Perempuan Penyembuh Alam

Teuku Kemal Fasya

WhatsApp Image 2021-03-04 at 22.22.29.jpeg

Bukan sebuah kebetulan ketika pada bulan Desember ini saya mendapatkan pekerjaan menjadi editor sebuah buku yang ditulis oleh sejumlah perempuan yang peduli lingkungan.

Mereka sebenarnya perempuan biasa, tapi memiliki spirit luar biasa dalam menyelamatkan hutan. Selaksa ingatan saya langsung terhubung pada banjir bandang yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara yang berlangsung sejak 5 Desember dan terus susul-menyusul membuat kerugian masyarakat semakin nyata.

Isu baru

Tulisan dari perempuan peduli lingkungan seperti ini menampar pola perlakuan kita terhadap alam. Perempuan menulis isu lingkungan juga hal baru. Jika selama ini kelompok feminis hanya berkutat pada problem tubuh, kekerasan seksual, dan politik emansipasi, kini para perempuan mulai menunjukkan kasihnya pada “Ibu bumi”. Mereka resah nasib bumi yang terus dirusak dengan penuh keserakahan. Mereka bersuara di tengah saputan awan patriarkhi yang menjadikan lingkungan asri sebagai komoditas pribadi dan kelompok.

Ada kisah aksi perlindungan sumber air di Bener Meriah yang dilakukan para perempuan dari kabupaten penghasil kopi arabika terbaik dunia itu dengan membentuk Kelompok Rawar Bengi dan Payung Bumi. Mereka memboikot aksi “laki-laki perusak alam” dengan menjadi penjaga sumber air di Wih Delong, salah satu anak sungai yang bermuara ke Krueng Peusangan.

Aksi tokohnya, Yusdarita, cukup heroik. Ia menjadi penggerak sekaligus bagian dari pengurus mukim, menghela para perusak tepian aliran sungai. Aksinya ini bukan tanpa alasan. Jika aliran sungai rusak maka akan mempengaruhi hasil perkebunan dan mengancam kesejahteraan anak cucunya kelak.

Ada juga kisah perempuan di Kampung Bergang, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah yang berani menyetop truk-truk pengangkut illegal logging. Kampung Bergang yang terletak 1600 mdpl, berpenduduk 130 KK atau 556 jiwa memiliki lahan perkebunan dan hutan seluas 4.000 ha. Hutan itu telah dijaga selama turun-temurun. Namun, di era Otonomi Khusus, rimba mereka cepat sekali hilang, bak helai demi helai rambut di kepala. Padahal dengan potensi unggulan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yaitu kopi, pinang, kemiri dan coklat, masyarakat sudah cukup sejahtera. Kampung ini juga penghasil langsat dan durian terbaik di Aceh. Diperkirakan keindahan Kampung Bergang akan segera sirna jika tutupan hutan menghilang ditelan laki-laki rakus penebas pohon.

Perempuan melawan

WhatsApp Image 2020-08-18 at 11.45.57.jpeg

Kumpulan tulisan di dalam buku ini memang mewakili semangat “perempuan pemberontak”. Seperti pernah dituliskan oleh perempuan sastrawan dan penyair Afro-Amerika, Ntozaka Shange: “Aku menolak untuk hidup dan menciptakan sesuatu dari posisi tertekan. Aku menulis untuk melawan.” Benar saja, 11 tulisan yang terhimpun di sini memang berisi bahasa perlawanan yang dilakukan oleh sebagian besar perempuan peduli lingkungan.

Mereka sepakat mengepalkan tangan melawan kejahatan sawit yang menggusur hutan aquatik, manggrove yang ditebas untuk dijadikan arang, aliran sungai yang hancur oleh galian C, lahan pertanian yang tidak sesuai peruntukan, dan menjadi empuni uten atau sang penjaga hutan. Tulisan-tulisan ini menunjukkan pembelaan nyata pada lingkungan hidup. Ketika lingkungan dibela, nasib perempuan secara otomatis ikut terbela.

Namun jangan bayangkan gerakan ini dengan mudah mendapatkan publisitas. Mereka bukan aktor LSM terkenal atau para selegram yang kesehariannya menjadi tersiar karena peran media massa dan sosial. Mereka adalah aktivis yang tumbuh dari bawah, melakukan gerakan advokasi untuk melindungi alam dari perundungan dahsyat yang dilakukan oleh korporasi dan pembegal lingkungan.

