Senja di Tepi Sungai Batee Iliek

in #fiction5 years ago (edited)

sumber

Sore itu cahaya masih merah. Burhani duduk terpaku di tepi sungai Batee Iliek. Kedua matanya melesat ke batu-batu besar yang sudah terbelah, sesekali tangannya memainkan air. Lalu melempar batu-batu kecil ke tengah sungai, sekedar membunuh waktu senja. Beberapa tahun lalu, sungai itu begitu unik dengan batu-batu besar berdiri kokoh, air yang meliuk di sisi benda keras itu menjadi daya tarik tersendiri. Namun, kini sangat berbeda, batu-batu besar itu tak tahu dibawa kemana. Bila musim kemarau tiba maka sungai itu menciptakan berpetak-petak kubang, sampah-sampah berserakan, bungkus rokok, bungkus nasi dan beberapa bangkai binatang mengapung. Bila musim hujan tiba, air leluasa melahap tiap jengkal bantaran sungai. Tak ada lagi penghalang. Sekalipun wujud sungai itu bermuram durja, Burhani tetap merindui gemericik air di tepinya, warna hijau yang memantul seperti kilatan zamrud menjadi hiburan tersendiri baginya, yang sudah sekian lama ditinggal suaminya.

“Sudahlah Bur, dia mungkin sudah kawin dengan orang Melayu sana,” ujar Syuib. Lelaki yang mengejarnya sedari dulu.

Burhani masih terdiam sambil memainkan air dengan kedua tangannya. Baginya suara gemericik air seperti simfoni penenang jiwanya.

“Kenapa kau selalu mengikutiku, Syuib?”
“Aku kasian padamu, lihatlah tubuhmu sekarang. Kenapa kau membiarkan dirimu seperti orang tak punya siapa-siapa,”
“Apa urusanmu? Kau urus diri aja gak becus.” Ketus Burhani

Syuib, berbadan tambur itu terdiam. Dia beranjak pergi membiarkan Burhani menikmati sisa senja di tepi sungai itu. Malam merangkak perlahan seiring dengan gerak langkah perempuan malang itu. Burhani pulang. Di saat sedang berjalan tiba-tiba lampu senter Syuib tersembur tepat di kedua matanya.

“Kau lagi Syuib, kau lagi!!!” ujar Burhani geram bukan buatan.

Setelah suami Burhani merantau ke Malaysia. Syuib merasa, waktunya telah tiba buat meminang pujaannya itu. Barangkali lesung pipi Burhani menjadi alasan kenapa Syuib begitu menyukainya. Kecantikannya kerap membuat orang bertekuk lutut, tak terkecuali Syuib.

“Kau begitu keras kepala Bur. Kau tahu suamimu telah merampas hartaku yang berharga. Tapi setelah itu dia meninggalkannya begitu saja,” kata Syuib sambil merampas tangan Burhani.
“Lepaskan...! Aku tidak menyukaimu. Karena kau tidak tahu cara menghargai perempuan. Lepaskan aku, lelaki laknat!” kata Burhani marah.
“Tunggu, waktuku akan tiba!” Balas Syuib sambil melepaskan tangan Burhani.

Burhani sampai di rumah sembari membawa seberkas kepedihan. Kata-kata Syuib begitu menyakitkan. Seandainya suaminya ada bersamanya tentu hal itu tidak bakal terjadi. Karena lelaki bermata elang itu pernah tergapar di tanah dengan satu pukulan yang dilayangkan oleh suaminya itu jauh sebelumnya. Meski Burhani sudah punya suami, Syuib tidak menyerah. Barangkali dia sudah menjadi korban pilem India yang pantang menyerah untuk mendapatkan pujaan hati. Dia berusaha menjaga kehormatan kala suaminya bersamanya namun apa yang baru saja terjadi, sungguh menyakitkan. Matanya memerah, tetes per tetes airmatanya jatuh. Kepedihannya ikut bertambah di saat melihat kedua orang tuanya sakit-sakitan.

“Ambil segelas air, Nak,” kata ayahnya.

Kesedihan ia tahan dan beranjak ke dapur berlagak tidak terjadi apa-apa.

“Apa sudah ada kabar dari suamimu?” kata ayahnya di saat Burhani menyerahkan segelas air.
“Belum, Yah...”

Ayahnya menarik nafas panjang seakan bermacam kecurigaan menumpuk di tengah otaknya. Sesekali ia batuk akibat sakit paru-paru yang sedang menggorogoti tubuhnya.

