Gadis Kayu Bakar: Eps #2 Jejak-jejak darah

in #esteem5 years ago (edited)

dyjv07156b.png
Sumber Photo Pixabay

“Iya, dia sama denganku, sebatang kara, sudah tidak punya siapa-siapa lagi, tapi yang terpenting dia juga manusia seperti kita. Hanya saja tidak seberuntung kita dalam menjalani hidup ini, atau malah dia lebih beruntung dari kita semua, mampu bertahan di hutan ini sudah lebih dari 5 tahun”.

Segera aku bergegas ke tenda, mengambil daypack kecil dan mengisi beberapa perlengkapan penting dan obat-obatan yang mungkin akan aku perlakukan. Juga perbekalan makanan setengah dari yang aku bawa. Kusandang “Tramontina” (golok tebas brazil) di sebelah kiri dan “kukri” (pisau tradisional Nepal) kuikatkan ke paha kanan. Tak lupa aku mamastikan firestrob buatan sendiri, flinstone dan dan headlamp petzl kedalam survival chest bag.

Tanpa memperdulikan pandangan Mereka, aku bergegas melakukan tracking jejak yang masih bisa aku ikuti. Penuh harap dan khwatir, ingin segera melihat sahabatku si pertapa. Sebenarnya bukan tidak melihat ke arah mereka, aku sempat melirik kearah Indri; ada pandangan khawatir mengiringi kepergianku menyusuri jejak sang pertapa sahabatku itu. Mungkin karena kondisi mereka masih agak shock dengan kejadian tadi ataupun kerena waktu yang sudah beranjak malam. Aghh itu sangat tidak penting untuk kupikirkan saat ini.

Kumulai trackingku dari titik aku menemukan tetesan darah tadi, kutelusuri kembali jejak itu hingga ke tepian sungai. Memang aku tau persis dimana letak gua tempat dia tinggal, tapi ini mengenai kekhawatiran tentang kondisinya yang berlumur darah. Bisa jadi terjadi sesuatu sepanjang perjalanan pulangnya ke gua tempat ia tinggal. Dalam diam kutelusuri jejaknya yang menyusuri alur kecil, kadang harus memutar mengikuti jejaknya. Aku terus memperhatikan jejak darah atau jejak kaki yang masih bisa kutemukan.

Tujuanku hanya satu, yaitu memastikan jejak-jejak yang mungkin masih bisa kutemui dari sahabatku yang terlihat tadi. Aku hafal sekali watak simakhluk langka yang satu ini. Aku khawatir dengan kondisinya, mungkinkah dia dianianya orang atau diserang binatang buas?. Benakku terus mereka-reka apa yang terjadi. Memang kadang dia mangembil ala kadar barang atau makanan yang dibutuhkannya dari tenda para pendaki. Aku sudah pernah mengingatkannya untuk tidak mencuri barang para pendaki.

Akhirnya jejaknya menghilang sepanjang tepian sebelah kiri alur, nampaknya tidak mungkin baginya untuk terus menyusuri sungai karena medannya mulai terlalu curam dan sulit. Kusebrangi alur kecil untuk memastikan jejaknya, benar tebakanku. Aku mulai menemukan kembali jejaknya di antara perdu belukar sebelah kanan alur. Kuhunus tramontinaku, untuk mulai berjaga-jaga dari rintangan semak belukar dan kemungkinan ular berbisa sejenis pit viper yang biasanya hidup di semak-semak seperti ini, hari mulai gelap, tapi perjalananku masih sekitar 700 meter lagi. Sudah dekat memang, tapi dengan kondisi medan seperti ini, bukanlah hal gampang, apalagi aku tidak bisa berjalan terlalu cepat untuk bisa memastikan jejak-jejak yang kuikuti. Aku bersyukur karena sempat hidup dan belajar dari penjejak ulung suku Sakai di pedalaman Riau yang hidup berpindah-pindah dan juga suku Punan di Kalimantan Timur. Mereka telah melatihku dengan baik, atau setidaknya aku telah belajar dari mereka tentang cara hidup dan berinteraksi di alam liar dalam kondisi bagaimanapun.

