama seperti kaum pria, perempuan Aceh adalah penentang tangguh Belanda. Tapi kali ini aneh, seorang perempuan ingin menunjukkan lokasi persembunyian suaminya. Pasti ada hal curang tak tak termaafkan yang telah dilakukan suaminya itu.
bivak.jpg
Van Heutsz di bivak Nanggroe, Pidie (kini Naroe Pidie Jaya) ketika masih berpangkat Kolonel. [Repro: The Dutch Colonial War In Aceh]

Maka menghadaplah perempuan tadi ke komandan bivak. Ia tidak mau berbicara pada yang lain, selain hanya pada komandan. Perempuan itu kemudian dibawa ke Indrapuri menjumpai Overste Van Huetsz. Di sana percakapan dengan perempuan itu diterjemahkan oleh Letnan Boon pejabat kontrolir Indrapuri yang kelak menjadi Komisaris Kepala Kepolisian di Surabaya.

Ketika perempuan itu tiba di kediaman Van Huetsz, di sana sedang berkumpul beberapa pejabat tinggi militer Belanda. Zentgraaff menulis. “Nyata benar, betapa dengan keanggunan seorang wanita yang sadar siapa dia sesungguhnya, tanpa rasa takut dan rendah diri sedikit pun, pergi menghampiri Overste, memberi hormat dengan membungkuk badan sedikit.”

Manyor Otken yang berada di sana malah memujinya. “Alangkah cantiknya wanita ini.” Kemudian Letnan Sachse menambahkan. “Chaque pouce une reine –langsing bagaikan pohon cemara.”

Begitulah para perwira Belanda memuji kecantikan perempuan Aceh itu. Tapi Zentgraaff tak menyebut nama perempuan tersebut. Ia hanya mendeskipsikan perempuan itu, bentuk tubuhnya mengagumkan, langsing bagai pohon cemara, indah dan anggung, kepalanya tegak, matanya awas memandang sekelilingnya.
Zentgraaff.jpg
HC Zentgraaff [Foto: Collectie Tropenmuseum]

Kepada Van Huetsz perempuan Aceh itu berkata, dia ingin suaminya mati. Sebuah skenario disusun, perempuan Aceh itu disuruh pulang ke kampungnya. Malam hari ketika suasana benar-benar gelap, pasukan marsose akan menuju ke sana. Perempuan itu diminta untuk menunjukkan jalan ke tempat persembunyian suaminya.

Setelah skenario disepakati, perempuan itu berjabat tangan dengan Van Huetsz dan pamit pulang, tanpa mengubris para perwira Belanda lainnya di sana yang juga ingin berjabat tangan dengannya.

Letnan Boon selaku penerjemah percakapan itu hanya melongo, tak digubris sama sekali padahal ia ingin salaman. Begitu juga dengan Mayor Otken, sambil senyum ramah tamah bangkit dari duduknya menghampiri perempuan itu dan menjulurkan tangannya untuk berjabat, tapi juga tak digubrisnya.

“Begitulah perempuan itu meninggalkan tempat tersebut, dikawal di sebelah kiri oleh Bauduin, berjarak ganggang sepadi agak di belakanganya, meninggalkan suasana charme atau pesona wanita ayu. Suatu kodrat dari “l’ternal feminim,” puji Zentgraaff.

Tapi, pada malam yang dijanjikan itu, perempuan tersebut tidak berada di tempat yang dijanjikan, di mana pasukan marsose telah menantinya. Itu terjadi karena penjelasan Letnan Boon selaku penerjemah kurang dapat dipahami, karena kemampuan Letnan Boon berbahasa Aceh sangat terbatas. Atau bisa jadi itu hanya sebuah jebakan dari pejuang Aceh dengan menggunakan perempuan anggun itu sebagai pancingan.

“Pihak kita (Belanda-red) tidak pernah mengetahui dengan jelas, namun penampilan wanita Aceh yang cantik dan berani, yang jarang terjadi itu, lama tertinggal dalam kenangan semua orang kita,” lanjut Zentgraaff.
Jendral Van Huetz.jpg
Van Heutzs ketika sudah berpangkat Jendral [Repro: The Dutch Colonial War In Aceh]

Namun, beberapa tahun kemudian peristiwa serupa terjadi di Lamlo, Pidie. Sekitar jam sebelas malam, seorang perempuan muda berdiri di depan bivak marsose pimpinan Boreel. Perempuan itu berkata ingin berjumpa dengan komandan. Maka Boreel yang sudah tidur dibangunkan.

Perempuan itu mengaku sebagai istri salah seorang pemimpin gerilayawan pejuang Aceh. Seorang pria yang sudah lama dicari-cari oleh Belanda. Kepada Boreel perempuan itu berkata sanggup menunjukkan tempat persembunyian suaminya itu. Pasalnya, ia kandung sakit hati telah disingkirkan, karena suaminya kawin lagi. Ia akan menggunakan tangan Belanda untuk menghabisi suaminya yang sedang bulan madu dengan istri mudanya itu.

Namun Boreel tak mudah percaya. Pinggang perempuan Aceh itu diikat dengan tali, disuruh berjalan di depan dalam gelap malam menelusiri hutan dan semak belukar, menuju ke rumah istri muda suaminya itu. Jelang subuh pasukan marsose pimpinan Boreel tiba di rumah yang dituju.

Boreel dan pasukannya berdiri di halaman rumah itu. Ketika sudah terang, Boreel berteriak meminta pria yang disebut Zentgraaff “Pang Anu” itu untuk turun menyerahkan diri, karena rumah istri mudanya itu sudah di kepung.

Sekilas kemudian tampak jendela di buka, lelaki itu mengintip dari jendela. Kemudian dengan pedang terhunus menuju pintu, meloncak dari tangga ke halaman, menyerang pasukan marsose seorang diri. Namun, sebelum kakinya menyentuh tanah, beberapa peluru bersarang di tubuhnya. Ia diberondong oleh pasukan Boreel.

Sebelum lelaki “Pang Anu” itu menghembuskan nafas terakhir, perempuan itu berlari ke arahnya, berkali-kali menendang tubuh suaminya yang sudah tak berdaya itu sambil berteriak. “Nyoe buet kee—ini perbuatanku.” Balas dendam seorang istri yang sungguh di luar dugaan.

Sort:  

Sadiiisss.... Han ta jeut macam macam Nye munan... Hahahaha

Oooooo bek meuayang @shofie ngon inong Aceh, asai meulanggeh laju ditampa.

Coin Marketplace

STEEM 0.28
TRX 0.11
JST 0.034
BTC 66396.53
ETH 3174.43
USDT 1.00
SBD 4.15