Cerpen: Titian Patah

in #cerpen5 years ago

Satu lagi Cerpen lama kutemukan dalam folder komputerku, kisah tentang seorang anak yatim dan ibunya yang bergelut dengan hidup di titian patah. Ia membangun rakit nasibnya sendiri dari pada menyambung titian patah itu, hingga terpilih menjadi anggota dewan. Saya posting di sini mumpung lagi suasana Pileg. Selamat membaca dan jangan lupa komentarnya.

Titian Patah
Oleh: Iskandar Norman

Tidak mudah berdiri di atas kaki sendiri, setelah sekian banyak air mata, kini aku bisa tersenyum. Ya...anakku telah melewati titian patah itu dengan cucuran keringatnya.

Seandainya suamiku masih ada, dan titian itu tidak patah, tak harus anakku berlama-lama dalam peluhnya. Mengapa harus ada perbedaan antara dia dengan saudara-saudaranya, bukankah dalam nadi mereka mengalir darah yang sama, dari bin yang sama pula? Mereka sejatinya satu kekek, tapi takdir menduakannya.

Kadang sering aku menggugat Tuhan dalam doa-doa, tapi aku sadar bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Tuhan ingin melihat kesungguhanku. Sekian air mata pengantar bait-bait doa belum cukup terasa. Atau mungkin juga Tuhan ingin merawatku terus dalam ketaatan, karena bisa jadi hati ini bisa lalai ketika doa-doa itu direstui.

poor_Pixabay.jpg
ilustrai bocah miskin Sumber

Ketika derita yang kulalui bersama anakku ini terasa begitu berat. Aku akan selalu mengingat wasiat suamiku. “Jangan pernah keyatiman anakmu memberatkan orang lain.” Karena wasiat itu pula aku tidak ingin anakku dipandang sebagai beban bagi orang lain, meski atas nama kasihan.

Setelah sekian lama terjepit nasib, inilah cerita yang ingin kubagi. Bagaimana seorang anak yatim yang menolak kemiskinan sebagai takdirnya, meski ia tahu bahwa di seberang titian patah itu ada tumpukan harta yang sejatinya adalah hak warisnya.

Aku dan anakku telah berada di seberang titian patah itu setelah suamiku meninggal. Daripada menggugat titian patah itu, anakku lebih memilih membangun rakitnya sendiri untuk menyebrang sungai nasibnya. Tuhan mentakdirkannya untuk menang.

Pernikahanku dulu memang ditentang ibu mertua, tapi ayah suamiku merestuinya. Malah ketika kami menikah di mesjid kecamatan, ayah suamiku menepuk bahuku berkali-kali. “Semuanya akan baik-baik saja, ayah akan berusaha mendamaikan hati kami, yang penting hati kalian jangan pernah cerai berai,” katanya.

Namun, sebelum ayah bisa menundukkan hati ummi, Tuhan memangilnya untuk pulang. Sejak berpulangnya ayah itulah titian yang kami lalui mulai goyah. Aku dan suamiku harus pergi dari rumah karena tak tahan dengan sikap ummi. Segala fasilitas yang selama ini dimiliki suamiku ditarik kembali. Aku sangat terpukul ketika ibu mertuaku berkata pada suamiku. “Ingat Ruslan, di dunia ini tidak ada mantan ibu, yang ada mantan istri.”

Sebulan setelah itu suamiku hampir goyah. Hidup kami sudah sangat melarat. Tabunganku sudah habis untuk membayar kontrakan. Untuk makan kami harus dengan malu-malu menjadi pemulung. Aku katakan malu-malu karena pernah suatu kali suamiku berpapasan dengan kawannya harus membuang muka dan pura-pura tak pernah kenal.

Saat itu Tuhan benar-benar sedang menguji kami. Kehamilanku sudah memasuki bulan kedua, sementara kami tak tahu harus memberi apa untuk anak kami. Suamiku pulang ke rumah ummi ingin bedamai, tapi itu hanya bisa dicapai dengan satu syarat, bahwa aku harus ditinggalkan.