ds0jrjjcxu.png
Sumber Image

Malam telah sempurna turun menyelimuti kehidupan hutan belantara ini, aku sejenak berhenti di daerah yang agak terbuka di bawah pepohonan besar dengar akar-akar yang besar, aku mencoba memeriksa sekeliling untuk memastikan jejak yang masih terlihat. Di medan dengan punggungan lebar seperti ini akan sangat sulit memastikan arah pergerakan ataupun jejak yang harus diikuti, karena terlalu banyak bekas laluan binatang. Selesai sholat magrib kulanjutkan untuk menyusur jejaknya. Semakin banyak tetesan darah yang masih lumayan segar aku temukan mengarah turun ke lereng landai. Palan kuikuti sambil mataku tetap awas menatap sekeliling mewaspdai ancaman yang tidak aku kehendaki. Jejak darah ini menuju sebuah celah di batang pohon besar yang merupakan gerbang rahasia untuk menuruni tebing batu setinggi 15 meter. Tebing ini lebar, dan ini adalah titik terakhir biasanya orang datang, karena sangat tidak mungkin untuk menuruni tebing ini dengan aman. Celah pohon itu sendiri ditutupi oleh semak belukar yang lebat, dengan langkah pasti aku menuju kesana. Tiba-tiba mataku menangkap sesosok tubuh yang tergeletak tak berdaya dekat semak belukar, memang tidak terlalu jelas terlihat karena tertutup perdu dan rumput liar yang agak tinggi. Kuarahkan headlamp ke arah yang kucurigai.

Tubuhnya teronggak menyamping, tangan kirinya terjulur kedapan sekaligus menjadi penyangga pipinya dari tanah, posisinya membelakangiku. Kulit panggungnya banyak mengelupas, mungkin karena karena penyakit kulit dan terimfeksi bekteri ataupun kerena cuaca di hutan yang tidak menentu. Aku mendekat memeriksanya sambil memanggil namanya.

“Kasim…Kasimm…”. Tetap tidak ada respon…
Kuletakkan barang bawaanku dekat sebatang pohon damar yang menjulang tinggi. Pelan kupindahkan batang tombak runcing dari genggaman tangan kanannya, tombak yang terbuat dari kayu hutan yang lurus tetapi ujungnya berupa sebilah batu gamping yang runcing dan tajam. Aku yang mengajarinya untuk membuat tombak seperti ini 2 tahun lalu.

Kasim masih terbaring lemah di posisinya dengan nafas yang melambat dan berat, jelas aku melihat pendarahan hebat dari kepalanya. Kulingkarkan kedua tangan dari bawah ketiaknya dan bertaut di dadanya. Perlahan kutagakkan untuk kupanggul ke bawah pohon dimana aku metakkan barang-barangku. Tubuhnya lebih besar dariku, aku tidak sanggup memanggulnya, akhirnya pelan-pelan aku menyeretnya ke tempat kuletakkan tas.

Dengan seksama aku memeriksa luka di bagian kepala, dada dan tangannya. Terdapat 3 goresan melintang yang agak dalam di bahu kanan bagian atas, dan juga di bagian kepala. Wajahnya pucat, karena kehilangan darah. Tubuhnya mulai dingin, aku semakin khawatir.

Kubaringkan dia menyamping dengan beralaskan daun kering yang kukumpulkan sebagai bantalan. Sayangnya aku tidak membawa sleeping bag. Kukeluarkan rivanol dalam botol kecil dari chest bag dan segulungan kain kasa steril. Pelan kubersihkan luka goresan. Totalnya ada 9 goresan yang agak dalam di tiga tempat terpisah, pelipis kanan, bahu kanan dan lambung kanan.

Kubasahi kain kasa dengan rivanol untuk menutupi luka setelah kubalur dengan tumbukan daun karamunting yang kuketahui mengandung khasiat sebagai anti septic dan mampu menghentikan peredaran dari dari luka yang terbuka. Akhirnya seluruh lukanya tertutupi, tapi aku harus menyadarkannya terlebih dahulu sebelum kembali ke shelterku. Ini adalah pilihan yang sulit, untuk meninggalkannya sendirian di sini, tapi aku juga tidak mungkin membuat teman-teman baru yang di shelter menjadi gelisah menanti kedatanganku.

Kukeluarkan alat masak portable untuk memanaskan sedikit air. 10 menit kemudian air telah mendidih, kubuatkan teh hangat untuknya agar siuman. Pelan-palan teh hangat kusuapi kemulut Kasim, awalnya tidak ada respon, tapi karena rasanya yang manis akhirnya di menggeliat dan membuka mata. Tersentak dengan kondisi tubuhnya dengan sukses rahangku tertinju cukup keras olehnya. Kasim berguling menjauh.

Segera kupanggil namanya dengan keras untuk menyadarkannya, “Kasim!! Ini aku Joe…!”. Terlihat Kasim mulai berangsur menguasai dirinya lalu terduduk lemah. Kudekati dia pelan dan menyoroti wajahku sendiri dengan headlamp agar dia bisa mengenali. Akhirnya dia sadar sepenuhnya.

Teh manis yang kubuatkan tadi tumbah dan cangkirnya terpelanting begitu saja akibat dari reaksi kesadaran Kasim. Kuajak dia mendekat kearahku, dengan pelan sambil berusaha mengajaknya bicara. Tapi tetap reaksinya masih dalam diam dan matanya liar melihat kesegala arah.

