Bangunan Itu Dekat Dengan Ladang Ganja

in #fiction6 years ago (edited)


sumber

Aku terkesiap tatkala mataku tersorot ke arah jarum jam hampir menunjukkan setengah delapan. Kakek sedari tadi sudah menungguku untuk diantarkan ke sekolah. Baju berwarna putih dan celana panjang berwarna abu-abu sedianya diletakkan di atas meja tamu. Setelah ini itu, aku berangkat bersama kakek dengan sepeda bututnya. Sepeda hasil dari melaut beberapa tahun lalu. Di belakang sepeda pikiranku masih melayang-layang, bukan tentang dara-dara itu melainkan udang-udang yang sedang menunggu kami untuk ditangkap. Apakah Rahman pergi bersama Nasir? Tak mengajakku kali ini. Bisa jadi betul. Kaki lelaki tua itu begitu kuat mengayuh sepeda yang pengayuhnya sedikit berkarat akibat kena air laut dan belum sempat diminyaki. Dia makin mempercepat laju tak peduli meski batuk kerap membuatnya kecapaian. Demi aku apapun ia lakukan.

Kami sampai di depan gerbang sekolah. Sesudah memberiku beberapa lembar uang, punggung lemasnya raib ditelan kios-kios kecil sepanjangan jalan Padani. Sudah seminggu lamanya aku tidak menyentuh halaman bagunan ini. Bangunan yang sangat aku benci kala itu. Konsentrasiku sering buyar ketika membayangkan gaya Rahman melempar jala, dan cara elegannya menangkap udang di dalam selokan pembuangan air kotor tambak. Sekolah kami tidak begitu tertib, bahkan jauh dari kata disiplin. Kami bisa masuk kapan saja, guru-guru berada dalam ancaman ketakutan. Pasalnya, polisi dan pemberontak sering mengunjungi sekolah kami, tentara pun tak ketinggalan seakan di sekolah kami sudah menjadi tempat persembunyian para pemberontak yang harus dibasmi secepat mungkin.
Setelah kutanya sana sini. Terbongkarlah alasan kenapa manusia berseragam itu sering mengunjungi sekolah kami. Rupanya, tak jauh dari bangunan yang bercat putih lapuk yang tak lain adalah sekolahku itu terdapat sepetak tanah luas berawa. Konon, di dalam rawa itu ditanami ganja bermutu tinggi. Untuk pergi ke ladang itu harus menggunakan sampan. Dan hanya penanam saja yang tahu arah.

“Bila ada yang nyusup. Maka penyusup itu akan ditebas lehernya.” Kata Mursyid pemilik kantin sekolah dengan nada mengancam.

Aku terkejut bukan main. Apakah dengan barang haram itu, orang sanggup membunuh. Dunia ini gila betul. Kali ini serombongan manusia berloreng sekejap saja berada di sekolah kami. Setelah seseorang mendekati mereka, selanjutnya mereka beranjak pergi.

“Jangan takut, mereka sudah kami tekel,” lanjut Mursyid terkekeh.

Kata kawan sekelasku. Mursyid adalah perantara. Di saat serdadu berwajah garang itu datang, maka dia yang melayani mereka dengan memberikan segepok daun haram yang sudah dibungkus rapi. Mursyid sering menjelaskan efek daun itu kepadaku yang kala itu aku masih awam dengan pengaruhnya.

“Pengaruhnya luar biasa Riq. Kau tidak tahu sebelum mencoba!”

Badanku mulai mendemam. Sementara kulihat kawan-kawan sekelas nampak begitu tenang menikmati daun itu dengan cari dilinting menggunakan kertas putih yang sangat mudah didapatkan di tiap kos. Bahkan, Mursyid menyediakan lembar yang akhirnay kutahu namanya lembar sigaret. Mata mereka merah macam biji saga. Wajah mereka berseri-seri disertai senyum yang mengembang. Sejak itu baru aku sadar bahwa mata merah Rahman tempo hari hasil efek daun haram itu.

Bel masuk berbunyi. Kawan-kawanku berjalan terseok-seok. Bicaranya ngawur tak mengarah sedikitpun. Para Guru yang budiman tidak berani menegur, karena tempat itu sedari dulu menjadi ajang berkumpul pemuda kampong Padani. Mereka sering mendaratkan ganja dekat sekolah kami. Jadi bila ada yang menegur maka siap-siap saja harus libur sekolah sepanjang waktu yang tidak bisa ditentukan. Sekolah sudah dalam kuasa mereka. Tidak ada yang berkutik bila berhadapan dengan mafia itu. Pak Jafar sekalipun yang tubuhnya tegap harus menyingkir bila berpas-pasan dengan mereka.

