Pengaturan HAM & Regulasi Undang-undang

in #chunstarter6 years ago (edited)

Pada tanggal 10 Desember 1948, Komisi HAM PBB telah memproklamirkan Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), yang memuat sederetan dasar-dasar dari HAM Seperti;

  1. hak untuk hidup, kebebasan, & keamanan pribadi (Pasal 3),
  2. larangan perbudakan (Pasal 4),
  3. larangan penganiayaan (Pasal 5),
  4. larangan penagkapan, penahanan, atau pengasingan yang sewenang-wenang (Pasal 9),
  5. hak atas pemeriksaan pengadilan yang jujur (Pasal 10),
  6. hak atas kebebasan bergerak (Pasal 13),
  7. hak atas harta benda (Pasal 17),
  8. hak atas kebebasan berpikir, menyuarakan hati nurani, & beragama (Pasal 18),
  9. hak atas kebebasan mengemukakan pendapat & mencurahkan pikiran (Pasal 19),
  10. hak atas kebebasan berkumpul & berserikat (Pasal 20),
  11. hak untuk turut serta dalam pemerintahan (Pasal 21),
  12. serta beberapa hak sosial ekonomi seperti; hak atas pekerjaan (Pasal 23),
  13. hak atas taraf hidup yang layak, termasuk makanan, pakaian, perumahan & kesehatan (Pasal 25) dan
  14. hak atas pendidikan (Pasal 26).

Kemudian disusul dua konvensi penting lsinya yang disahkan tahun 1966, yaitu

  1. International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights, &
  2. Optional Protocol to the Convenant and Political Rights.

Pada tahun 1986 disusul pula dengan The Rights to Development. Indonesia sebagai negara yang terhimpun dalam PBB, sudah meratifikasi beberapa konvensi seperti:
Konvensi Anti-apartheid dalam olah raga (Keppres No. 48/22-5-1993), Konvensi tentang Hak-hak Anak (Keppres No. 36/1990), Konvensi tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (UU No. 7/1984), Konvensi tentang Hak-hak Politik Kaum Perempuan (UU No. 68/1958), Konvensi tentang Penyiksaan & Perlakuan atau Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi & merendahkan Martabat Manusia lainnya (UU No. 5/1998), & baru pada tanggal 29 September 2005 Indonesia baru meratifikasi 2 konvensi lagi yaitu Konvensi tentang Hak Politik & Sipil & Konvensi tentang Ekonomi, Sosial & Budaya. Selain itu Indonesia telah juga meratifikasi berbagai konvensi tentang perburuhan.
Dalam Islam, pengaturan tentang HAM, dianggap lebih menyeluruh, di mana manusia disebutkan adalah makhluk yang sangat dimulia Allah SWT (QS Al-Isra” 70).
Namun dalam kemuliaannya, manusia dibatasi oleh
1). Kewajiban menyembah Allah, tak boleh takabur;
2). Hak-hak dasar manusia lain; &
3). Kemuliaan manusia itu sendiri sebagai tanggung jawab manusia untuk memeliharanya.

Dengan demikian, manusia dalam Islam bukanlah sang pemilik hak-hak dasar, melainkan makhluk yang diberi & dititipi Hak atas Perlindungan yang Layak (Pasal 27 ayat (2),hak-hak dasar yang harus ditegakkan bersama-sama manusia lainnya. Dasar HAM lainnya adalah QS Al-Jujaraat ayat 13, dimana dikatakan bahwa manusia hidup bersuku-suku & berbangsa-bangsa untuk saling kenal mengenal. Tidak mungkin terjadi hubungan yang serasi jika tidak terpelihara hak persamaan & kedudukan.

Pengaturan HAM dalam Islam, dapat dilihat seperti aturan dalam Piagam Madinah. Di mana diakui & dilindungi bagi non muslim untuk menjalankan ibadah menurut agamanya, egaliter, wajib saling membantu, tak seorangpun dapat diperlakukan secara buruk, yang lemah harus dilindungi, hak & kewajiban yang sama bagi warga negaranya, hukum adat tetap berlaku, hukum harus ditegakkan, siapapun tak boleh melindungi kejahatan apalagi berpihak pada kejahatan, pelaku kejahatan harus dihukum tanpa pandang bulu, perdamaian adalah tujuan utama namun untuk mencapainya tidak boleh mengorbankan keadilan & kebenaran, hak setiap orang harus dihormati, & pengakuan atas milik individu.

