Fiction 2: Janji untuk Ayah

in #fiction6 years ago (edited)

37080592_912036675664103_8444203581392814080_n.jpg

DINGIN mencabik tulang, lelah dan kantuk kian menyerang. Semilir cuaca dingin kian tak bersahabat dengan netra yang kian mengajak lelap di dalam mimpi. Sementara layar laptop di hadapanku pun mulai berkedap-kedip karena energi daya tinggal lima persen. Sebelum tidur aku harus menyelesaikan semua bahan-bahan yang akan kupresentasikan esok hari di acara Budaya Asia Mendunia. Sebuah kehormatan, dari sekian mahasiswa Indonesia yang berada di kampus, akulah yang terpilih untuk mewakili Indonesia. Tugasku mengangkat salah satu kebudayaan daerah yang berada di Indonesia ke forum seminar yang bertujuan untuk mempromosikan kebudayaan Indonesia pada dunia.

“Kau tak tidur, Yuk?” tanya Dina, temanku yang tinggal satu asrama.

“Belum, Din. Sedang menyelesaikan tugas untuk besok.”

“Jangan terlalu larut malam, Kau. Besok tak bisa bangun jadinya,” ledek Dina, dengan logat khas Bataknya.


Beginilah nasib penerima beasiswa kampus seperti diriku. Selain harus mandiri, aku juga harus belajar sungguh-sungguh untuk mempertahankan nilai. Jika salah satu nilai yang diperoleh tidak sesuai target, maka beasiswa akan tergeser pada yang lain. Di sisi lain jika uang beasiswa belum turun, aku pun harus bersiap menkonsumsi mie instant selama satu minggu, atau mencari pinjaman kepada rekan-rekan yang lain. Kadang aku juga harus bekerja paruh waktu di restorant sarapan pagi untuk menyambung hidup di negeri orang. Tetapi di sisi lain aku juga harus berjibaku dengan tugas kuliah dan praktikum, yang semuanya benar-benar menguras waktu, kesabaran, dan tenaga yang luar biasa.

Ini adalah semester akhirku di International Master of Arts program in cultural creactive industries di National Taiwan Ocean University (NTOU) di Keelung. Untuk dapat menimba ilmu di sini, banyak rintangan yang harus kulalui. Tak hanya perjuangan untuk lulus dari test dan pendidikan. Tetapi aku juga harus menelan pil pahit kehidupan, jika kelak pulang ke kampung halaman aku tak bisa lagi bertemu dengan bapak. Sosok yang selama ini selalu memberikan motivasi dan semangat untuk terus meraih pendidikan dan masa depan lebih baik.

“Nduk, bapak ndak bisa memberikanmu harta warisan, karena kita orang ndak mampu. Tapi bapak akan selalu memberimu semangat dan dukungan untuk meraih pendidikan guna masa depan lebih baik. Doa bapak selalu menyertaimu, Nduk. ”

Ach ... nasihat itu laksana pemantik semangat, jika aku mulai kendur dan berjuang dengan rasa lelah.”

***

Bapak meninggal saat aku tengah menghadapi ujian semester pertama dan baru beradaptasi di sini. Sungguh betapa rapuhnya aku saat itu? Ingin pulang, tapi tak mungkin. Bukan hanya masalah dana untuk membeli tiket, tetapi konsekuensi yang harus kuambil setelah aku menandatangi surat beasiswa sebelum burung besi membawku ke mari menyongsong berjuta cita. Hanya kepada Sang Pemilik Kehidupan, aku berpasrah diri dan terus berjuang mewujudkan keinginan almarhum. Sebuah janji yang kami ucapkan bersama di bawah pohon, saat bapak kelelahan memboncengku saat masuk pertma kuliah dan mengikuti Ospek.

“Apa Bapak lelah? Biar aku turun saja kalau Bapak keberatan?” tanyaku.

“Ndak, Nduk. Bapak ndak lelah, kita harus segera sampai ke sekolahanmu, karena ini adalah hari pertama kamu masuk kuliah,” jawabnya dengan napas ngos-ngosan.

“Bapak ... bahkan Kau pun berbohong demi membuatku tetap semangat dan tak mudah menyerah.”

*****

Semilir angin kian menambah hawa dingin pagi ini, kurapatkan syal ke leher agar menyatu dengan hijab yang kukenakan untuk mengurangi rasa gigil. Meski memakai sarung tangan, hawa dingin tetap terasa menggerogoti pori-pori. Musim dingin merupakan sesuatu yang tak dirindukan oleh semua warga negara Indonesia di sini. Karena perbedaan cuaca sangat jauh dengan Indonesia yang sepanjang tahun mengalami musim panas dan musim penghujan. Taiwan memiliki empat musim, panas, semi, dingin, dan gugur. Musim dingin berlangsung antara bulan Desember hingga Februari , dimana temperatur udara rata-rata mencapai 8-19 derajat celcius.

