The Hill of Grief: a Short Story in the Land of War | Bukit Duka |

in #fiction6 years ago



WARGA menyebutnya begitu karena dari kejauhan ia menyerupai wajah orang sedang berduka. Dari jalan kampung, dua butir batu raksasa itu terlihat seperti biji mata. Di bawahnya, terdapat bagian gundul melengkung ke atas serupa mulut manusia. Entah siapa yang menamakannya demikian. Tapi tanyakanlah kepada orang tertua kampung di bawah kaki bukit. Pasti ia akan mengaku sejak kecil sudah mengenal daerah itu sebagai Bukit Duka.

Kawasan itu jarang dijamah manusia karena dianggap angker. Begitu kabar beredar, padahal sebenarnya sengaja diembuskan pelaku pembalakan liar. Ketika operasi militer, Bukti Duka tambah menakutkan karena ada posko dibangun di kaki bukit. Di sana sering terjadi baku tembak antara tentara dengan gerilyawan. Setelah tembak-menembak berlalu, tentara menggelar razia. Setiap orang melintas diperiksa dengan saksama. Semua bawaan digeledah. Kalau ada yang mencurigakan, orang itu masuk ke dalam pos untuk diperiksa lebih lanjut. Sudah banyak yang dibawa, diperiksa, diinterogasi, dan tak pernah kembali. Jumlahnya tak diketahui pasti.

Itu sudah menjadi kisah pilu masa lalu yang dikenang dalam cerita-cerita di warung kopi. Kini Bukit Duka berubah menjadi bukit gembira setelah warga menemukan berbagai jenis batu giok. Tanah kuning itu mengandung batu bio sollar, batu sulaiman, giok lumut, belimbing, solar madu, cempaka madu, indocress, dan sebagainya.

Mulanya, para pencari giok berasal dari warga di bawah kaki Bukit Duka. Pemberitaan di media massa membuat Bukit Duka menjadi ramai didatangi orang dari berbagai pelosok. Pemerintah setempat—seperti biasa—lamban dalam menertibkan penambangan itu. Setelah nyaris terjadi baku hantam akibat perebutan batu, baru dibangun pos pengamanan di jalan masuk dan keluar. Saat itulah muncul sebutan “pendatang” dan “warga asli” untuk membedakan penduduk sekitar kampung Bukit Duka dengan warga luar daerah.

Setelah ribut-ribut, petugas mendata penambang. Kemudian mendata batunya. Berapa kilo yang dibawa warga, dan jenisnya apa saja untuk kemudian dikenai retribusi. Pendataan manusia dan giok tidak menimbulkan masalah. Namun, pengutipan retribusi menimbulkan keributan karena dianggap memberatkan. Bukit Duka sempat ditutup dan dijaga polisi. Sebulan kemudian, penambang kembali saat polisi sudah tak ada lagi di sana.




SEKELOMPOK orang luar dari daerah diam-diam mencoba menjelajah tempat lebih dalam. Dan di sana, di antara ceruk seberang bukit, mereka menemukan batu yang mencuat dari permukaan tanah. Belum diasah pun, giok itu sudah berkilauan ditimpa sinar matahari yang menerobos melalui sela-sela dedaunan. Mereka berpikir, batu itu hanya sekepalan orang dewasa. Tapi setelah dipacul sampai dalam, ternyata batu itu sangat besar. Ujung pacul membentur benda keras.

Diam-diam mereka menimbun batu giok berwarna madu itu dengan tanah. “Selimuti lagi dengan dedaunan,” seorang di antara mereka berkata sambil meraup dedaunan kering di sekitarnya. Dia menutup tanah basah itu dengan daun-daun kering. Empat kawannya mengikuti. Tanah basah kini sudah tak terlihat lagi. Mereka mengatur rencana membawa batu giok itu tanpa keributan.




TERNYATA tidak mudah. Sehari setelah menemukan, mereka kembali malam hari dengan peralatan lebih lengkap. Hati-hati, mereka menggali di samping giok raksasa dengan cangkul. Semakin dalam digali, cangkul masih saja terbentur bahan keras. Setelah membuat lubang sedalam satu meter, mereka belum juga sampai di dasar batu.

“Giok ini besar sekali.”

“Mungkin 20 ton ada, ya?”

“Bisa jadi lebih.”

“Kita akan kaya raya.”

“Ssst, jangan mikir itu dulu. Pikirkan gimana kita bawa ini batu keluar.”