Tulisan ini mewakili model gerakan perempuan baru, tidak secara an sich mengangkat masalah perempuan akibat ketidakadilan gender dan problem reproduksinya, tapi menjalankan peran baru yaitu sebagai aktivis lingkungan. Memang, pada abad 20 ini kita menghadapi kegentingan baru akibat buruknya perihal meruwat bumi. Bumi dan alam yang dikandungnya mengalami pemajalan, detik demi detik, hasta demi hasta, sehingga banyak yang tidak bersisa lagi untuk anak cucu. Kini gerakan perempuan mencoba menyatukan dua arus gerakan itu agar bisa bersinergi.

Mengapa tulisan ini penting? Tulisan dari kaum perempuan sebenarnya upaya untuk men-centering peran mereka, walaupun dengan kata-kata yang bertaksa. Isu lingkungan yang digeluti para penulis perempuan ini adalah hal baru bagi mereka. Mereka bukan para akademia yang menggeluti kajian lingkungan dan ekologi dengan disiplin tertentu. Mereka menulis dan menggambarkan apa yang dilihat, agar bisa menjadi kesaksian bagi dunia, bahwa perempuan ada ketika membela lingkungan.

Seperti ditulis oleh filsuf posmodernisme Perancis, Gilles Deluze, identitas perempuan hilang tepat pada porosnya. Dalam tulisannya, Anti-Oedipus : Capitalism and Schizophrenia, Deluze menyebutkan bahwa ornamen kekuasaan ekonomi dengan mudah melenyapkan perempuan. Perempuan adalah sisi tidak eksis dari ketidaksadaran kaum kapitalis (laki-laki) yang mengeruk atas dasar hasrat.

Siapa yang peduli kepada air dan lingkungan yang asri bagi perempuan ketika kendaraan eskavator dan truk pengangkut galian C mulai mencacah bukit dan sungai? Para perempuan itu hanya menjadi penonton atas reportoir pilu, sambil mengisap debu dari jalan yang rusak. Penggundulan hutan dan pendangkalan sungai diorkestrasi melalui mesin birokrasi dan senarai peraturan sang Bapak (The Law of Father), sehingga yang tersisa hanyalah rasa sesak. Maka tak ada jalan kecuali turun dan melawan.

Hasrat untuk melawan yang dilakukan oleh kelompok perempuan ini bukanlah hasrat seduktif – yang secara banal disebutkan oleh Jean Baudrillard – bahwa tanpa rayuan perempuan tak pernah eksis. Secara serampangan publik dan kaum korporat menjadikan tubuh perempuan yang melawan itu sebagai objek ejakulator yang dinaturalkan secara seksual (Arivia, 2003 : 68).

Padahal perempuan melakukan itu semua tidak muluk-muluk dan bombastis. Mereka pertama melakukan itu untuk dirinya, kemudian bagi keluarga, dan baru bagi masyarakatnya. Karena tanpa lingkungan yang lestari, perempuan di tepian hutan dan di daerah rural, akan mengalami kekerasan fisiologis, struktural, dan kultural lebih dalam. Sehingga tak heran titik, para perempuan ini juga menjadi “para pembangkang” bagi kepala daerah yang telah sudi menjual ibu bumi kepada kaum korporat dan predatorat. Mereka tak sudi menerima kenyataan banjir bandang dan kemarau dahsyat setiap tahun, akibat perlakuan izin yang diberikan bupati yang menjual alam lestari ini kepada para rentenir, penangguk untung semata.

Makanya, membaca “tulisan feminis” yang berangkat dari pengalamannya merawat alam adalah hal berarti sebagai ruang refleksi, terutama bagi dunia patriakhal yang cenderung merusak lingkungan. Apalagi pada bulan ini yang dikenang sebagai Hari Anti Kekarasan terhadap Perempuan (HAKtP), sehingga akan menjadi gaung yang menjaga bulan-bulan lain dari aksi perusakan dan kekerasan. Enough is enough for enviromental predatory!

Teuku Kemal Fasya, antropolog Universitas Malikussaleh
Tulisan ini pertama sekali telah diterbitkan oleh Serambi Indonesia, 24 Desember 2020.

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.11
JST 0.031
BTC 69345.27
ETH 3816.44
USDT 1.00
SBD 3.67