“Lihatlah Ibumu, dia begitu tak berdaya sekarang. Sementara kaulah anak kami satu-satunya. Kaulah yang menjaga kami, tapi kalau kamu ingin menyusul suamimu, maka itu hakmu,”

Burhani antara mengangguk dan menggeleng. Perasaannya begitu kacau sekarang, uang yang sudah dikumpul dari hasil jerih payahnya bekeraja di sawah, bingung hendak digunakan kemana. Namun manakala melihat kondisi orang tuanya yang barangkali hidupnya tidak lama lagi membuatnya harus memilih.

Malam kian larut, suara air sungai Batee Iliek membawa ketenangan tersendiri baginya. Setelah berpikir beberapa lama, dia memutuskan

“Bur akan menjaga Ibu dan Ayah.” Katanya mantap.

Kedua orang tuanya tersenyum sambil menahan sakit. Tak lama setelah dia berada di kamar, hape berbunyi, nomor asing bertengger di layar. Dia mengangkat penuh semangat barangkali ini dari suaminya, namun tiba-tiba petir di musim kemarau menyambar pikirannya manakala ia mendengar seorang perempuan yang mengaku telah menikah dengan suaminya itu. Burhani yang sekolahnya tamat SMP tak mengerti betul dengan aksen bicara orang melayu. Hanya sepenggal kata yang ia tangkap “Bahwa aku istri dari suami yu.”

Burhani terdiam. Darahnya mengalir cepat ke ubun-ubunnya, lantas dia membanting hape pemberian suaminya itu ke kasur. Ia mengobrak abrik seprei hadiah perkawinan, poto yang terpajang dia banting diikuti pernak pernik terlepas dari ikatan, menggelinding ke tiap celah lantai kamar. Setelah merasa kecapaian dia berbaring, matanya terbelalak mengeja setiap kata-kata yang tertempel rapi di plafon kamarnya.

“Suami jahanam!” Burhani kalap.

Hingga pagi tiba, mata Burhani belum juga terpejam. Bertambahlah penderitaannya. Kantung matanya begitu jelas terlihat, hanya lesung pipi yang membuat wajahnya masih merona. Peristiwa itu setidaknya memberi celah buat Syuib untuk mendekatinya lagi.

Sebulan telah berlalu sejak ia mendengar kabar tidak sedap itu. Hidupnya tak tentu arah, sesekali terbayang ke dugaan Syuib bahwa suaminya itu benar telah kawin dengan perempuan lain. Burhani, gadis kampung ikut keciprat getah atas kebiadaban suaminya itu. Hanya tepi sungai itu bisa menentramkan gejolak jiwanya. Di tempat itu segala luapan emosi seakan tumpah ruah dan dibawa jauh laju air.

“Dulu aku kalap. Apapun sudah kuserahkan kepadanya. Terbukti sudah kelemahanku, kenapa Tuhan menciptakan telinga hingga aku begitu mudah termakan kata-kata manisnya.” Hatinya berguman sembari menatap pohon-pohon kecil yang seolah sedang menertawakan nasibnya.
“Bur, benar kan dugaanku,” kata Syuib kegirangan. Syuib membuyarkan lamunannya.

Syuib selalu mengikuti kemana Burhani pergi. Cintanya ke Burhani sangat cepat diketahui. Baginya Burhani adalah perempuan yang tak tergantikan di muka bumi ini. Bila ia diharuskan memilih antara ibunya dan Burhani, maka bisa dipastikan, tanpa pikir panjang dia akan memilih Burhani.

Lelaki yang lengannya sebesar paha lelaki sedang ini begitu percaya bahwa Burhani akan menjadi jodohnya nanti.

“Kau pikir dengan itu kau bisa kawin denganku?”
“Pasti!”

Jawaban Syuib membuat hati Burhani bergetar seolah menyiratkan, Syuib akan melakukan cara apapun untuk mendapatkannya.

“Bedebah, kau Syuib!”

Syuib tertawa menampakkan gigi kuningnya. Dan meloncat-meloncat seperti terinjak kotoran manusia. Semarah apapun Burhani, bagi Syuib itu tak lebih sebuah lelucon.

“Makin kau marah, rupamu makin cantik, amboi...!” kata Syuib masih meloncat-loncat.

