My Fiction Story: A Cup of Life #2

Sumber

Di kota ini biasanya ketika azan akan berkumandang, maka lantunan ayat suci akan dilantunkan dengan suara yang besar menggunakan microphone. Hal itu sebagai pertanda tak tertulis bahwa azan akan segera berkumandang.
Lamunanku akan kesederhanaan kota ini buyar begitu saja ketika pria yang berada di seberang depan mejaku tadi berteriak.

“Ihsan!” teriak sang pemuda sembari melambaikan tangan. Di seberang sana. Di samping masjid baiturrahman aku melihat seorang pria tinggi putih turut melambaikan tangan ke arahnya. Pria itu terlihat melangkah menuju caffe.

“Jangan sombong kali lah, San,” ucap pria yang memiliki gadget tadi kepada temannya yang kutebak bernama Ihsan.

“Bentar lagi azan. Ayo ke masjid dulu! Siap sholat baru kita ngopi lagi,” ucap Ihsan kepada temannya itu.

“Baru ngaji, Bro! Ngapain cepat kali ke masjid,” temannya kemudian beralasan. Sebenarnya tampak memang ia tak berminat ke masjid.

“Alah kau ini. Malas bayar kopi lagi nanti kan? Tenang aja! Biar aku yang traktir nanti. Sekarang kita ke masjid dulu,” rayu Ihsan. Aku disini masih terpaku dengan percakapan kedua pemuda itu.

“Hahaha. Baik sangat temanku ini. Oke. Yuk ke masjid! Sholat berjamaah,” ujar pria tadi bersemangat. Memukul pundak Ihsan antusias. Tertawa.

“Aku pahamlah perangai kau ini!” ucap Ihsan dengan eskpresi yang pura-pura marah. Sinis yang dibuat-buat.

Ketika melihat mereka beranjak meninggalkan caffe. Kakiku seakan turut mengikuti langkah mereka. Hatiku tergerak begitu saja untuk melaksanakan sholat berjamaah di Masjid Baiturrahman. Serasa malu diri ini. Semenjak aku di Jakarta, aku sering sekali menelatkan sholat.

Aku segera menghabiskan cappuccinoku yang tinggal setengah. Setelah membayar aku langsung melangkahkan kaki menuju masjid. Apapun itu, sosok Ihsan yang tiba-tiba hadir telah memberiku pencerahan. Pemuda aceh yang telah berhasil mengubahku dengan sikapnya.

bersambung...