Sejak itu suamiku tak pernah lagi pulang ke rumah ummi. Ia tahu pintu telah tertutup. Dan hanya aku satu-satunya yang bisa membuka pintu itu. Aku ingin membuka pintu itu. Dengan terbata-bata dan air mata bercucuran, di malam dingin itu kukatakan pada suamiku bahwa aku sudah siap untuk diceraikan. Aku menyerah, aku tak punya apa-apa selain janim yang kukandung.

Bila dengan perceraian ini suamiku akan mendapatkan kembali kemapanannya bersama ummi, aku ihklas. “Tak ada dalil Tuhan yang membolehkan seorang suami menceraikan istrinya dalam keadaan hamil. Tak pernah terpikir olehku untuk urusan itu. Kau tetap istriku, sekarang dan selamanya,” kata suamiku dengan raut muka sendu. Dua bulir bening mengalir di pipinya. Ia palingkan wajahnya, karena memang ia tidak pernah mau aku melihatnya lemah.

Siang malam suamiku banting tulang untuk menghidupi kami. Ia tidak lagi memikirkan dirinya. Kadang kuperhatikan wajahnya ketika ia tertidur. Ketampanan yang dulu memikatku itu kini telah hilang. Hanya hati yang membuat kami terus bersama. Malam itu terbayang lagi di pelupuk mataku, bagaimana dulu ia merayuku dengan mesranya, entah dari kalimat milik siapa. “Aku akan terus mencintaimu sampai jelita berganti uban, dan kekar jadi renta.”

poor-child-Pixabay.jpg
8poor Child Sumber*

Suamiku mulai bekerja sebagai kondektur sodako. Angkutan dalam kota yang di tempat kami disebut labi-labi. Aku bahagia, suamiku tak mengangur. Setiap subuh ia sudah pergi dari rumah, bahkan kadang sebelum aku bangun. Ia baru pulang setelah magrib.

Meski pendapatannya hanya cukup untuk makan, aku sudah sangat bahagia. Aku yakin Tuhan punya rencana lain di balik ini semua. Suamiku selalu menyemangatiku.
“Jangan takut, setiap anak punya jatah rezeki dari Tuhan, hanya kita orang tuanya yang harus lebih gigih agar cepat mendapatkannya,” kata suamiku suatu malam ketika melihat kegundahanku. Ya, malam itu sampai jam berdenting dua kali aku belum bisa tidur.

Di lain waktu aku mulai mengeluh beberapa hal. Mungkin bawaan janim yang membuatku ngidam. Setiap malam keringatku bercucuran, hingga suamiku harus terus mengipas-ngipas badanku dengan potongan kardus bekas kemasan air mineral. Setiap malam badanku seperti terbakar. Aku mulai tak tahan, dan keluhanku semakin banyak saja. Hanya satu yang membuatku bisa melewati hari-hari dengan agak nyaman, meski hamil aku jarang mual-mual.

Ketika usia kandunganku sudah memasuki lima bulan, suamiku berkata bahwa menjadi kondektor sodako tak akan membawa perubahan. Ia akan ke pulau menjadi penebang kayu. Seorang kenalan mengajaknya ke sana setelah usaha penebangan kayu miliknya bermasalah karena pemerintah memberlakukan moratorium logging, sejak itu tak boleh lagi ada penebangan.

Tapi karena bisnis kayu sangat menjanjikan, ia main kucing-kucingan dengan pemerintah dan aparat keamanan. Ia mulai menebang di pulau yang ajak jauh dari keramaian. Suamiku akan ikut bersama beberapa penebang ke pulau itu.
“Kalau abang ke pulau bagaimana dengan saya?” tanyaku.
“Abang akan pergi dulu ke pulau bersama beberapa orang, setelah kami membuat tempat berteduh di sana, kami akan kembali satu-satu untuk menjemput keluarga. Ada beberapa orang yang juga akan membawa keluarganya.”