Pukul dua siang, Kakek sudah berada di luar pagar sekolah dengan sekantong sirup dingin di tangan kananya, membuatku senang bukan kepalang. Di tengah panas macam _ni_, air berwarna merah berkelebat di dalam kantong plastik itu nikmat tak kentara. Aku pun kembali dibonceng pulang ke rumah. Peluh Kakek melembabkan baju safarinya. Dia selalu menolak di saat aku menawarkan bantuan. Biar Kakek duduk takzim saja di belakang. Beliau sering berkilah. Kau adalah cucuku. Tugasmu hanya belajar, dan belajar bukan kayuh sepeda titik
.


sumber

Di dalam perjalanan yang begitu melelahkan itu. Secara mengejutkan kami dihentikan oleh beberapa orang yang beseragam loreng lengkap dengan senjata. Kami disuruh menyingkir dahulu. Kami turun, tangan Kakek tak pernah lepas dari stang sepeda. Salah seorang dari mereka mendekati Kakek, dan bertanya tentang dirinya. Mulai pekerjaannya hingga berapa jumlah anaknya.

Tentara itu melototiku. Melihat seragamku yang begitu anggun. Seragam yang membuat Kakek-bangga. Aku menunduk di saat tatapan nanarnya mengitari seluruh tubuhku.

“Kamu jangan jadi seperti mereka. Nanti kamu harus jadi guru. Harus!” Kakek bertitah sembari menaiki sepeda kebanggaannya.

Aku hanya mengangguk saja. Guru bukan profesi yang ideal zaman sekarang ini. Guru sering diabaikan oleh Pemerintah. Mereka hanya dibanggakan dengan adigium laknat sehingga membuat Kakek ikut terpancing-adigium itu; Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Kuat dugaan Kakek sudah menjadi korban kelicikan Pemerintah. Aku hanya tersenyum, membayangkan kepolosan orang tua yang amat kusayang itu. Bagaimana pun dia tetap berharap aku menjadi orang sukses kelak.

U5dtbQKKmfKuqu7QB1uxntFotPFr9Dq_1680x8400.jpg

Sort:  

fiksi yang sangat bagus, hanyut saya membaca cerita ini.

Cerita yang bagus bang, dan mempunyai makna yang dapat dijadikan motivasi

Cerita yg menarik bang, zaman sekarang yg menjadi pahlawan adalah poli tikus. Terima kasih telah berbagi dan salam hangat dari ketinggian.

You just received a Tier 0 upvote! Looking for bigger rewards? Click here and learn how to get them or visit us on Discord
If you would like to opt out of receiving comments reply with STOP

Kabar baiknya bocah dicerita ini, tidak terpangaruh dengan perilaku Mursyid yang negatif, dan dia beruntung karena memiliki kakek yang baik, dan sering memberi motivasi hidup, dengan nasehatnya yang bijak. Guru adalah profesi yang mulia, saya bahkan dulu pernah bercita-cita jadi guru.

Saleum jroeh bang @abduhawab.

hehe...terima kasih telah membaca @midiagam.

Saya selalu menunggu cerita seperti ini, apalagi penulisnya bang @abduhawab, saya selalu suka membaca tulisan bang @abduhawab, karena dapat banyak pelajaran dan manfa'at lewat tulisan indah yang terbungkus rapi dari setiap postingan yang bang @abduhawab bagikan.

Teruslah menulis untuk kami bang @abduhawab.

Sebuah fiksi yang sempurna. Kita belajar pada hati-hati yang mulia. Kita memang belum mampu hingga sejauh itu. Namun setidak-tidaknya kita tahu bahwa hati-hati yang mulia ada di dunia ini, terimakasih untuk setiap jasa-jasamu, terimakasih bg @abduhawab teruslah menjadi pahlawan, separuh dari nilai-nilai kemuliaan itu adalah mulia disisi Allah

Amin...terima kasih @arispranata5.

Cerita yang menarik. Bagi calon guru harus punya modal dalam mndidik terutama dalam hal kesabaran. Keiklasan dr seorang guru patut di apresiasikan.

terima kasih @maulisaputra. betul, nilai tu yang harus tertanam dalam diri kita semua.

Bereh tat postingan jih bang.. Guru itu banyak jasanya. Udah seharusnya Pemerintah lebih terfokus ke guru yang menghadirkan semua calon penerus bangsa.

ya, meskipun pendapatn tidak sebanyak dengan pegawai2 lain, setidaknya ilmu akan menjadi bekal buat nanti. terima kasih @wal.wal

ceritab yang sangat bagus bg @abduhawab, dengan kata-katanya yang enak dibaca..
salam persahabatan

Guru pahlawan tanpa tanda jasa, apalagi guru bahasa Inggris :D

Coin Marketplace

STEEM 0.29
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 62937.86
ETH 3092.40
USDT 1.00
SBD 3.87