OPINI - THE EXISTENCE OF WOMEN'S LEADERSHIP IN ACEH SOCIETY

in Hot News Communitylast month (edited)

62e308514121b.jpg

Source

Diskusi mengenai peran politik perempuan dalam sudut pandang islam memang sangat menarik untuk dikaji, apalagi berbicara seputar kepemimpinan perempuan, tentu merupakan sebuah perbincangan yang sampai saat ini masih saja diperdebatkan. Sebagian ulama menganggap bahwa kepemimpinan adalah suatu bakat yang telah dimiliki laki-laki, sehingga banyak kita saksikan kaum laki-laki terlibat dalam peran politik, sementara sebagian ulama lain tidak mempermasalahkan gender antara laki-laki atau perempuan, yang penting memiliki potensi dan profesional serta mampu membawa aspirasi ummat semaksimal mungkin.

Pada dasarnya seorang perempuan secara umum lebih kepada penyelesaian tugas domestik rumah tangga, dengan demikian masalah kepemimpinan pada hakikatnya berada pada laki-laki. Karena kepemimpinan merupakan akad timbal balik antara pimpinan dan rakyat yang tugasnya cukup kompleks, sebagai pelayan ummat yang harus mampu mewujudkan rasa keadilan, dan mennciptakan rasa aman bagi ummatnya.

Sejarah Islam dan Indonesia khususnya Aceh, mencatat banyak perempuan yang telah berhasil dalam memegang tampuk kekuasaan. Banyak kaum perempuan dari abad ke 11 telah berhasil menorehkan kepemimpinanya dengan efektif. Seperti Putri Nurul A’la sebagai perdana menteri perempuan di Kerajaan Islam Perlak (Aceh) atau Syah Alam Barinsyah sebagai perempuan Islam Nusantara pertama yang tercatat menjadi pemimpin. Juga Sultanah-sultanah yang berani tampil sebagai sosok yang terkenal seperti Ratu Safiatuddin Syah dan tiga Ratu selanjutnya yang berturut-turut memimpin Aceh Darussalam. Bahkan Illiza Sa’aduddin Djamal berhasil memimpin kota Banda Aceh dengan baik pada periode lalu. Baca
Walaupun banyak sejarah yang telah mengungkapkan ketangguhan perempuan dalam memegang kekuasaan. Akan tetapi bagi kaum konservatif dan tradisionalis tetap saja hal tersebut tidak sesuai dengan adat dan budaya yang berlaku. Bagi mereka perempuan hanyalah sebagai pengayom rumah tangga, pendidik anak dan keluarga.

Dalam sejarah kaum feminis, tuntutan pertama mereka mengenai kegiatan politik adalah hak suara perempuan. Yunani, tempat kelahiran demokrasi hanya memberikan hak suara kepada laki-laki tanpa menyertakan perempuan. Barulah pada pertengahan abad ke 18 yaitu awal masa pergerakan kaum feminis perempuan mendapatkan haknya, setelah mendapatkan haknya untuk memilih, harapan kaum feminis selanjutnya adalah peran perempuan dalam partisipasi politik praktis. Tentu saja pada awalnya hal ini mendapat benturan dari berbagai kalangan masyarakat, karena mereka menganggap perempuan yang ikut serta dalam politik sangat tidak etis dan tidak islami.

Beberapa ulama kontemporer mengungkapkan bahwa tidak ada masalah bagi perempuan berpartisipasi dalam kegiatan publik, karena setiap orang memiliki hak untuk memilih pekerjaan yang diinginkannya selama tidak bertentangan dengan interes Islam dan masyarakat, serta tidak melanggar hak-hak orang lain. Hal tersebut juga senada dengan pemikiran Fathi Osman dan Hasan al-Turabi yang berpandangan bahwa perempuan muslim diperbolehkan bekerja diluar rumah dan memegang jabatan publik, aktif dan terlibat dalam politik, memberi suara dalam pemilihan umum, mencalonkan diri menjadi anggota parlemen, hakim dan bahkan tentara.