Di Indonesia, sumber utama tentang HAM adalah UUD 1945, yang mana di dalamnya telah diatur beberapa prinsip-prinsip HAM seperti;

  1. Hak atas Kedudukan yang sama di Depan Hukum (Pasal 27 ayat (1)), Hak atas Perlindungan yang Layak (Pasal 27 ayat (2),
  2. Hak atas Kebebasan Berkumpul (Pasal 28),
  3. Hak Asasi Manusia (Pasal 28 A s/d 28 J)
  4. Hak atas Kebebasan Beragama (Pasal 29),
  5. Hak atas Pengajaran (Pasal 31).

Di samping dalam UUD 1945, mengenai HAM juga diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti;

  1. KUHP,
  2. KUHAP
  3. UU Kehakiman (UU No. 4/2004 dirubah dengan UU N0. 48/2009),
  4. UU tentang HAM (UU No. 39/1999),
  5. UU pengadilan Pengadilan HAM Berat (UU No. 26/2001).

Menurut Deklarasi Viena 1993, HAM & kebebasan asasi adalah hak setiap manusia sejak dilahirkan, perlindungan & pemajuan HAM adalah kewajiban utama dari pemerintah. Untuk melaksanakan deklarasi tersebut pemerintah Indonesia telah & akan terus berjuang untuk melakukan beberapa usaha pengaturan peraturan perundang-undangan tentang HAM dalam mengisi kekosongan hukum. Pembangunan HAM di Indonesia memperoleh landasan hukum yang signifikan semenjak diberlakukannya Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia NO. 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 yang ditetapkan pada tanggal 15 Agustus 1998 di Jakarta, walaupun sebelumnya telah ada UUD 1945.

Sebelum adanya Keppres No.129 Tahun 1999 tentang HAM Indonesia telah meratifikasi 8 konvensi internasional tentang HAM yaitu:

1.Konvensi tentang Hak-hak Politik Kaum Wanita (UU No. 68/1958)
2.Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (UU No.7.1984)
3.Konvensi tentang Hak-hak Anak (Keppres No. 36/1990)
4.Konvensi Internasional Anti-Apartheid dalam Olah Raga (Keppres No. 48/1993)
5.Konvensi tentang menentang Penyiksaan & perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi & merendahkan martabat manusia lainnya (UU No. 5/1998).

  1. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD 1965) (UU N0. 29/1998)
  2. Konvensi Hak Ekonomi, Sosial & Budaya (ICER 1966) (UU N0. 11/2005).
  3. Konvensi Sipil & Politik (ICCRC 1966) (UU No. 12/2005)

Selain meratifikasi konvensi-konvensi HAM tersebut di atas, dalam Lokakarya Nasional Komnas HAM I yang difasilitasi oleh Departemen Luar Negeri telah menghasilkan rekomendasi untuk dibentuk sebuah lembaga Nasional HAM. Berdasarkan rekomendasi tersebut maka pada tanggal 7 Desember 1993 didirikanlah Komnas HAM yang tugasnya yaitu;
1.memberikan penyuluhan,
2.pengkajian; dan

  1. pemantauan terhadap HAM.

Dengan terbentuknya Komnas HAM, maka arah untuk penegakan, perlindungan, & pemajuan HAM bukan hanya sebagai wacana, tetapi merupakan sikap politik pemerintah & bangsa Indonesia.

Dalam bagian Mukadimah Rencana Aksi Nasional HAM (RAN HAM) antara lain dinyatakan bahwa sesungguhnya HAM bukan merupakan hal yang asing bagi bangsa Indonesia. Perjuangan melepaskan diri dari belenggu penjajahan asing selama beratus-ratus tahun adalah perjuangan mewujudkan hak penentuan nasib sendiri sebagai HAM yang paling mendasar. Komitmen Indonesia dalam pemajuan & perlindungan HAM di seluruh wilayah Indonesia bersumber pada Pancasila, khususnya sila kedua, yaitu Kemanusiaan yang adil & beradab, serta pasal-pasal yang relevan dalam UUD 1945 yang dirumuskan sebelum dicanangkannya Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia oleh PBB pada tahun 1948. Di samping itu, nilai-nilai adat-istiadat, budaya, & agama bangsa Indonesia juga menjadi sumber komitmen bangsa Indonesia dalam pemajuan & perlindungan HAM.

