---

The monologue of Nyai Ontosoroh played by Happy Salma actress is well known and performed several times in several cities in Indonesia. Happy Salma was considered successful in presenting a bold and assertive female figure in Pramoedya Ananta Toer's tetralogy of Bumi Manusia.

I was fortunate to be able to watch Nyai Ontosoroh staging when I got an invitation at the Ubud Writer and Reader Festival in Bali, in 2012. The opportunity was also for me to say thank you directly to Happy Salma who was willing to make my novel endorsement, 693 KM Jejak Gerilya Sudirman. Previously, we only communicated via text message on the phone.

I have no insight into theater and monologue despite joining the theater while studying at the Syiah Kuala University State Polytechnic (now Lhokseumawe State Polytechnic) from 1993-1996. Together with poets Nurdin Supi and a number of other students, we formed a theater studio Ekspresi Mahasiswa Politeknik, Polytechnic Student Expression (X -MAP). But I did not really explore theater as it explored literature.

So, I feel that I do not have the capacity to assess the quality of Happy Salma's monologue in delivering Nyai Ontosoroh. But I could overhear the complaints of national TV station reporters about Happy Salma's motion that only stared at one corner now and did not explore the stage. This is different from an attractive and communicative presentation while inviting laughter in Cok Sawitri's monologue.

---

---

When reading the agenda of the monologue staging Tjut Nyak Dhien by actress Sha Ine Febriyanti, I did not find a schedule in Banda Aceh. The monologue was performed in 10 cities in Indonesia such as Surabaya, Bandung, Solo, Makassar, Medan, and several other cities. Not only monologue staging, Ine Febriyanti also held discussions and workshops on theater in the cities that she visited from April 27 to September 1, 2018. Appreciation came from various parties to actresses who have extraordinary creativity and energy to bring people closer to various backgrounds and various ages with theater arts.

Ine Febriyanti prepared himself seriously to realize the strong character of Tjut Nyak Dhien, a national hero from Aceh who was exiled to Sumedang, West Java, by the Dutch during the colonial period. As told to reporters after staging in Padang Panjang, West Sumatra, Ine did many things such as visiting the tomb of Tjut Nyak Dhien in Sumedang, exploring the character of Tjut Nyak Dhien from an original source in Aceh, to studying the human character of Aceh in the colonial period anthropologically. No wonder then he looks like an Acehnese woman while on stage. Not only is it able to speak sentences in Aceh fluently, but in terms of gesture and characteristics, Ine is truly able to present the figure of Tjut Nyak Dhien, at least that's the result of curating a number of observers in the mass media.

So, why didn't Tjut Nyak Dhien stop in Aceh in the roadshow section in 10 cities in Indonesia? Actually, Banda Aceh actually had the honor of being the location of the first performance, long before the roadshow was held in 10 cities in Indonesia. However, the presence of Tjut Nyak Dhien's monologue in Aceh remains important given the changing form of the performance, in addition to many Acehnese who did not have time to watch it at the time. In appearance in 10 cities, monologue Tjut Nyak Dhien was increasingly interesting with the synergy between the strength of the role and the power of digital technology that made the audience able to watch monologues without monotony.[]

---

---

---

Tjut Nyak Dhien tak Singgah di Aceh

Monolog Nyai Ontosoroh yang diperankan aktris Happy Salma sudah cukup dikenal dan beberapa kali dipentaskan di beberapa kota di Indonesia. Happy Salma dinilai berhasil menghadirkan sosok perempuan yang berani dan tegas dalam tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.

Saya beruntung bisa menyaksikan pementasan Nyai Ontosoroh saat mendapatkan undangan di Ubud Writer and Reader Festival di Bali, pada 2012 silam. Kesempatan itu juga saya juga untuk mengucapkan terima kali secara langsung kepada Happy Salma yang bersedia membuat endorsement novel saya, 693 KM Jejak Gerilya Sudirman. Sebelumnya, kami hanya berkomunikasi lewat pesan singkat di telepon.

Saya tidak memiliki wawasan tentang teater dan monolog meski sempat bergabung dengan teater ketika kuliah di Politeknik Negeri Universitas Syiah Kuala (kini Politeknik Negeri Lhokseumawe) pada 1993 – 1996. Bersama penyair Nurdin Supi dan sejumlah mahasiswa lain, kami membentuk sanggar teater Ekspresi Mahasiswa Politeknik (X-MAP). Tapi saya tidak sungguh-sungguh mendalami teater sebagaimana menyelami sastra.

Jadi, saya merasa tidak memiliki kapasitas menilai kualitas monolog Happy Salma dalam membawakan Nyai Ontosoroh. Tapi saya sempat mencuri dengar keluhan wartawan stasiun TV nasional tentang gerak Happy Salma yang hanya menatap ke satu sudut kini dan kurang mengekplorasi panggung. Ini berbeda dengan penampian atraktif dan komunikatif sekaligus mengundang tawa dalam monolog Cok Sawitri.

---

---

Ketika membaca agenda pementasan monolog Tjut Nyak Dhien oleh aktris Sha Ine Febriyanti, saya tidak menemukan jadwal di Banda Aceh. Monolog itu dipentaskan di 10 kota di Indonesia seperti Surabaya, Bandung, Solo, Makassar, Medan, dan beberapa kota lain. Bukan hanya pementasan monolog, Ine Febriyanti juga menggelar diskusi dan workshop tentang teater di kota-kota yang disinggahinya sejak 27 April sampai 1 September 2018. Apresiasi datang dari berbagai pihak kepada aktris yang memiliki kreativitas dan energi luar biasa untuk semakin mendekatkan masyarakat dari berbagai kalangan dan berbagai usia dengan seni teater.

Ine Febriyanti mempersiapkan diri dengan serius untuk mewujudkan karakter kuat Tjut Nyak Dhien, pahlawan nasional asal Aceh yang diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, oleh Belanda pada masa penjajahan. Seperti disampaikan kepada wartawan seusai pementasan di Padang Panjang, Sumatera Barat, Ine melakukan banyak hal seperti mengunjungi makam Tjut Nyak Dhien di Sumedang, menggali karakter Tjut Nyak Dhien dari narasumber asli di Aceh, sampai mempelajari karakter manusia Aceh di masa kolonial secara antropologis. Tak heran bila kemudian ia terlihat seperti perempuan Aceh ketika berada di atas panggung. Bukan saja karena bisa mengucapkan kalimat dalam bahasa Aceh dengan fasih, tetapi secara gestur dan karakteristik, Ine benar-benar mampu menghadirkan sosok Tjut Nyak Dhien, setidaknya begitulah hasil kurasi sejumlah pengamat di media massa.

Lantas, mengapa Tjut Nyak Dhien tak singgah di Aceh dalam bagian roadshow di 10 kota di Indonesia? Sebenarnya, Banda Aceh justru mendapat kehormatan sebagai lokasi pementasan pertama, jauh sebelum dilakukan roadshow di 10 kota di Indonesia. Namun, kehadiran monolog Tjut Nyak Dhien di Aceh tetap penting mengingat bentuk pementasan yang sudah berubah, selain banyak masyarakat Aceh yang tidak sempat menonton ketika itu. Dalam penampilan di 10 kota, monolog Tjut Nyak Dhien semakin menarik dengan adanya sinergisitas antara kekuatan peran dan kekuatan teknologi digital yang membuat hadirin bisa menonton monolog tanpa monoton.[]

---

---

---

---