Oase Ramadan #2: Berkaca dari Kegigihan Si Penjual Ikan

in #garudakita6 years ago

OASE RAMADAN.jpg
Design by @hayatullahpasee


Banyak fragmen-fragmen kecil di sekitar saya yang sarat akan makna. Selama ini barangkali saya masih kurang peka untuk menangkap fragmen tersebut, sehingga lewat begitu saja tanpa ada hikmah yang bisa saya ambil barang secuil. Saya sering ke pajak ikan, karena salah satu tugas utama saya di rumah adalah berbelanja. Apalagi kontrakan saya cuma selemparan batu dengan pasar, jadinya saya makin rajin saja berbelanja. Ditambah karena tidak punya kulkas, jadi saya lebih suka berbelanja untuk memenuhi kebutuhan harian saja. Tapi rasanya kok baru kali ini saya melihat ada sesuatu yang tak biasa di pajak ini.

Kemarin sore saya berbelanja ke pasar seperti biasanya. Tujuan utama saya adalah pajak ikan karena memang ingin membeli ikan. Walaupun baru puasa hari pertama tapi stok daging makmeugang di rumah sudah habis, karena saya sengaja membeli daging dalam jumlah yang terbatas. Kebutuhan dapur lainnya yang ingin saya beli sudah saya catat di kepala.

Sore itu pajak ikan tampak sangat sepi, padahal jarum jam belum genap pukul lima sore. Di hari-hari biasa jam segitu bisa jadi adalah puncak keramaian di pajak ikan. Saya maklum, barangkali karena ini hari pertama puasa, jadi banyak pedagang ikan yang memilih cuti.

Saya berkeliling ke beberapa lorong. Setiap lorong paling cuma ada satu atau dua pedagang. Tapi ikan-ikan yang dijajakan sama sekali kurang menarik hati. Ikannya sudah loyo-loyo karena kelamaan kena es. Lagi-lagi saya memaklumi, karena sehari atau dua hari sebelum puasa nelayan umumnya juga cuti melaut. Ini tradisi tak tertulis yang sudah dilakukansecara turun temurun oleh nelayan di Aceh. Demi menghormati masuknya bulan suci Ramadan.

Saya lantas beralih ke lorong yang ke sebelah kanan. Mata saya menangkap setumpuk ikan tongkol yang tampaknya masih lumayan segar. Namun setelah saya lihat dari jarak dekat ikan-ikan itu pun sama loyonya dengan ikan-ikan yang sebelumnya. Alhasil saya harus beranjak ke lorong yang lain lagi. Kali ini tujuan saya ke lapak seorang bapak-bapak, usianya saya perkirakan sekitar 40-an. Karena tidak membawa ponsel saya tidak bisa memotretnya.


pelabuhan.jpg
Suasana pagi Minggu di TPI Susoh, Aceh Barat Daya


Ketika saya datang ia sedang membersihkan ikan yang dibeli oleh seorang pelanggan. Saya pun lantas memilih-milih ikan tongkol yang hendak saya beli. Kondisinya lumayan bagus dari yang sebelumnya saya lihat. Sembari menunggu si Bapak menyelesaikan pekerjaannya, saya sempat mengamati wajahnya. Tampak sangat lelah. Rambutnya kusut masai, tak dapat disembunyikan meski sebagiannya tertutup topi pet yang juga sama lelahnya dengan sang empunya.

Lututnya pun barangkali sudah berteriak-teriak minta diistirahatkan. Tapi ia tetap berdiri di sana demi melayani pelanggannya. Sebelum kami datang si Bapak sepertinya sedang berkemas-kemas untuk menyudahi aktivitas hariannya itu. Di meja tempat ia menjajakan ikan, sudah tak ada lagi timbangan. Saat ia harus menimbang ikan yang saya pilih, si Bapak menggunakan timbangan temannya di meja sebelah. Dengan hati-hati karena takut tergelincir, ia menyeberangi meja lapak permanen itu. Timbangan miliknya ternyata sudah disimpan di bawah meja yang berjarak dua meter darinya. Terpaksa ia keluarkan lagi karena setelah saya ada sepasang suami istri yang menjadi pelanggannya.

Di tengah-tengah itu juga ada seorang perempuan muda yang mampir ke lapaknya, saya tidak tahu apakah perempuan itu membeli ikan di tempatnya atau tidak karena saya sudah harus pergi.