Kereta yang kutumpangi melaju cepat menuju Kota Taipei, jantung keramaian Taiwan. Setelah sampai di stasiun, aku bergegas menuju pintu keluar sesuai yang tertera di brosur seminar dan kucari jembatan layang yang menjadi petunjuk menuju gedung seminar. Langkahku terhenti saat melihat seorang kakek tua yang duduk dibawah jembatan. Pakaiannya lusuh, mengenakan jaket penuh tambalan. Di sampingnya terdapat bungkusan kain semacam taplak meja dan botol air mineral yang tinggal separuh.

Entah mengapa hatiku seakan teriris, aku seperti melihat sosok almarhum bapak pada kakek tersebut. Ingin kudekati dan bertanya sedang apa dia di sana? Apakah tak kedinginan hanya mengenakan pakaian demikian di ruangan terbuka. Namun niat tersebut kuurungkan, mengingat waktu untuk presentasi sudah mepet. Kulirik arloji di pergelangan tangan, pukul 09.45, hanya ada waktu lima belas menit untukku sampai ke tempat seminar. Mana harus salah gedung lagi, huftt ... benar-benar menyebalkan. Dengan bahasa Mandarin pas-pasan kubertanya pada penjaga keamanan di taman.

“Permisi, maaf mau tanya. Bisakah Tuan menunjukan alamat yang tertera di sini,” tanyaku sembari kutunjukan kertas undangan seminar kepadanya.

“Owh ... alamat ini berada di sebelah dari gedung ini, mari saya antar.”

“Terima kasih banyak, Tuan. Maaf jika sedikit merepotkan.”

Dengan senyum ramah, petugas itu mengantarkanku hingga di depan pintu ruangan seminar. Para peserta sudah banyak yang hadir, meskipun acara belum dimulai. Setelah mengisi buku daftar tamu, aku bergegas mencari tempat duduk. Dari kejauhan kulihat seseoarng melambaikan tangan, datang dan menyapa.

“Hiii, good morning, Rahayu. Please take your sit over there,” sapa Jane, panitia seminar yang juga penduduk lokal di sini.

Thank you very much, Jane. I’m so sorry, little bit late.”

“It’s OK. Hasn’t start yet. Nice to meet you here.”

Nice to meet you too, Jane.”

“Hmmm … Bay the way, Have you eaten Rahayu?”

Yeah, I eaten already. Thank you.”

Meskipun sebenarnya tadi pagi aku belum sempat sarapan, karena terburu-buru.”

Sebagai seorang muslim berada di sebuah negara di mana umat Islam menjadi minoritas tidaklah mudah. Tidak sedikit dari teman-teman kampus yang bertanya, mengapa aku harus mengenakan penutup kepala? Ketika kujelaskan alasannya, mereka balik bertanya, Mengapa Dahlan rekan di kampusku tidak perlu memakainya? Seketika itu juga aku harus menjelaskan jika hijab wajib dipakai untuk wanita yang beragama Islam. Terutama Jane, ia sering bertanya mengapa orang Indonesia sering meneriakkan pembunuhan dengan ucapan “AllahuAkbar”, mengapa kerap sekali terjadi unjuk rasa dan saling bersitegang.

Mengapa? Dan lagi-lagi aku harus menjelaskan jika Islam tidak pernah menyerukan pembunuhan, kebencian, dan bertindak anarkis. Hanya orang-orang yang mengatasnamakan Islam dan menyalahgunakan agama untuk bertindak brutal dan kejam. Islam adalah agama yang cinta damai dan saling menghargai. Karean di dalam Al-Quran, kami diajarkan bagaimana harus saling mengasihi dan menghormati satu sama lain.


Perjuanganku tak sia-sia. Presentasiku berjalan lancar, dengan mengangkat tema Tari Melinting dan kebudayaan Lampung lainnya , aku mempromosikan kebudayaan Indonesia. Lampung adalah provinsi termuda di pulau Sumatera yang berdekatan dengan Selat Sunda. Lampung akan identik dengan kopi, di provinsi ini juga terdapat tempat penangkaran gajah dan satwa langka terbesar di Indonesia yaitu Taman Nasional Way Kambas di Kab. Lampung Timur. Peserta seminar sangat antuasias dengan siger, mahkota yang dikenakan pengantin perempuan saat menikah.

Di Lampung kaum wanita sangat dimuliakan dan dihargai. Itu terbukti dari siger yang mereka kenakan, yang berarti terhormat dan berwibawa. Mereka berdecak kagum pada benda yang berbentuk segitiga dan memiliki sembilan lekukan berwrna kuning, yang menyerupai bentuk emas tersebut. Beberapa mahasiswa ada yang mengemukakan niatnya mengisi liburan panjang untuk mengunjungi Lampung. Mereka ingin gajah dan binatang langka lainnya yang wajib dilindungi. Sebelum acara ditutup, panitia membagikan nasi kotak untuk makan siang. Mendapat makanan gratis merupakan rezeki bagi mahasiswa di luar negeri, karena bisa menghemat pengeluaran. Termasuk aku.

