Tenggelamnya Pasukan Letnan de Kok di Krueng Sampoiniet

in #story6 years ago

Menulis tentang siasat perang Aceh tak pernah habisnya. Salah satunya adalah tentang keberhasilan pejuang Aceh menenggelamkan 45 marsose bersenjata lengkap di Krueng Sampoiniet di Aceh Utara.

Seperti banyak kejadian penyergapan pasukan marsose lainnya. Peristiwa ini bermula dari perang mata-mata dan berita hoax yang memancing lawan untuk masuk perangkap. Siasat itu dirancang oleh Pang Nanggroe, karena kelicikan siasat dan taktik perangnya, Belanda menjuluki suami ketiga Cut Mutia itu dengan panggilan “Napoleon Aceh.”

Alkisah, sebagaimana diceritakan mantan serdadu Belanda di Aceh, HC Zentgraaff dalam buku Atjeh, suatu malam pada 20 November 1902, Letnan P.R.D de Kok dan pasukannya singah di pasar Sampoiniet. Di sana mereka membahas rencana patroli dan jalur yang akan dipakai untuk menyergap pasukan Pang Nanggroe.

Dalam gelap malam itu, seorang mata-mata Pang Nanggroe menyelinap, mendengar detil setiap rencana itu. Malam itu juga berita tersebut sampai ke Pang Nanggroe. Tapi ia tak yakin dengan itu. Bisa saja itu hoax, mereka membicarakan siasat A, tapi kemudian melakukan tindakan B.
letnan de kok.jpg
Letnan P.R.D de Kok [Repro: The Dutch Colonial War In Aceh]

Untuk memastikan itu, pagi-pagi sebelum Letnan de Kok dan pasukannya berangkat operasi, tersiar kabar bahwa pasukan Pang Nanggroe ada di seberang sungai Sampoiniet. Seperti Pang Nanggroe yang tak mudah percaya setiap informasi baru, begitu juga Letnan de Kok. Ia mengutus mata-matanya ke sana. Hasilnya, falid, kelompok pejuang Aceh memang terlihat lalu lalang di sana.

Berangkatlah Letnan de Kok bersama 45 marsose yang dipimpinnya itu. Namun, ketika sampai di sana, 21 November 1902, hari sudah gelap. Kelompok pejuang Aceh itu tidak tampak lagi. Beberapa penduduk memberitahu bahwa pasukan Pang Nanggroe sudah bergerak jauh melewati sungai itu.

Letnan de Kok yang sudah lama memburu Pang Nanggroe, tak ingin tangkapannya itu menghilang begitu saja. Ia akan membawa pasukannya ke seberang sungai untuk menangkap apa yang disebutnya sebagai “ikan besar” itu.

Empat orang penduduk diminta mendayung dua perahu ke seberang sungai di bawah todongan senjata. Letnan de Kok dan 45 marsose itu naik kedua perahu tersebut. Ia meminta lelaki pendayung perahu itu mempercepat laju perahu.

Namun, tiba-tiba dalam remang malam, satu tembakan terdengar. Lalu, “bruuuuk” keempat lelaki pendayung di kedua perahu itu menendang lantai perahu sekuat tenaga, sesuai kode tembakan tadi, kemudian terjun ke sungai. Perahu itu bocor. Mereka memanfaatkan kepanikan de Kok dan pasukanya itu untuk membalikkan kedua perahu itu. Secepat kilat mereka kemudian menghilang dalam air.
perahu marsose.jpg
Pasukan marsose menggunakan perahu [Repro: The Dutch Colonial War In Aceh]

Bukanlah perkara mudah bagi keempat mereka menenggelamkan 45 marsose itu. Satu berbanding 11 begitulah perbandingannya. Ketika perahu itu sudah terbalik, pasukan Letnan de Kok yang panik ditembaki dari seberang sungai. Ternyata Pang Nanggroe dan pasukannya tidak meningalkan kawasan itu, sebagaimana informasi yang diterima Letnan de Kok di seberang sungai, yang ternyata berita hoax sebagai pancingan. Dan keempat pendayung itu, merupakan orang-orang pilihan dari pasukan Pang Nanggroe, yang berhasil melaksanakan siasat itu dengan baik.

Pada halaman 149 buku Atjeh HC Zentgraaff menulis. “Dengan isyarat tembakan dari seberang sungai, awak-awak perahu bangsa Aceh tersebut membalikkan perahu-perahu tadi, dan mereka meloloskan diri dengan berenang ke pinggir sungai. Seluruh anggota pasukan itu tenggelam di sungai, 42 senapan hilang, 28 orang marsose mati.”

HC Zentrgraaff menilai peristiwa itu sebagai salah satu karya besar dari siasat perang Pang Naggroe. Dan masih banyak lagi serangan-serangan frontal yang dilakukan Pang Nanggroe dan pasukannya itu.

Ia mencontohkan, seperti penyerangan terhadap patroli marsose sebelumnya, pada Juni 1902. Saat itu ia bersama Teungku Chik Di Tunong, suami kedua Cut Mutia menyergap sebuah datasemen pasukan infrantri Belanda yang dipimpin Van Steijn dan Parve di Meunasah Juroe, Simpang Ulim, Aceh Timur.