Senja kembali menutup selangkangnya, gelap memeluk tiap atap rumah penduduk Batee Iliek. Burhani hendak beranjak pergi, tapi di saat kakinya menaiki tanjakan, dia terselip dan jatuh ke air. Kepalanya terhantam bantaran hingga berdarah. Syuib buru-buru mengangkat tubuh kurusnya. Dengan kondisi tak sadar Syuib membawanya pulang bak seorang pendekar. Kesempatan ini ia gunakan sebagai bukti bahwa dialah sang penyelemat sekaligus sebagai bukti dia layak disebut lelaki tangguh.

Satu jam kemudian mata Burhani terbuka, orang pertama dilihatnya adalah lelaki tambun itu tak lain adalah Syuib.

“Apa yang terjadi, Ib?”

Syuib tersenyum lebar, “Kau terjatuh ke air dan kepalamu menghantam bantaran sungai. Untunglah aku ada di sana,” jawab Syuib bangga.

Burhani membuang muka, pintu hatinya belum juga terbuka. Malah kata terima kasih enggan keluar dari mulutnya. Syuib merasa sedih, ternyata apa yang sudah dilakukan tak bernilai sepecing pun di mata Burhani.

“Hatimu ternyata sekeras batu-batu itu, Bur!” Syuib berkata seraya melangkah keluar dengan hati penuh luka.

Suara hape Burhani berdering, dengan gerak sekoyong-konyong dia memungut benda yang sedang bergetar itu. Suara serak seorang laki-laki menyentuh kupingnya.

“Dek, aku sekarang di dalam sel. Ternyata hukum alam bekerja sesuai dengan arahanNya,”

Burhani yang hatinya masih berdarah dengan lantang berkata, “ Biar kamu busuk di sana. Kau tidak tahu aku sangat menderita atas olahmu. Ternyata uang yang kau kirim itu adalah uang haram,”

“Maafkan Abang. Abang kira, dengan melakukan pekerjaan itu aku bisa membahagiakanmu,”
“Bahagia? Karena kau sudah kawin lagi, begitu??”

Tanpa menunggu perintah otak hapenya langsung ia banting, terbelah menjadi dua, kali ini dia tidak menangis, sikapnya kokoh. Baginya seorang pengkhianat layak dihukum bahkan sampai mati pun dia tidak akan memaafkan suaminya itu.

Syuib datang ke rumahnya dengan langkah tanpa beban. Berita atas penangkapan suaminya itu cepat tersebar, orang yang pertama tahu adalah Syuib. Kupingnya melebar manakala mendengar berita tentang suami Burhani.

“Bur, terimalah pinanganku,”

Burhani menatap Syuib dalam-dalam, membuat lidah lelaki tambur ini seakan terbelah.

“Keluar kau, kau anggap aku bodoh!” Burhani berkata dengan nada keras.

Orang tuanya yang sedang merintih tak ia pedulikan. Lelaki Tak Tahu diri ini musti enyah dari hadapannya. Syuib masih berdiri, kepalanya menunduk, dan memutar langkah lalu keluar.

Subuh menjelma, Malaikat maut bertengger di ubun-ubun Ayahnya yang tak berdaya itu. Tak lama kemudian, nafas lelaki tua itu berhenti. Seminggu kemudian disusul ibunya. Bertambahlah penderitaan Burhani, kini hidupnya kian menelangsa. Di tengah malam dia kerap pergi ke tepi sungai, membawa jiwanya yang kosong seakan ia ingin tumpahkan semuanya ke dalam air yang sedang mengalir itu. Juga dia akan mengatakan pada pohon-pohon kecil yang sering mengejek penderitaannya untuk berhenti. Karena hidupnya kini terasa tak berarti, diam dalam detak waktu. Sejak kematian ibu-bapaknya Burhani sering menghabiskan waktu di tepi sungai Batee Iliek, bahkan hampir sepanjang waktu dia duduk di tepi sungai itu. Hanya gemericik air yang bisa menentramkan jiwanya. “Biarlah senja bisu ini merenggut ketenanganku” hatinya bergumam. Senja pun raib, Burhani masih juga bermain-main dengan air sungai itu sesekali ia tertawa terbahak-bahak manakala cipratan air masuk ke rongga hidungnya.

U5dtbQKKmfKuqu7QB1uxntFotPFr9Dq_1680x8400.jpg

Sort:  

Hana neupeugah² jak u batee iliek :(

haha...lon sereng u batee iliek, gmpong lon sago nyan

Gamba Bereh bg.. Lon pike atra neulukis ,, Saleum mantong bg..

Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.12
JST 0.034
BTC 63877.55
ETH 3143.56
USDT 1.00
SBD 3.97