***

Kulangkahkan kaki menuju Taipei Main Station bawah tanah menuju sebuah mushola kecil untuk menunaikan salat Dzuhur, setelah itu aku akan menyantap nasi kotak pemberian di seminar. Cacing pita di perutku juga sudah demo, karena tadi pagi aku tidak sempat sarapan. Meski bukan negara muslim, Taiwan sangat ramah terhadap warga negara Indonesia yang berada di sini. Terutama kepada para pekerja migran. Di Taiwan banyak oraganisasi-organisasi ketenagakerjaan yang menampung aspirasi, serta membantu sesama. Pada hari libur mereka sering mengadakan kegiatan rutin keagamaan. Seperti pengajian, tauziah, tabligh akbar, serta memperingati hari-hari besar Islam lainnya.

Sesampainya di bawah jembatan penyeberangan yang kulewati aku berhenti, mataku menangkap pemandangan yang memilukan. Lelaki tua yang kutemui saat hendak ke seminar tadi tengah berdiri di sebuah kotak sampah besar. Tangan rentanya gemetaran sembari mengorek sampah mencari sisa-sisa makanan yang dapat ia makan. Tak bisa kubayangkan jika rasa lapar itu telah ia rasakan sejak tadi pag dalam keadaan yang dingin seperti ini, di usia yang renta. Aku membayangkan jika lelaki itu adalah bapakku, betapa aku menjadi seoarng anak yang tidak berguna. Berlahan aku mendekat dan memberanikan diri untuk bertanya.

“Bapak lapar?” tanyaku ragu-ragu, takut ia tersinggung.

Sang kakek hanya tersenyum, matanya yang sendu melukis kerasnya kehidupan.

“Ini aku ada makanan, ambilah!” sembari kusodorkan nasi kotak dan segelas air mineral yang kudapat tadi.

<

“Lalu kamu ? ...” tanyanya lirih. Memastikan aku tidak akan kelaparan, jika makanan itu kuberikan padanya.

“Aku masih ada makanan lain di dalam tas, makanlah!” kuyakinkan dia, jika aku akan baik-baik saja.

37076743_912047652329672_863617983631589376_n.jpg

Lelaki tersebut menundukan kepala, berterima kasih. Kulihat matanya berkaca-kaca, terharu. Ia pun menuju sebuah sudut bangunan di mana ia meletakan barang-barangnya di atas sehelai kardus sebagai alas duduk. Aku pun melangkahkan, dari kejauhan kulihat betapa lahap kakek menyantap makanan tersebut. Aku menggigit bibir, menahan embun yang berdesak-desak hendak keluar karena rasa haru. Bersyukur, aku masih bisa memberikan pertolongan kepada sesama yang tengah membutuhkan. Meski diriku juga berada dalam kekurangan.

Setelah menunaikan salat dzuhur, aku bergegas menuju tempat pemberhentian kereta untuk pulang. Masih ada tugas profesor yang harus kukerjakan untuk persiapan ujian. Impianku satu, lulus tepat waktu dan kembali ke Indonesia. Memenuhi janjiku pada bapak, untuk berbagi ilmu dan pengalaman yang kudapat di Taiwan untuk membangun Indonesia. Kupercepat langkah kaki menuju asrama, cacing di dalam perut ini sudah tidak bisa diajak kompromi. Sesegera mungkin aku ingin memasak mie instan yang kubeli dua hari lalu di toko Indo yang menjual berbagai kebutuhan orang Indonesia. Meski berada di luar negeri, menu nusantara adalah incaran pertama dalam segala suasana.

Sumber Gambar1, 2, 3

Taiwan, 13 Juli 2018

Salam Hangat

@ettydiallova

36761902_905058436361927_6741570806003793920_n.jpg
36331904_897295427138228_2528862471708475392_n.png


Posted from my blog with SteemPress : https://aksaradiallova.org/2018/07/14/janji-untuk-ayah/

Sort:  

Keren fiksi nya😮

Terima kasih sudah mengapresiasi...

Ditunggu lagi kelanjutan ceritanya...hehehe

Terima kasih Bang @tusroni.

Kak, tanya dunk 😁
Jenis beasiswa yg ada disana apa aja? Apa dari kampus Taiwan nya or dari pemerintah kita?

Hii Mba @diyanti86
Beasiswa banyak yg dikeluarkan oleh kampus Taiwan, karena disini kekurangan mahasiswa, sehingga pihak melakukan kerja sama dgn beberapa universitas untuk program beasiswa.

Berarti cm nanggung uang kuliah ya mb? Apa skalian uang saku bulanan jg?

Membaca cerita di atas mata saya sempat berkaca-kaca mbak @ettydiallova ceritanya cukup menyentuh 😢🙂

Terima kasih atas Appresiasi yang diberikan Mba @santiintan,

Coin Marketplace

STEEM 0.28
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 63861.47
ETH 3215.28
USDT 1.00
SBD 3.84