Melihat bapak itu saya langsung terbayang wajah almarhum Ayah. Saat kami masih kecil Ayah juga pernah menjadi pedagang ikan. Bedanya Ayah tidak berdagang di pasar seperti Bapak tersebut, melainkan menjadi penggalas atau mugee dan menjual ikannya kepada buruh kebun di PT. Bumi Flora di pelosok Aceh Timur sana. Untuk itu Ayah harus menempuh perjalanan berpuluh-puluh kilometer. Pagi-pagi sekali Ayah sudah siap dengan jaket hitamnya, sepeda motor RX King, dan sepasang keranjang yang bertengger di jok belakang.


ikan.jpg
Ikan tangkapan nelayan di TPI Susoh, Aceh Barat Daya


Kemudian pergi ke Kuala Idi untuk membeli ikan, sekitar pukul sembilan pagi barulah Ayah bergerak menuju ke PT. Bumi Flora. Pulangnya kadang sore, kadang malam, tergantung cepat atau tidaknya ikan-ikan itu terjual. Kalau musim hujan kadang-kadang Ayah baru sampai ke rumah tengah malam. Dengan kondisi motor yang penuh lumpur dan wajah yang sangat kelelahan. Tapi Ayah tak pernah mengeluh capek.

Hal yang paling menyenangkan buat kami adalah ketika gajian tiba. Para buruh kebun itu membayar ikan-ikan yang mereka ambil pada Ayah sebulan sekali, menyesuaikan dengan gaji mereka di perusahaan perkebunan. Biasanya saat gajian Ayah selalu pulang terlambat, karena harus menunggu mereka gajian terlebih dahulu. Sampai di rumah tugas saya dan adik menghitung dan merapikan uang yang dibawa pulang Ayah. Dan kami selalu dapat jatah bonus dari Ayah. Saya masih ingat senyum semringah Ibu ketika itu.

Kembali pada si Bapak penjual ikan tadi, bisa jadi keinginannya untuk segera pulang ke rumah sudah begitu menggebu-gebu. Apalagi di hari pertama puasa. Berkumpul dengan keluarga pastilah lebih menyenangkan. Tapi ia bahkan tak memilih untuk berlibur walau seharipun. Ia mengabaikan lelah, bahkan suaranya terdengar seperti mendesis ketika menjawab pertanyaan pelanggan tadi. Ia mengabaikan lututnya yang berdiri berjam-jam di lorong-lorong becek itu. Ia membiarkan tubuhnya berbalut pakaian yang berlumur darah ikan dan berbau amis. Semua itu ia lakukan, agar ketika ia pulang, ia bisa membawa pulang senyum untuk anak istrinya.[]

Sort:  

Ikan tongkol... Horee dapat sepedaaa :)

Horeeeee dapat yang 9 gigi

Sebuah kebahagian yang tak terhingga jika melhat yang dirumah tersenyum sumringah. Itu mungkin menjadi penyemangat si bapak untuk tak absen menjual ikan walau baru pertama puasa

sebagai laki-laki Bang Baihaqi pasti lebih dapat feelnya ya....

Yups.. Sudah barang pasti itu

makanya sekecil apapun usaha seseorang sudah seharusnya kita hargai kan.. so touching

yuppppp termasuk usaha kita untuk abang itu ya kan?

siapa abang itu??? aku tak mau mengenalnya lagi. sudah cukup!

ohhhh mengapa sudah cukup?

Ayah kau adalah lelaki terhebat kami 😭😙

yuppp ayah kita adalah lelaki terhebat kita.

Waktu foto ikan, ada ditanya sama bang penjual ikan, "apa foto-foto?"?

enggak, penjual ikannya baek, nggak seperti kamuhhhhh

Kalau di Medan, Pajak Ikan itu tempat jualan kain @ihansunrise.. hehhehee..

:-D tapi ada juga pajak ikan yang memang tempat jualan ikan kan? bibik Ihan yang di medan kalau mau beli ikan di pajak ikan/pajak sayur seringnya,

Kalau ihan naek becak niatnya mau beli ikan, bilangnya,"bg, beli ikan di pajak bla bla bla yaa"..
Tapi kalau ihan bilang,"bg, ke pajak ikan ya." Langsung deh diantar ke tempat jualan kain...
😁😁

Oh yaaaa hahahahah kayaknya perlu dicoba nih kalau ke medan hahha

Ini ikan tongkol yang mau dimasak kuah santan putih itu kak ya? 😅

Iya, masih ada beberapa potong lagi heheeee

Enaknya yang dekat pasar, bisa request dilempar saja

Terimakasih sudah menggunakan tag #ramadan-tkf

Pajak itu apa sama dengan pasar?

selemparan batu, saya senang dengan istilah ini, sudah belasan tahun tidak mendengar/membaca ada yang memakai istilah ini 😊

Salam,
download_20180510_175631.jpg

Perjuangan seorang ayah demi istri dan sibuah hati 😭

Coin Marketplace

STEEM 0.29
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 63016.70
ETH 3028.58
USDT 1.00
SBD 3.75