“Kapan kau tiba Joe?”, kalimat serak parau akhirnya keluar dari kerongkongannya. Lebih tepat seperti geraman binatang hutan yang terluka.

“Aku mengikutimu dari pinus jejer”. Sahutku menjelaskan tempatku menginap malamm ini.

Sambil menunggu air mendidih, aku buatkan perapian kecil sebagai penarangan dan sebagai penghangat. Kuminta dia berbaring untuk memeriksa luka di tubuhnya, aku khawatir luka itu kembali berdarah karena gerakannya tadi. Meski kekar tubuhnya terlihat kurus dengan brewok, cambang dan rambut yang makin menggimbal dan kotor. Kuperbaiki perbannya kembali walau agak kotor, tapi aku tidak memiliki kasa cadangan yang lain. Akhirnya kebentangkan jaketku sebagai alas dia merebahkan tubuh didekat api.

Kusuguhi dia teh hangat dan 2 potong roti tawar bekalku, sebutir telur dan 2 saset madu rasa. Tanpa menunggu waktu segera dia melahap roti dan membuka sesachet madu. Mulutnya penuh, sambil mengunyah roti dengan rakus, dia meneguk teh hangat yang kusodorkan. Matanya keliatan semakin cekung.

Sambil menunggu dia menghabiskan santapannya, aku bergerak kearah tempat tombaknya kusimpan, dia hanya meliriknya sekilas. Kuperhatikan ujung batu gamping yang runcing bergerigi dan tajam, terlihat ada beberapa lembar bulu halus berwarna hitam. Agaknya dari beruang madu, tidak salah dugaanku, dia berurusan dengan beruang madu sehingga mendapatkan luka begitu rupa.

“Sempat kau bunuh beruangnya Kasim?”, tanyaku tanpa basa-basi. Mendengar pertanyaanku, matanya kembali liar menatap sekeliling.
“Tidak, tapi sempat kutusuk lambung kanannya”, sebelum dia lari kesakitan.

Sudah cukup penjelasannya bagiku. Selanjutnya aku sudah bisa menebak apa yang terjadi padanya, sehingga Octa melihat dia dalam perjalanan kembali ke gua tempatnya tinggal.

Kasim telah menyelesaikan sebutir telur rebus yang kubawa dari bagian logisticku. Setidaknya dia telah makan sesuatu sebagai syarat aku memberikannya antibiotic dan pil anti sakit. Kusodorkan sebutir Ibuproven 400 mg dan Ciprofloxacin 500 gm, dan memintanya untuk minum.

“Jangan dikunyah ya, langsung telah dengan teh manis, itu untuk mencegah lukamu berulat kayak dulu”, pintaku padanya. Segera dirobeknya sudut saset madu kedua sebagai penetralisir rasa pahit dimulutnya. Aku memperhatikannya dengan rasa senang, setidaknya kondisinya sudah stabil walau terlihat masih sangat lemah.

“Kasim, kau tidur disini atau ke gua?, kalo kau nginap disini aku akan buatkan kau shelter. Karena aku harus kembali ke shelterku sampai besok pagi aku kembali ke mari lagi”. Kujelaskan padanya kenapa aku tidak bisa tinggal dengan dia malamm ini.

Kasim termenung sejenak, lalu menjawab dalam gumamnya yang masih bisa kupahami,singkat,”aku ke batu”. Aku paham yang dia maksud batu adalah gua kecil tempat tinggalnya. Jaraknya sekitar 50 meter dari tempat kami duduk, tetapi harus melewati lorong gua sempit menurun curam dimulai dari sebatang pohon besar. Kubereskan perlengkapan masak yang masih hangat, dan kumasukkan sisa P3K kadalam chest bag. Tak lupa kumatikan api dan menyamarkan bekasnya agar tidak mudah terlihat oleh manusia lain. Aku berjalan di depan sehingga bisa menuntunnya melalui celah kecil pohon yang menuntun kami kebawah tebing, agak sulit bagi Kasim untuk menuruni celah sempit gua itu dengan kondisinya yang lemah dan terluka.

