Tipologi Suporter Aceh

in #story5 years ago

image

Sepakbola merupakan permainan terfavorit di dunia, tanpa terkecuali Aceh. Salah satu instrumen terpenting dalam sepakbola adalah suporter (penonton), yang terbagi dalam tiga klasifikasi secara umum. Ada yang fanatik, ada yang standar, pun ada yang hanya sekadar ikut-ikutan.

Pertanyaan kemudian adalah, bagaimana tipologi suporter sepakbola di Aceh? Selama saya tumbuh dan menyaksikan tumbuh kembangnya sepakbola di bumi Serambi Mekkah, suporter sepakbola Aceh itu unik. Di Aceh, para suporter yang resmi dengan tanda memiliki id card, terbilang sedikit. Yang paling banyak adalah pencinta sepakbola tanpa legal formal dengan ID, baik SKULL, The Poemeurah, Laskar Aneuk Nanggroe (LAN), Juang Mania, Pase Mania, dst.

image

Pada dasarnya, masyarakat Aceh mencintai klub secara etnografi. Mereka yang di Bireuen akan mendukung PSSB, di Lhokseumawe mendukung PSLS, di Singli mendukung PSAP, tentu yang di Banda Aceh mendukung Persiraja. Tetapi, saat tim mereka tidak berlaga, ia akan mendukung tim yang berlanga di sebuah kompetisi. Untuk tahun 2018, Aceh United dan Persiraja lah dua klub Aceh yang sudah masuk babak delapan besar Liga 2 Indonesia. Mereka berjuang masuk empat besar demi tiket lolos ke kasta tertinggi sepakbola Indonesia, Liga 1.

Apakah mereka seutuhnya mendukung hanya faktor etnosentris? Itu juga tidak baku. Masih segar dalam ingatan saya, dulu saat kecil ada dua klub Aceh yang sering saya saksikan langsung, PSLS dan PSSB. Di tribun saya menyaksikan orang dewasa di awal laga langsung meneriakkan semangat untuk tim Aceh. Tapi, saat tim Aceh bermain buruk, entah itu serangan yang kendor atau kerap melakukan kesalahan elementer seperti passing, langsung disumpah-serapahi.

image

Sering kalimat: "Ka teubit keudeh, sep bangai ka meu en. Sapu han keumah" (keluar sana, bodoh kali main. Gak bisa apa-apa). "Pu hana pemain laen? Han sep poding, loyo!" (Apa tidak ada pemain lain? Gak cukup poding, loyo!). Dan sederetan kata kasar seperti teumeunak keluar dari suara lengking nan parau. Tak jarang, bila umpatan itu tidak dikonversikan dalam bentuk permainan yang baik dan layak, suporter di Aceh tak segan mendukung tim lawan.

Di sinilah celah bagi tim lawan untuk menarik hati suporter Aceh. Bahkan, segar dalam ingatan saya, saat Liga (saya lupa entah 3 atau 2) tim tamu sebelum laga membagikan sovenir untuk penonton. Misalnya, melempar beberapa kaos yang masih berplastik kepada penonton. Bila ini dilakukan di awal, dan permainan tim Aceh buruk, besar kemungkinan tim lawan akan mendapatkan dukungan. Dukungan diberikan bukan karena kaos, tetapi kekecewaan terhadap suguhan di lapangan hijau.

image

Pada dasarnya, menonton sepakbola di Aceh adalah bagian dari menikmati hiburan. Sebab, tak ada lagi hiburan yang mendebarkan, murah lagi meriah selain sepakbola. Bagi orang Aceh, kemenangan itu penting. Tapi ketika bermain sangat buruk, itu sama dengan mengkhianati waktu yang diluangkan masyarakat Aceh untuk menyaksikan hiburan. Pun sama, seperti merampok harapan mereka yang sudah dibangun sedemikian rupa dari rumah hingga tiba di stadion.

Tadi, Kamis (1/11) fenomena ini kembali kentara saya saksikan dan nikmati. Persiraja menghadapi lawan tangguh, PSS Sleman. Tuan rumah lebih dulu tertinggal 0-1 di babak pertama. Kondisi tertinggal membuat mentalitas pemain Persiraja tertekan, akibatnya kesalahan passing kerap terjadi. Salah satu pemain yang bermain di bawah performa pada pertandingan tadi adalah gelandang berkarakter uranium asal Papua, Viktor Pae. Maka, penonton menyoraki, salah satunya adalah: "Ka peuteubiet keudeh! Ka puwoe bak set!" (Keluarkan sana! Pulangkan dia ke tempat asal!).

image

Keresahan suporter tampaknya ditangkap oleh Pelatih Persiraja, Akhyar Ilyas. Ia pun ditarik keluar dan digantikan Rizki Nasution. Sejak masuknya jebolan PPLP Aceh itu, aliran bola di lini tengah Persiraja jauh lebih leluasa mengalir. Hal tersebut berdampak pada serangan pantang menyerah yang terus dilancarkan. Syukur, Persiraja berhasil membalikkan kedudukan menjadi kemenangan 2-1. Dua gol diciptakan Zamrony dan Andre Abubakar.

