Diam Saja
Aku lebih memilih menghindar dan menyepi dalam keramaian karena damai seakan lenyap ketika riuh begaduh. Semua pertanyaanku yang tak bisa mereka jawab membuatku terlena dan lebih memilih mengasingkan diri.
Ketika ramah dianggap salah, ketika akrab dianggap ada sesuatu, maka pikirku belum penuh isi dalam kerangka dibalik kulit kepala mereka.
Sebenarnya, bukankah semua berasal dari kata tiada dan entah dari mana satu persatu menambahkan sosok baru dalam jiwa baru serta tubuh bernama baru. Terjalin komunikasi kitapun melangkah setidaknya sekarang aku telah mengenal kamu dan mereka.
Pernahkah sesekali kita berpikir semua tiada? Dan minimal ketika mereka ingin berhenti ada kenangan indah tentang kebersamaan yang sempat terjalin dalam dunia blockchain nan maya ini.
Saya tidak bisa berdiam diri ketika mendapati tak ada kejelasan dan membuat saya bertanya-tanya kenapa si Ini segini dan si Itu segitu. Dan penjelasan yang tidak masuk logika tiada bisa terkontaminasi dengan pikiran waras.
Lalu pikirku, bukankah kita mulai ini dari kata tiada, kenapa kita mesti berseteru akan nilai yang seakan tidak adil. Walaupun terkadang kekuasaan bisa memainkan harga sesuka hatinya dan dengan siapa yang dia suka. Lagi pula akan ada yang tersakiti dan terkorbankan ketika usut punya usut. Dan biarkan saja kesakitan itu kutanggung dalam diamku.
Biar saja mereka menganggap aku tak berdaya dan tak mengerti apa-apa. Asal tuan senang. Dan yang terpenting jika pun tak akrab minimal kita tak menjadi musuh.
Saleum meutaloe syedara.
Tiada yang lebih berharga dari nilai pertemanan, persahabatan atau silaturahmi.
Anda tidak akan tahu nilai sebuah hubungan hingga anda menyudutkan pada suatu sudut yang kehadirannya begitu berharga.
Terus semangat dan terus dalam silaturahmi.
Foto: Dok. Pribadi | Hanya Ilustrasi
Regards: @jubagarang