Dalam Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia 1998-2000, pada pokoknya terdiri dari empat pilar utama sebagai berikut:

  1. Persiapan pengesahan perangkat-perangkat internasional HAM;
  2. Diseminasi & pendidikan HAM;
  3. Pelaksanaan HAM yang ditetapkan sebagai prioritas;
  4. Pelaksanaan isi atau ketentuan-ketentuan berbagai perangkat internasional HAM yang telah disahkan Indonesia.

Pelaksanaan hal tersebut di atas akan dilakukan oleh suatu Panitia Nasional yang terdiri atas unsur Pemerintah & masyarakat sebagai suatu lembaga pelaksana program kegiatan Rencana Aksi Nasional HAM . Dengan kehadiran Kantor Menteri Negara HAM & adanya berbagai perkembangan baru di dunia internasional, diharapkan RAN HAM ini dapat segera disempurnakan.

Keberadaan Keppres tersebut kemudian disusul dengan pemberlakuan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, yang ditetapkan dalam sidang Istimewa MPR tanggal 13 Nopember 1998. Tiga puluh tahun sebelumnya, Rancangan Tap semacam ini pernah dibahas dalam Sidang Umum MPR Sementara (MPRS), namun tidak disahkan untuk menjadi Tap MPRS. Di samping memberikan arahan-arahan mengenai pandangan & sikap bangsa Indonesia terhadap HAM, Tap MPR tersebut juga memuat Piagam HAM. Selain itu, juga menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara & seluruh aparatur Pemerintah untuk menghormati, menegakkan, & menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat. Ia juga menugaskan kepada Presiden & DPR untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila & UUD 1945.

Berdasarkan Tap MPR tersebut, pada tanggal 23 September 1999 ditetapkanlah UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Sebagaimana Tap MPR tentang HAM, UU HAM tersebut juga menegaskan adanya “kewajiban dasar manusia” di samping “HAM & kebebasan dasar manusia”. UU HAM bahkan merambah lebih jauh dengan penegasan bahwa setiap HAM seseorang menimbulkan kewajiban dasar & tanggung jawab untuk menghormati HAM orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, & memajukannya.
UU HAM juga menetapkan adanya :

  1. “kewajiban & tanggung jawab Pemerintah” (Bab V) ,
  2. “Pembatasan & larangan” (Bab VI),
  3. “Komisi Nasional Hak asasi Manusia”(Komnas HAM) (Bab VII),
  4. “Partisipasi Masyarakat”(Bab VIII), &
  5. “Pengadilan Hak Asasi Manusia” (Bab IX).

Bab yang mengatur tentang “Kewajiban & Tanggung Jawab Pemerintah” memancarkan nuansa baru yang memberikan landasan kuat untuk membangun HAM & era Indonesia baru. Di sana terkandung penegasan bahwa pemerintah wajib & bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, & memajukan HAM yang diatur dalam UU ini, peraturan perundang-undangan lain, & hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh negara RI.
Menarik perhatian adalah bab yang mengatur Pembatasan & Larangan. Untuk menjamin pengakuan & penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, & kepentingan bangsa, hak & kebebasan yang diatur dalam UU ini hanya dapat dibatasi oleh & berdasarkan UU. Di samping itu, ada juga penegasan bahwa tidak ada satu ketentuan dalam UU HAM yang boleh diartikan bahwa pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun mengurangi, merusak, atau menghapuskan HAM atau kebebasan dasar yang diatur dalam UU ini.
Sedangkan mengenai Komnas HAM, sesuai penegasan Tap MPR RI NO. XVII/MPR/1998 tentang HAM, pelaksanaan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian, & mediasi tentang HAM dilakukan oleh suatu Komnas HAM yang ditetapkan dengan UU. Dalam UU HAM, eksistensi Komnas HAM tersebut dipertegaskan & fungsi-fungsinya juga disebut kembali dalam UU HAM.

Sebagaimana dikenal dalam UU tentang Lingkungan Hidup, UU HAM juga memberikan tempat bagi setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, untuk berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, & pemajuan HAM. Mereka berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran HAM, mengajukan usulan mengenai perumusan & kebijakan yang berkaitan dengan HAM kepada Komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan & pemajuan HAM. Di samping itu, kelompok-kelompok & lembaga studi, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama dengan Komnas HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, & penyebarluasan informasi mengenai HAM.