Selain itu, suporter di Aceh juga mudah tergoda dengan pemain sepakbola dari tim tamu yang notabene memiliki nama besar. Sebut saja mantan striker timnas Indonesia, Cristian 'El Loco' Gonzales yang tadi bermain sebagai ujung tombak PSS Sleman. Usai laga, suporter turun ke lapangan untuk mengajaknya berselfie ria. Untuk yang ini, saya rasa wajar. Di banyak daerah terjangkit virus yang sama. Bagi sebagian suporter, mendapatkan kesempatan mengabadikan momen dengan pemain bintang lima merupakan kebanggaan tersendiri.

image

Di luar itu semua, suporter di Aceh pantang dikecewakan. Saya berikan contoh. Saat Aceh United berpindah kandang dari Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh ke Stadion Cot Gapu, Bireuen. Masyarakat Bireuen tanpa PSSB langsung mendukung tim yang presidennya adalah putra Bireuen, M Zaini Yusuf. Selain terkenal fanatik terhadap sepakbola, masyarakat Bireuen mendukung Aceh United juga karena narasi di putaran ke dua yang dibawa adalah Aceh United adalah tim yang paling banyak pemain berdarah Aceh.

Saat putaran babak delapan besar bergulir, kejutan terjadi. Aceh United memboyong 12 pemain baru, yang 11 diantaranya adalahantan pemain Blitar United. Di laga perdana, Aceh United yang banyak memainkan pemain Blitar United ditahan imbang Kalteng Putra dengan skor 2-2 di Stadion Cot Gapu. Hasil itu merupakan hasil seri pertama sejak Aceh United bermarkas di Bireuen. Lalu, beberapa orang yang saya hubungi mengaku kecewa karena sudah tidak banyak lagi pemain Aceh yang jadi pilihan.

image

Kalimat dari tribun terdengar begini: "Hana le awak Aceh, Jawa mandum meu en. Chit tok taloe gara-gara i puwoe penyakit dum" (Tidak ada lagi 'pemain' Aceh, Jawa semua yang dimainkan. Kalah itu gara-gara yang dibawa pulang penyakit semua). Mungkin terdengar agak rasis, tapi begitulah beberapa suara keluar. Kenapa hal itu terjadi, karena Aceh United sudah membranding diri sebagai tim lokal dengan pemain lokal yang dominan. Dan itu resiko

Bagi saya tidak masalah siapapun pemainnya. Dalam kontestasi sepakbola modern, kemajemukan para pemain itu biasa. Tapi ketika orang Aceh didengungkan dengan narasi demikian, dan tiba-tiba berbeda, akibatnya fatal. Bagi yang paham industri sepakbola (Indonesia) sesungguhnya mengerti. Tapi tidak semua suporter sampai pada tingkatan itu.

image

Terakhir, suporter di Aceh mulai tumbuh dewasa lagi cerdas. Dalam pertandingan Persiraja vs PSS Sleman, di babak kedua seorang suporter melempar air dalam plastik ke benc pemain lawan, hampir saja mengenai pelatihnya. Melihat tindakan tersebut, sontak semua penonton berdiri dan memaki. Mereka kesal sebab ulah oknum itu yang 'provokator' merugikan tim, didenda 50 juta rupiah.

Sang oknum pun disoraki ramai-ramai untuk dikeluarkan dari stadion. Bahkan ada yang nyeletuk agar oknum tersebut dikasih pelajaran (dipukul). Pihak panitia cepat tanggap dan langsung mengamankan oknum tersebut. Melihat kejadian itu, saya merasa lega, ada kemajuan dari suporter Aceh. Ada rasa memiliki untuk klub Aceh. Pun ada keinginan agar sepakbola tetap pada koridornya. Mengedepankan fair play, saling menghormati tanpa harus ada tindakan yang tidak patut. Menyoraki tidak harus rasis, mendukung bukan berarti anarkis dan mencintai sebenarnya hanya perlu menjadi suporter yang tertib.

Sort:  

Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq

ulasan yg mantappp...

Terimakasih Bang.

Coin Marketplace

STEEM 0.24
TRX 0.11
JST 0.032
BTC 62187.20
ETH 3051.46
USDT 1.00
SBD 3.79