Selang 15 menit kemudian kami tiba di pintu gua tempatnya tinggal. Sekilas pintu gua itu tidak terlihat, karena tertutup dengan batu yang sangat besar. Seolah celah antara tebing dan batu besar itu hanyalah celah biasa yang mentok, tapi tidak begitu sebenarnya. Selain tertutup semak belukar mulut gua juga sulit untuk dijangkau dari bawah karena berupa tebing bebatuan yang licin. Aku masuk kedalam gua rumahnya dan sekilas melihatnya, sudah bertambah beberapa kulit bianatang sebagai alas di dalam gua ini di sebelah kiri dari mulut gua. Dan tumpukan tulang yang teronggok lebih jauh kedalam, sebelah kanan dari tempat terhamparnya kulit binatang, hasil buruannya kian bertambah dari saat pertama sekali aku melihatnya.

j2ya4wylin.png
Sumber Image

Gua ini telah terlihat lebih mirip rumah, periuk nesting yang kuberikan padanya 2 tahun lalu masih terlihat bagus meski sudah lebih banyak penyok. Tapi masih terdapat bekas dia memasak untuk yang terakhir kali. Juga sebuah jerigen air yang juga pemberianku terlihat penuh dengan air bersih tergantung di dinding goa yang berupa cember, setinggi orang dewasa. Tempatnya seukuran 3x3 meter berbentuk setengah lingkaran. Mulut gua ini agak keatas, sejauh 4 meter, menurun ketempat Kasim menetap.

Kasim tidak banyak bicara, dia langsung merebahkan diri. Kuminta ijinnya untuk memeriksa lakukanya sekali lagi. Kelihatan sudah aman, karena tidak ada lagi rembesan darah segar yang keluar.

“Kasim, ini ada roti kabin untuk bekalmu malam ini, besok pagi aku akan kembali. Kemungkinan ada 3 orang kawan yang akan ikut kemari, tapi aku harus memastikan mereka boleh berkunjung kemari”.

“Tidak boleh kau bawa orang lain Joe, aku tidak percaya Mereka!”. Pungkas Kasim sambil menatap tajam kearahku.

“Kasim, aku janji untuk memastikan mereka orang baik dan aku akan meminta mereka untuk tetap merahasiakan keberadaanmu pada orang banyak”. Terangku pada Kasim agar dia tidak terlalu khawatir untuk berbaur dengan orang-orang.

Akhirnya, setelah sedikit beradu argument kasim setuju dengan usulku,”Baiklah, jika kau percaya pada Mereka, tapi ingat aku tidak mau orang-orang mengetahui keberadaanku disini”. Timpal kasim.

“Baik, aku akan pastikan hal ini sebelum membawa mereka kemari, Kasim”. Tutupku sambil mengambil jerigen air 2.5 lliter dan meletakkannya di samping Kasim merebahkan diri. Dan sesachet madu rasa kuselipkan di gagang jerigen. “Perlu kubuatkan perapian Kasim?” sambungku memastikan kenyamanannya sebelum bergerak kembali ke shelter.

Kasim hanya mengangguk pelan tanda setuju, segera kukumpulkan kayu yang beserak di dalam gua kecil itu. Kuposisikan unggun tepat kearah pintu untuk memastikan asapnya bisa keluar dengan leluasa. Karena kusadari gua ini kecil untuk dipenuhi asap. Kutambahkan dua potong kayu sebesar batang pohon kelapa untuk menjamin perapian akan cukup untuk semalamman.

“Kasim, aku pamit dulu…”. Ucapku penuh ragu ketika hendak beranjak keluar, tapi tidak terdengar jawabnnya. Hanya dengkur halus tanda Kasim sudah terlelap, agaknya pengaruh obat dan rasa sakit serta lelah membuat dia tertidur. Kulangkahkan kaki keluar sambil membenarkan letak headlamp. Sekali lagi kuedarkan padangan sebelum aku beranjak keluar dari gua Kasim.

Diluar angin dingin menyambutku, tanpa kusadari kabut telah turun menghalangi pendanganku untuk pulang ke shelter. Kurang lebih 1 km merambah hutan belantara untuk bisa sampai ke tempatku mendirikan tenda.

Ada rasa waswas dan hawa magis mengiringiku menapaki hutan dalam kondisi gelap dan berkabut. Berat hatiku meninggalkan Kasim dalam kondisi seperti ini. Tapi, aku harus mengambil perbekalan untuk bisa menolongnya.

Bersambung……………………………………….. 

Simak juga Gadis Kayu Bakar Episode Pertama :\

https://steemit.com/esteem/@el-nailul/gadis-kayu-bakar-eps-1-1881d402a49c5est

With my best regard

@el-nailul

Hope for the best and prepare for the worst

5whcwh2cf5.pngPlease joint us on discord channel at https://discord.gg/DJQkJBY


Mari bergabung dengan kami di discord channel : https://discord.gg/78DZ3YQ

SB_new.png

Sort:  

Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq

Bagus banget bang @el-nailul..terima kasih #keep spirit for you😊

Posted using Partiko Android

terimakasih kak @inesanugerawati, udah mau bantu edit tulisan singkat ini

Iyes..bang @el-nailul, my pleasure..😂😊

Posted using Partiko Android

Coin Marketplace

STEEM 0.28
TRX 0.13
JST 0.032
BTC 60648.94
ETH 2906.35
USDT 1.00
SBD 3.60