Meskipun pada awalnya banyak dari kalangan ulama dan tokoh masyarakat yang menentang kepemimpinan perempuan, terutama yang memegangi hadis Abi Bakrah. Pada akhirnya kelompok yang menentang itu dapat menerima pula, setelah menyaksikan kemampuan beberapa perempuan dalam memimpin. Salah satunya adalah Sri Putri Tajul A’lam Syah yang memimpin Aceh kurang lebih selama 35 tahun. Ia berhasil membuktikan kepemiminannya sebagai seorang negarawan yang menaruh perhatian penuh pada kesejahtraan dan kemajuan rakyatnya.

THE EXISTENCE OF WOMEN'S LEADERSHIP IN ACEH SOCIETY

Discussions about the political role of women in the Islamic perspective are very interesting to study, especially talking about women's leadership, of course, is a discussion that is still being debated. Some scholars consider that leadership is a talent that men have, so we see many men involved in political roles, while some other scholars do not question gender between men or women, the important thing is to have the potential and professionalism and be able to carry the aspirations of the ummah as much as possible.

Basically, a woman in general is more about completing domestic household tasks, thus the problem of leadership is essentially in men. Because leadership is a reciprocal contract between leaders and people whose duties are quite complex, as servants of the ummah who must be able to realise a sense of justice, and create a sense of security for their ummah.

The history of Islam and Indonesia, especially Aceh, records many women who have succeeded in holding the reins of power. Many women from the 11th century have managed to carve out their leadership effectively. Such as Putri Nurul A'la as a female prime minister in the Islamic Kingdom of Perlak (Aceh) or Syah Alam Barinsyah as the first recorded Nusantara Islamic woman to become a leader. Also Sultanahs who dared to appear as famous figures such as Ratu Safiatuddin Syah and three subsequent Queens who successively led Aceh Darussalam. Even Illiza Sa'aduddin Djamal managed to lead the city of Banda Aceh well in the last period. Read

Although much history has revealed the resilience of women in holding power. However, for conservatives and traditionalists, it is still not in accordance with the prevailing customs and culture. For them, a woman is only the protector of the household, the educator of children and family.

In the history of feminists, their first demand for political activity was women's voting rights. Greece, the birthplace of democracy, only gave voting rights to men without including women. It was only in the mid-18th century, the beginning of the feminist movement, that women got their rights. After getting the right to vote, the next expectation of feminists was the role of women in practical political participation. Of course, at first this received a clash from various circles of society, because they considered women who participated in politics very unethical and un-Islamic.

Some ulama revealed that there is no problem for women participating in public activities, because everyone has the right to choose the job they want as long as it does not conflict with the interests of Islam and society, and does not violate the rights of others. This is also in line with the thoughts of Fathi Osman and Hasan al-Turabi who are of the view that Muslim women are allowed to work outside the home and hold public office, be active and involved in politics, vote in elections, run for parliament, judges and even soldiers.

Although initially many of the scholars and community leaders opposed women's leadership, especially those who held the hadith of Abi Bakrah. In the end, the opposing groups were able to accept it, after witnessing the ability of some women to lead. One of them was Sri Putri Tajul A'lam Syah who led Aceh for approximately 35 years. She succeeded in proving her leadership as a statesman who paid full attention to the welfare and progress of her people.

About my account
PeriodMarch 07 to May 07, 2024
Transfer to Vesting 245.867 Steem
Delegated Vesting Shares100.320 Steem
ResultClub5050
CSI3.0 ( 0.00 % self, 62 upvotes, 22 accounts, last 7d )
Sort:  

You've got a free upvote from witness fuli.
Peace & Love!

 last month 

Thank you for publishing a post on the Hot News Community, make sure you join at least #club5050, don't plagiarize, use original photos or copyright-free images by linking the source

Description
Action
Verified User✔️
Club Status#club75
steemexclusive✔️
Plagiarism Free✔️
AI Article Free✔️
Bot-Free✔️
Beneficiary Rewards
@𝘯𝘶𝘭𝘭 25%
@𝘩𝘰𝘵.𝘯𝘦𝘸𝘴

Moderation note: Keep sharing your best posts and interact with each other in the comments.

Verified by : @fantvwiki

Thank you for Verified, brada @fantvwiki.

Coin Marketplace

STEEM 0.24
TRX 0.11
JST 0.029
BTC 69377.95
ETH 3685.38
USDT 1.00
SBD 3.31