Mengenai Pengadilan HAM, UU HAM memberikan rambu-rambu bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di Lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan tersebut harus dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun semenjak berlakunya UU HAM. Sebelum terbentuknya Pengadilan HAM tersebut, maka kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat tersebut diadili oleh pengadilan yang berwenang.

Pemerintah Indonesia saat ini mempunyai itikad baik & ingin menunjukkan ke dunia internasional bahwa Indonesia mampu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan nasional. Maka secara terburu-buru karena memang dituntut kecepatan yang sangat tinggi, pemerintah dibantu oleh Komnas HAM menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1/1999 tentang Pengadilan HAM. Pada tanggal 8 Oktober 1999 Pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Pengadilan ini berwenang menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berupa pemusnahan seluruh atau sebagian rumpun bangsa, kelompok bangsa, suku bangsa, kelompok berdasarkan warna kulit agama, jenis kelamin, umur atau cacat mental atau fisik, pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, diskriminasi yang dilakukan secara sistematis, penganiayaan oleh pejabat yang berwenang dengan maksud untuk memperoleh keterangan atau pengakuan dari yang bersangkutan atau pihak ketiga. Mengingat pada saat pembentukannya terburu-buru & lemahnya kekuatan hukum Perpu, maka pada tanggal 13 Maret 2000 atas kesadaran sendiri pemerintah mencabut Perpu yang pasti akan ditolak jika diajukan ke DPR karena substansinya sangat sumir. Kemudian menyusun & mengajukan rancangan undang-undang pengadilan HAM sebagai pengganti Perpu. Syukur Alhamdulillah tepatnya pada hari Senin tanggal 6 Nopember 2000 anggota DPR melalui sidang paripurnanya telah mensahkan RUU tentang Pengadilan HAM menjadi UU No. 26/2000 & berselang beberapa hari tepatnya pada hari Kamis tanggal 23 Nopember 2000 UU tentang Pengadilan HAM disahkan oleh Presiden RI yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI NO. 208 Tahun 2000. UU tentang Pengadilan HAM ini, jika kita lihat sejak dari pembahsannya sampai disahkan oleh DPR memakan waktu lebih kurang 5 bulan & merupakan waktu yang cukup panjang untuk pembahsan sebuah rancangan UU di DPR. UU tentang HAM ini adalah untuk menggantikan Perpu No. 1/1999.

Lingkungan pengadilan HAM ini berkedudukan di lingkungan Peradilan Umum atau berada di Pengadilan Negeri yang untuk saat ini di buka di Pengadilan Ngeri Jakarta, Surabaya, Makasar & Medan. Ditempatkannya pengadilan HAM di Peradilan Umum, karena kewenangan Pengadilan HAM mengadili masalah-masalah yang menyangkut umum & bergerak dalam bidang pidana, maka ada alasan untuk menempatkan di Pengadilan Negeri (bukan merupakan pengadilan tersendiri) seperti halnya pengadilan Tindak Pidana Ekonomi & Pengadilan Anak.

Pengadilan HAM mempunyai kewenangan untuk memeriksa & memutuskan kasus-kassus pelanggaran HAM yang berat sebagaimana disebut dalam Pasal 1 butir 2 UU No. 26/2000. Pelanggaran HAM yang berat menurut Pasal 7 meliputi:

  1. Kejahatan terhadap genocide.
  2. Kejahatan terhadap kemanusiaan.

Unsur-unsur kejahatan tersebut di atas telah dirumuskan dalam Pasal 8 & 9 UU NO. 26/2000 dengan harapan hakim akan lebih baik & mudah memberikan putusan atas dasar keadilan & hati nurani (Ny,Lies Sugondo, 2000:5).
Pasal 8 UU NO. 26/2000 mengatur kejahatan genocide yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan atau sekelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:

a. membunuh anggota kelompok,
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya,
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Selanjutnya Pasal 9 UU No. 26/2000 memuat tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu: salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap pendiuduk sipil berupa:

a. pembunuhan,
b. pemusnahan,
c. perbudakan,
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa,
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional,
f. penyiksaan,
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara.
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional
i. Penghilangan orang secara paksa, atau
j. Kejahatan apartheid.