Percakapan itu berlangsung dalam gelap. Mereka sadar, tak mungkin mengangkat giok itu tanpa bantuan alat berat. Tapi mendatangkan alat berat akan mengundang perhatian. Selain itu, alat berat susah masuk sampai di ceruk bukit. Butuh lebih banyak tenaga dan peralatan.

“Kita pahat saja batu ini sedikit demi sedikit.”

Mereka sepakat untuk memahat. Ujung-ujung pahat yang tajam mereka lekatkan di lekukan batu agar mudah terbelah. Untuk meredam suara, mereka menggunakan dedaunan dan tanah di dasar batu. Dentuman masih terdengar ketika godam menghantam gagang pahat, tapi tak senyaring tanpa peredam alami.

Akhirnya, mereka pulang dengan beberapa genggam batu giok madu dalam tas masing-masing. Batu mulia raksasa itu ditutupi kembali dengan tanah dan dedaunan kering. “Malam besok kita kembali dengan peralatan lebih lengkap.”

“Ya, agar lebih banyak giok yang bisa kita bawa.”




SELEPAS magrib, mereka kembali ke ceruk Bukit Duka dengan peralatan lengkap dan persediaan makanan lebih banyak. Mereka akan bekerja sampai pagi agar lebih besar giok yang dibawa. Tanpa bersuara, mereka membelah hutan belantara dengan menggunakan senter taktikal bercahaya tajam.

Sesungguhnya, ceruk di Bukit Duka tidak mudah dijangkau karena jalurnya menurun dengan pepohonan pinus di sekitarnya. Mereka menjadikan pohon pinus sebagai pegangan bahkan sebagai tempat beristirahat dengan menyandarkan tubuh sembari mengatur napas. Turun ke ceruk Bukit Duka sudah sulit, tetapi keluar dari sana jauh lebih sulit.

Langkah kelima lelaki itu seketika terhenti hampir bersamaan. Mereka menatap cahaya terang di atas batu giok yang kini gundukannya terlihat jelas. Beberapa orang berjaga di sana dengan parang, cangkul, lembing, dan linggis. Tidak ada yang bekerja menggali, mereka hanya duduk mengobrol, terlihat dalam posisi siaga seolah siap perang untuk menjaga harta karun dari rampasan kaum penjajah.




SETELAH malam itu, pendatang dan warga asli kini berhadapan dengan senjata masing-masing. Pacul di tangan warga sudah berganti parang. Jarak mereka hanya sekitar 10 meter dan dipisahkan giok yang kini sudah digali separuhnya sehingga terlihat seperti bongkahan emas raksasa.

Lima lelaki pendatang memutuskan untuk memberitahukan penemuan giok raksasa kepada semua pendatang. Mereka merasa berhak mendapatkan karena merekalah yang menemukan. “Siapa yang nemu, jadi hak milik. Itu aturan yang selama ini berlaku!” teriak mereka.

Warga lokal melihat dengan cara berbeda. Mereka merasa lebih berhak karena giok raksasa terletak di kampung mereka. “Kami lahir di sini. Minum dari air di tanah ini. Hidup di tanah ini, mati pun di kuburkan di sini, di bawah batu-batu giok ini!”

Pertentangan nyaris berbuntut pertumpahan darah. Apalagi, beredar isu di bawah giok raksasa itu terdapat butiran-butiran giok langka yang mahal harganya. Pemerintah yang biasanya lamban, kali ini dengan sigap mengirim polisi dan tentara. Kini, selain batu giok raksasa, aparat keamanan bersenjata lengkap menjadi pemisah antara dua kelompok massa.

Pertumpahan darah urung terjadi, tetapi warga masih berada di lokasi dengan senjata masing-masing. Polisi mengimbau warga tidak memegang senjata tajam, tapi warga beralasan itu bukan senjata melainkan perkakas kerja. Alim ulama juga meminta warga menahan diri, mengendalikan nafsu amarah karena warga pendatang dan warga asli seperti kaum muhajirin dan ansar di masa Rasulullah. Namun, ketegangan tak kunjung reda.

Kedua massa tetap berkeras berhak atas giok. Sepekan berlalu, ketegangan menurun mengikuti fisik dan mental warga. Aparat keamanan membangun tenda untuk berjaga siang dan malam. Dua kelompok warga diputuskan menjauhi batu giok masing-masing sejauh 50 meter dan mereka terpaksa menyanggupi. Tidak ada yang berani melawan aparat bersenjata, selain pemerintah sudah berjanji akan mencari solusi atas pertikaian tersebut.