Ketika pergi, suamiku memberikanku uang lima ratus ribu rupiah. Katanya, itu uang pinjaman dari toke kayu yang mengajaknya ke pulau. Uang itu harus kucukup-cukupkan untuk menutupi kebutuhanku sampai suamiku pulang menjemputku.

Aku berharap dalam seminggu ia akan kembali. Tapi ternyata ayah anakku itu pulang lebih cepat. Ya... ia pulang berkenderaan keranda. Seseorang memberitahuku bahwa suamiku meninggal karena tertimpa cabang pohon yang ditebang kawannya. Pengurusan mayat suamiku diambil alih oleh adiknya. Sejak itu aku sudah tidak punya apa-apa lagi.

Suamiku yang sejatinya adalah titian penghubung antara anakku dengan keluarganya. Kini titian itu benar-benar patah. Kini aku dan janin yang kukandung dengan keluarga almarhum suamiku berada pada dua tebing terjal yang tak lagi terjembatani.

Aku terpuruk dalam kelamnya nasib. Berat beban yang kuhadapi, apalagi setelah keluarga suamiku menghakimiku sebagai perempuan pembawa petaka. Namun hidup harus terus dijalani. Berbekal uang duka dari toke kayu itu, aku kembali ke kampung halaman almarhum orang tuaku. Mulailah kumenapaki nasibku selangkah semi selangkah, meski pandangan miring juga masih dialamatkan untukku. Bagaimana tidak, aku yang gagal menyelesaikan kuliah di kota, kini kembali dengan badan hamil, tanpa didampingi suami pula.

Kadang aku sering meratapi nasib. Apalagi ketika anakku yang sata itu baru berusia dua tahun sakit. Aku hampir putus asa ketika suatu malam anakku menderita panas tinggi. Aku tidak tahu harus membawanya kemana, apalagi hujan sangat deras.

Aku benar-benar panik. Aku tidak tahu harus melakukan apa di tengah malam buta itu. Yang kumiliki hanyalah sedikit bubuk kopi dan gula. Orang bilang kopi bisa menurunkan panas dan mencegah step. Antara percaya dan tidak aku memberi anakku kopi. Entah kebetulan atau memang kehendak Tuhan, panas anakku berangsur-angsur turun.

Jalan yang kulalui saat itu memang sangat terjal. Tapi aku yakin, hanya orang yang pernah merasakan cadasnya lembah yang bisa menginjakkan kakinya di puncak. Sebagai orang tua tunggal aku patut berbangga, kini anakku sudah punya titian tersendiri dalam menjembatani nasibnya.

Aku hanya mampu menyekolahkannya hinggal sekolah menengah atas saja. Selebihnya ia belajar sendiri secara otodidak. Kesabaran dan keyakinannya dalam melakukan sesuatu membuat nasib ini benar-benar berubah.

Suatu sore anakku meminta izin untuk mencalonkan diri sebagai salah seorang calon anggota legislatif di tingkat kabupaten. Seorang pengurus partai nasional di kabupaten kami mengajaknya.

Awalnya aku ragu, karena untuk menjadi caleg itu butuh biaya besar, sementara kami hidup pas-pasan. Tapi anakku meyakinkanku bahwa itu bukan masalah. Semua biaya kampanye ditanggung pengurus partai. Anakku hanya calon yang diambil dari luar partai yang awalnya semata-mata hanya untuk memenuhi kuota saja.

anggota dewan.jpeg
Ilustrasi anggota dewan Sumber

Ya... anakku hanya jadi pelengkap saja diantara sederetan nama-nama caleg. Namanya juga berada pada nomor urut sembilan dari 12 caleg yang diajukan partai itu. Ketika itu kutanyakan padanya, ia kembali meyakinkanku bahwa nomor bukan masalah, karena yang dihitung perolehan suara caleg, bukan nomor urutnya.