Mengingat kejahatan terhadap HAM, termasuk kejahatan yang baru, maka sudah sepantasnya apabila kita harus mencari dasar hukum maupun referensi dari luar/internasional. Karena kejahatan tersebut belum diatur dalam peraturan perundang-undangan kita yang sudah ada seperti KUHP. Di dalam dunia internasional pun, hal tersebut juga baru berkembang, bahkan banyak negara yang belum/tidak mempunyai Pengadilan HAM. Jika adapun, hanya sebagai pengadilan ad hoc yang kemudian akan bubar setelah menyelesaikan tugasnya (seperti pengadilan Nuremberg, Tokyo, Yugoslavia & Rwanda).

Untuk mengisi kekosongan hukum yang kita miliki, dalam menangani kejahatan HAM yang berat maka kita perlu mengadopsi dari Statuta Roma yang merupakan dasar hukum berdirinya International Criminal Court. Didirikan ICC ini dengan tujuan tidak lain adalah untuk mengadili pihak-pihak yang telah melakukan the most serious crimes of international concern seperti genosida (kejahatan pembasmian atau pembantaian etnis tertentu), Crimes againts humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), war crimes (kejahatan perang) & anggretion (agresi) (Rizanizarli, 2000:1083). Jika kita pahami UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM juga memberi kemungkinan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc untuk menampung tuntutan-tuntutan masyarakat terhadap pelanggaran HAM yang berat di masa lalu sebelum adanya UU No. 26/2000.

Munculnya gagasan retroaktif terhadap peraturan perundang-undangan tersebut sesungguhnya suatu political will pemerintah yang demikian besarnya, sehingga menyimpang dari asas universal non retroaktif. Pertimbangan sebagaimana dimuat dalam penjelasan umum UU No.26/2000 yang menyatakan bahwa “mengenai pelanggaran HAM yang berat seperti genosida & kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasarkan hukum internasional dapat digunakan asas retroaktif. Tentu hal ini akan bertabrakan dengan Pasal 28 j ayat (2) UUD 45 (amandemen) karena dalam pasal tersebut tidak dikenal asas retroaktif. Jika kita lihat dari TAP MPR/1999 telah diatur tentang hirarki peraturan perundang-undangan kita, di mana UUD 1945 lebih tinggi kedudukannya dari undang-undang.

Adanya asas retroaktif dalam rangka melindungi HAM berdasarkan Pasal 28 j ayat (2) UUD 1945 telah menimbulkan suatu problem yang besr bagi pelaksanaannya di kemudian hari, karena pasti muncul pertanyaan sejak kapan undang-undang itu diberlakukan, apa sejak mulai merdeka atau sejak dijajah oleh Belanda. Pertanyaan yang demikian, akan sulit dijawab bahkan akan timbul ketidakpastian hukum & sangat merugikan pembangunan nasional, karena negara akan disibukkan untuk menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran HAM yang lalu.

Langkah yang bijaksana atas tekad & kemauan yang baik antara DPR dengan Pemerintah akhirnya dapat diambil jalan keluar yaitu dengan mencantumkan satu ayat tentang pembentukan Pengadilan Ad Hoc di dalam Pasal 43 UU No. 26/2000. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Oleh karena itu perlu tidaknya diselesaikan melalui Pengadilan HAM harus dipertimbangkan secara politis pula. Selanjutnya dalam Pasal 47 ayat (1) UU NO. 26/2000 juga dinyatakan “pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang ini, tidak tertutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi.

Komisi ini dibentuk guna menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu, apabila bukti-bukti yang diperlukan dalam proses peradilan tidak dapat ditemukan lagi, atau para tersangkanya telah banyak yang meninggal dunia, tetapi masyarakat masih terluka atau peristiwa tersebut yang menuntut pengakuan & kebenaran serta permintaan maaf dari pemerintah. Selain tujuan tersebut di atas, juga untuk menampung keinginan dari pihak korban untuk memperoleh kompensasi/rehabilitasi dari negara atas perbuatan yang telah dilakukan.
Penyelesaian dengan menggunakan Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi sebetulnya gagasan tersebut muncul dari peristiwa yang terjadi di Afrika Selatan. Di Afrika Selatan digunakan komisi ini untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat yang terjadi antara 1 Maret 1960 s/d 5 September 1993. Adapun alasanya karena pada waktu itu pemerintah apartheid melakukan tekanan-tekanan yang sangat berat kepada gerakan perlawanan berupa penahanan & penangkapan para tokoh-tokoh, pembunuhan & penyiksaan.

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 64513.89
ETH 3155.04
USDT 1.00
SBD 4.00