Ada yang mengusulkan giok dibelah dua untuk kaum pendatang dan warga lokal. Biaya mendatangkan alat berat ditanggung kedua pihak. Pendapat lain mengusulkan hasil penjualan giok digunakan membangun masjid di bawah kaki Bukit Duka. Pemerintah setempat memiliki rencana lain, giok tak akan diberikan kepada warga lokal, apalagi bagi warga pendatang. Tidak juga digunakan untuk biaya pembangunan masjid di kaki Bukit Duka yang sunyi tanpa penambang. Hasil dari batu giok raksasa sepenuhnya akan masuk ke kas daerah dan digunakan bagi kesejahteraan rakyat. Itu yang akan dikatakan pemerintah nanti, setelah ketegangan berlalu. Rencana itu membutuhkan lebih banyak aparat untuk berjaga.

Aparat keamanan merasakan begitu sulitnya bertugas di kampung terpencil. Ketika ketegangan antarwarga di awal penambangan terjadi, mereka diminta komandan meninggalkan tempat lebih cepat karena biaya keamanan sangat kurang. Uang lauk-pauk tak memadai. Biaya makan di belantara lebih mahal dibandingkan di kota kecamatan.

Situasinya kini tak jauh beda. Mereka hanya menjadi pemadam kebakaran, merelai warga merebut harta, tapi mereka tak mendapatkan apa-apa. Kalau jatuh korban, mereka yang disalahkan. Dituding melanggar HAM.

Satu regu tentara dan polisi sepakat mengambil sedikit upah jaga. Tengah malam, mereka menggali tanah di sisi lain. Penggalian dilakukan lebih dalam, bukan untuk mengangkut giok raksasa atau menowel serpihan giok. Mereka hanya ingin mengambil batu-batu kecil yang kabarnya terkandung di bawah giok raksasa. Giok jenis langka yang lebih mahal harganya.

Sebagai orang terlatih, mereka menggali cepat di sisi yang belum tersentuh. Cangkul seorang tentara membentur benda keras, senter-senter di tangan prajurit lain segera menyorot. Mereka mencoba mengorek tanah dengan hati-hati, menyingkirkan bongkahan tanah yang menghalangi pandangan. Ketika mata cangkul kembali membentur benda keras, mereka menemukan sepotong tulang lengan berwarna putih kusam. Berikutnya mereka mendapatkan lebih banyak potongan tulang, sampai seorang polisi berseru karena melihat tengkorak manusia.

Penggalian terhenti seketika. Polisi dan tentara berpangkat rendah itu berembuk. Kalau ditanyakan komandan mengapa menggali, mereka tak mungkin berterus terang. Paling aman adalah menguburkan tulang-belulang itu kembali ke tempat semula. Toh, nanti akan ditemukan saat penggalian dilakukan dengan alat berat.

Menjelang subuh, mereka bekerja lebih cepat untuk menutupi bekas galian. Mereka memang sudah lelah dan tidak mendapatkan giok, tetapi minimal terhindar dari masalah. Kalau saja menggali lebih dalam, mereka akan menemukan puluhan tengkorak manusia di bawah giok raksasa.[]

Cerpen di atas pernah dimuat di harian Media Indonesia edisi Minggu 21 Februari 2016. Dapat juga dibaca di Kliping Sastra Indonesia pada tautan di sini atau Situs Sastra Lakon Hidup di sini.






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Hi @ayijufridar ! I do not know indonesian but I guess you are writting about the ancient stones of that place, right?

By the way, there is an opportunity now on the steem blockchain, were you can get anywhere from 20 usd to $80 depending on your Steem user reputation. It is the byteball airdrop to Steem Users.

First we need to Download the Byteball Wallet, and after downloading it, follow the instructions below.

Check this link from the core team devs with very simple instructions: https://steemit.com/steemit/@punqtured/official-byteball-airdrop-to-steemians

I can send you the needed funds to finish the attested process, since I already got my reward.

I made this post with the instructions: Steem Ambassadors - (Around 60 USD to 80 USD for free) - Already got mine - The Byteball Token Airdrop to Steem Token Holders

Regards, @gold84

That’s right @gold84. My short story about the ancient stones of the place in Aceh, Indonesia and that’s based true story.

Thanks so much for your information @gold84. I will response later. I am in the journey when reading it.

good post saludos

Sangan berguna dan mencerahkan informasi nya.

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.12
JST 0.034
BTC 63688.35
ETH 3125.30
USDT 1.00
SBD 3.97