Dari keterangan mata-mata Teungku Chik Di Tunong diketahui bahwa 30 marsose kelompok Van Steijn akan melakukan pengawalan konvoi angkutan. Sampai di kawasan alang-alang Gampong Meunasah Juroe, konvoi itu diserang. Marsose jadi kucar-kacir dan melarikan diri, bersembunyi di semak-semak. Delapan marsose tewas, belasan luka-luka.

Sisa-sisa pasukan yang kocar-kacir itu coba dikumpulkan lagi oleh seorang serdadu Eropa bernama Fortier. Tapi semuanya sudah terlambat, sampai kemudian bantuan 40 tentara marsose pimpinan Van Geel Gildmeester tiba ke sana. Tapi pasukan Teungku Chik Di Tunong dan Pang Nanggroe sudah menghilang.

Begitulah Teungku Chik Di Tunong dan Pang Nanggroe saling membantu dalam peperangan. Malah, ketika Teungku Chik Di Tunong dieksekusi mati oleh Belanda pada 5 Maret 1905 di Pantai Lhokseumawe. Ia berwasiat kepada Cut Mutia, istrinya, agar menikah dengan Pang Nanggroe untuk melanjutkan perjuangannya.

Cut Mutia tak lama-lama berduka atas kematian Teungku Chik Di Tunong. Selepas masa idah, ia langsung menjalankan wasiat suami keduanya itu. Dan, ia siap melanjutkan perjuangan bersama suami ketiganya; Pang Nanggroe si Napoleon Aceh.
cut mutia.jpg
Lukisan Cut Mutia karya A.B Rooseno, 1994, tapi entah mengapa pada lukisan ini Cut Mutia dibuat tanpa penutup kepala. [Repro: Prominet Women In The Glimpse of History]

Sort:  

Sejarah yang penting dan membangkitkan semangat juang untuk generasi penerus seperti ini kok tidak ada di kurikulum pendidikan kita ya, bang?

Terima kasih sudah berbagi ilmu dan sejarah. Tabek.

semoga menteri pendidikan mau memasukkannya ke kurikulum nasional ya bro

Jangan banyak berharap @azwarrangkuti nanti kecewa. baca saja apa yang sudah ditulis si penjajah Belanda. Untung ada Belanda yang menulisnya untuk kita, maka kita tahulah sejarah seperti itu.

Masalahnya Belanda menulisnya untuk generasi mereka sendiri, Bang. Supaya mereka tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa yang akan datang, jika sewaktu-waktu sejarah kembali terulang. Duh, tapi kita ambil hikmah dan pelajaran juga walaupun yang tulis Belanda.

@azwarrangkuti: Cek Gu, gimana ini? Kalau ada ikut workshop tentang kurikulum, tolonglah dibantu sampaikan ini.

Betul, mereka menulis untuk kepentingan mereka, tapi setidaknya kita bisa mengambil sarinya, memisah ampasnya, hingga menemukan benang merah dari sejarah itu sendiri. Tidak boleh telan mentah-mentah, cari referensi bandingan. Begitu Rakan @iqbaladan dan Cek Gu @azwarrangkuti

Terimakasih juga kepada @iqbaladan yang sudah singgah dan membaca blog saya. Jangan berharap cerita seperti ini ada daam buku sejarah Indonesia, kita malah menemukannya dalam buku sejarah yang ditulis oleh Belanda. Tugas kita sekarang untuk menulisnya kembali.

Tugas kita sekarang untuk menulisnya kembali.

Betul itu, bang. Merupakan tugas kita untuk menulis dan menceritkan kembali sejarah ini kepada generasi yang akan datang.

Yuk mari tulis kembali, sambil merevitalisasi spirit dari perjuangan itu untuk mengisi hari depan, agar sejarah tidak menjadi dongeng.

Berkali-kali Pang Nanggroe membuktikan diri sebagai ahli siasat yang sangat jitu. Dan yang paling konyol tapi jenius adalah taktik kenduri.
Pantaslah beliau dijuluki Napoleon dari Aceh

Ya brader @lamkote taktik kenduri itu sungguh gila, mengorbankan rumah dan makanan enak demi memancing si kaphe. Tapi itu setara dengan putusnya leher si penjajah itu.

Nyan keuh, sungguh saya tak naik pikir, darimana beliau dapat ide se aneh itu aduen @isnorman

Mungkin dari pengalaman melihat kebiasaan patroli marsose yang merazia sampai ke dalam rumah. Maka dibuatlah siasat itu untuk memancing si kapten Chistoffel itu dan pasukannya naik ke rumah, masuk perangkap dan the end.

Luar biasa. Krak

Ha ha ha shengkiyu @muhajir.juli ka troh neusaweu long. Inan lah leubeh krak. lam umpueng markas steemit. Saleum keu rakan-rakan acehtrent.

Coin Marketplace

STEEM 0.34
TRX 0.11
JST 0.034
BTC 66361.53
ETH 3253.14
USDT 1.00
SBD 4.43