Aku merestuinya dan terus mengetuk pintu Tuhan agar upaya anakku berbuah hasil. Sebulan setelah itu mulai kulihat spanduk kampanye berisi foto anakku terpasang di simpang jalan. Orang-orang meremehkannya, tapi itu pula yang menjadi semangatnya. Di luar perkiraan semua orang, anakku terpilih bersama dua calon lainnya dari partainya. Ia berada pada rangking kedua perolehan suara.

Sehari sebelum anakku diambil sumpahnya sebagai anggota dewan. Aku berkesempatan untuk bertemu dengan kawan-kawannya di partai. Aku ingin berterima kasih pada mereka yang telah mengorbit anakku.
“Bunda, ini pak Syahrul yang selama ini membantu saya.”

Aku berdiri bagai patung di depan lelaki itu. Nasib telah menertawakanku. Ingin kuberlari bersama anakku dari hadapan lelaki itu. Ingin kuberteriak bahwa ini hanya mimpi. Aku galau. Anakku heran melihat tingkahku.
“Bunda ini pak Syahrul yang sering saya ceritakan,” kata anakku lagi.

Aku masih berdiri tegak di depan lelaki itu. Begitu juga dengannya. Antara Syahrul dan aku tak keluar sepatah katapun, selain hanya saling menunduk. Air mataku mengalir, anakku semakin heran. Percakapan bukan satu-satunya cara untuk saling memahami, kebisuan juga mampu mendefinisan maknanya. Ya...kebisuan yang membawaku ke 25 tahun lalu dalam nestapa paling dalam di fragmen hidupku.

Syahrul itu tak lain adalah adik almarhum suamiku. Ia menjadi satu-satunya anak yang sangat berkuasa di rumah setelah suamiku meninggal. Sebagai anak tunggal ia mewarisi semua kekayaan ayahnya. Ia juga yang dulu begitu lantang mengusir kami dari rumah. Malah, ia menjadi sangat benci padaku ketika suamiku yang abangnya itu meninggal.

Apa yang harus kukatakan kini. Bila dulu aku dianggap oleh Syahrul sebagai pembawa petaka terhadap keluarganya. Sekarang aku harus bilang apa terhadap apa yang dilakukannya untuk anakku? Pembawa berkah kah?. Entahlah.[]

Sort:  

Omeenn... sedih kita bacanya 😢 tapi sangat masuk akal pula nggak terlalu sinetron juga, biar bagaimanapun itu adalah anak kuman.

Ya Cut Kak @cicisaja intinya si Apa itu ingin menembus kesalahannya dengan mengorbit si aneuk kumuen menjadi orang. kebetulan seting akhirnya soal Pileg cocoklah dengan nuansa kekinian.

Mantap laahh.. paling han, menghibur bacut 😂😂 siapa tahu malah menginspirasi seseorang untuk bertindak demikian😁 panyang bacut teuk, jeut keu naskah skenario "rahasia ilahi" 😂😂

Ya semoga, hana pernah teubayang keu naskah skenaroi lagee nyan, karena itu hanya untuk sebuah cerpen semata hai Cut Kak @cicisaja bah ureung laen cok keu inspirasi dan olah keu skenario lagee nyan.

Mudah2an.. na nyang terinspirasi, peudeh that udeep mak sinyak nyan.

Bit bratpeudeh Cupo lam kisah nyan, semoga hana lam kehidupan nyata hai-hai nyang meunan.

ka payah balek laju u jalur beasa, jalur nyoe hana rame penumpang, hahaha

Keu selingan sigo-go brader @munaa tapi ujong-ujong jih dichoh syit. Nyang peunteng beuna variasi bek monoton that.

Congratulations @isnorman! You have completed the following achievement on the Steem blockchain and have been rewarded with new badge(s) :

You got more than 600 replies. Your next target is to reach 700 replies.

Click here to view your Board
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

Support SteemitBoard's project! Vote for its witness and get one more award!

Ok thank you so much @steemitboard i will get this target

Coin Marketplace

STEEM 0.29
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 63630.77
ETH 3179.32
USDT 1.00
SBD 3.95